Pangkalpinang (Antara Babel) - Pada tahun 1935, masa pemerintahan Residen Mann di Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), mulai dibangun kompleks makam Sentosa (Tjung Hoa Kung Mu Yen).
Menurut prasasti pada tugu pendiri makam yang terletak di depan atau pada sisi barat Paithin (rumah tempat sembahyang) kompleks makam ini didirikan oleh empat orang, yaitu Yap Fo Sun (wafat pada tahun 1972), Chin A Heuw (wafat pada tahun 1950), Yap Ten Thiam (wafat pada tahun 1944), dan Lim Sui Cian (tidak jelas tahun wafatnya pada masa pendudukan Facisme Jepang).
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kota Pangkalpinang Drs. Akhmad Elvian menyatakan, kompleks makam Sentosa sekarang terletak di Jalan Bukit Abadi, sisi timur Jalan Soekarno Hatta Pangkalpinang, sering oleh masyarakat Bangka disebut dengan Ngicung.
Posisi kompleks makam memanjang dari utara ke selatan dengan luas kompleks makam seluruhnya 199.450 meter persegi.
Luas awal makam sekitar 25,2 hektare, dan pada 7 Juli 1981 ada bagian kompleks makam yang diserahkan sekitar 5,6 hektare ke Pemerintah Kota Pangkalpinang untuk pembangunan beberapa kantor dan pembangunan rumah sakit.
"Sampai sekarang kompleks makam ini masih berfungsi dan terawat dengan baik yang jumlahnya sekitar 12.950 makam," kata Akhmad Elvian.
Relatif banyak makam menunjukkan bukti keberadaan dan perkembangan pekerja tambang timah orang Tionghoa dari daratan Tiongkok di Pulau Bangka, termasuk yang merupakan peranakan dengan pribumi Bangka.
Pada tahun 1816, terdapat 2.528 orang pekerja timah dari daratan Tiongkok di Pulau Bangka. Berdasarkan catatan, pada tahun 1848, jumlah penduduk etnis Tionghoa di Pangkalpinang berjumlah 1.867 jiwa.
Kemudian, terus berkembang dengan pesat dan berdasarkan Volkstelling pada tahun 1920 terdapat 15.666 orang Tionghoa Bangka di Pangkalpinang dan merupakan 68,9 persen dari seluruh penduduk Pangkalpinang.
Sebagai perbandingan, berdasarkan Volkstelling yang dilakukan pemerintah Belanda pada tahun 1920, terdapat sekitar 67.398 orang Tionghoa Bangka di Pulau Bangka dari keseluruhan penduduk pulau tersebut pada waktu itu sebanyak 154.141 orang, atau hampir 44 persen dari total penduduk Pulau Bangka.
Tanah pekuburan Sentosa sebelum dikelola Yayasan Sentosa awalnya merupakan sumbangan dari keluarga bermarga Oen, salah satu keluarga terpandang di Pangkalpinang pada waktu itu yang juga menyumbangkan tanahnya untuk pendirian Kelenteng Kwan Tie Miau pada tahun 1841 yang terletak di Jalan Mayor H. Muhidin Pangkalpinang.
Berdasarkan informasi dari salah seorang keturunan keluarga Oen, disebutkan bahwa perkuburan muslim yang terletak di Kampung Keramat juga disumbangkan oleh keluarga Oen.
Dari sekian banyak makam pada kompleks pemakaman Sentosa, terdapat makam tua keluarga Oen, yaitu makam Oen Nyiem Foek. Kuburan ini dipugar pada tahun keempat (Min Kwet Sin Ngian) setelah pemerintahan Sun Yat Sen, tokoh terpenting dalam Partai Nasionalis Tiongkok Kuo Min Tang (KMT) (Pinyin: Zhongguo Guomindang) yang memerintah di Tiongkok pada tahun 1911. Jadi, makam ini diperkirakan dipugar sekitar 1915.
Oen Nyim Foek merupakan keturunan dari Oen Men Chiu yang makamnya ditemukan di Thiatfu atau Kampung Besi Pangkalpinang. Oen Men Chiu adalah generasi keluarga Oen yang pindah ke Pangkalpinang sebab generasi pertama keluarga Oen pertama kali datang ke Pulau Bangka mendarat di Pantai Rebo Distrik Sungailiat.
Salah satu bukti yang relatif cukup tua tentang keberadaan orang Tionghoa di Kampung Rebo Distrik Sungailiat adalah ditemukannya makam Oen Chi Phin (diperkirakan datang sekitar 1773).
Makam terletak di Dusun Choihin (Karang Panjang) sebuah dusun sekitar beberapa ratus meter dari jalan raya menuju kawasan Batu Ampar melalui kampung Kenanga.
Keberadaan makam tua ini menunjukkan awal keberadaan orang Tionghoa di pesisir timur Pulau Bangka untuk mengeksplorasi timah.
Di antara makam-makam pada kompleks makam Sentosa, terdapat makam Paulus Tsen On Ngie (Zeng Aner) yang lahir di Cungphin (Tiongkok) pada tahun 1795.
Makam ini tampaknya sengaja dipindahkan dari Distrik Sungaiselan ke Distrik Pangkalpinang mengingat ketokohan dan keteladanan Paulus Tsen On Ngie sebagai penyebar agama Katolik pertama di Pulau Bangka.
Pada tahun 1830, Tsen On Ngie (Zeng Aner) datang ke Distrik Sungaiselan dari Penang Malaysia. Sejak 1849, dia mulai bekerja sebagai seorang tabib (shinse) dan berkeliling di Pulau Bangka mengobati orang-orang sakit, terutama buruh-buruh Tiongkok, yang bekerja di parit penambangan timah yang didatangkan dari negara tersebut.
Pada tahun 1849, Pastor Claessens dari Batavia mengunjungi Distrik Sungaiselan dan mengatolikkan 50 orang yang telah dididik dan dipersiapkan oleh Tsen On Ngie.
Pada tahun 1853, Pastor Langenhoff dibenum untuk tugas di Distrik Sungaiselan dan Tsen On Ngie mendampingi dia sebagai katekis (guru agama).
Wilayah pelayanan pastor Langenhoff meliputi Bangka, Belitung, Palembang, dan Riau, bahkan berkembang sampai ke Kalimantan Barat.
Selanjutnya, pada sisi barat makam Paulus Tsen On Ngie terdapat makam Pastor Mario John Boen Thiam Kiat yang lahir pada tanggal 7 Agustus 1908, wafat pada tanggal 31 Mei 1982.
Pastor Mario Johannes Boen Thiam Kiat yang dikenal masyarakat Bangka dengan panggilan Pastor Boen adalah pastor projo (pribumi) pertama putra Pulau Bangka di Keuskupan Pangkalpinang dan juga pastor projo pertama di Indonesia. Nama Pastor Boen kemudian diabadikan menjadi nama Balai Pertemuan Paroki Pangkalpinang dengan nama Balai Mario Jhon Boen.
Pastor Boen ditasbihkan sebagai imam pada 25 April 1935 atau sekitar delapan bulan setelah diberkatinya gereja baru yang diberi nama pelindung Santo Yoseph pada 5 Agustus 1934. Bangunan gereja baru ini sekarang sudah dibongkar, letaknya di sekitaran pastoran sekarang.
Di antara ribuan makam orang-orang Tiongkok yang beragama Konghucu dan beragama Katolik pada kompleks makam Sentosa, juga terdapat dua makam pemeluk agama Islam, yaitu makam Ny. Tjurianty binti Kusumawidjaya (lahir tanggal 27 September 1947, wafat pada tanggal 9 Desember 1994) dan pada sisi selatan agak ke barat di sisi jalan terdapat makam Gunawan bin Tanda (lahir pada tanggal 30 Maret 1978, wafat pada tanggal 7 November 2008).
Memang tidak jelas kapan dimulainya tradisi menguburkan mayat dengan menggunakan peti mati dari kayu (kerendak) pada masyarakat Tionghoa di Pulau Bangka. Sebelumnya, dalam tradisi mereka, mayat dibakar dan abunya disimpan di dalam tempayan keramik. Relatif banyak ditemukan tempayan tempat penyimpanan abu mayat ketika masyarakat membuka ladang dan tempayan tersebut sebagian masih tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
Bentuk makam yang ada di kompleks pemakaman Sentosa umumnya besar-besar dan megah. Makin tinggi status sosial yang dikubur maka makin besar bentuk makam dan luas halamannya, seperti makam yang tergolong baru, makam Ho Thian Yong yang wafat pada tanggal 16 Desember 2002. Makam ini tampaknya paling besar dan mungkin juga mahal karena bahan atau material kuburan dan halamannya dibuat dari batu granit.
Pusat Ceng Beng
Akhamd Elvian, warga setempat, mengatakan bahwa kegiatan paling unik dan luar biasa yang terjadi di kompleks pemakaman Sentosa adalah pelaksanaan Ceng Beng atau Qing Ming (bersih dan terang) yang jatuh setiap 5 April.
Warga Tionghoa yang berasal dari Pulau Bangka, Pulau Belitung, maupun yang ada di perantauan di berbagai daerah dan luar negeri, seperti dari Hong Kong, Singapura, RRC, Eropa, dan Amerika, serta Australia, berdatangan ke kompleks pemakaman Sentosa untuk melaksanakan ritual Ceng Beng.
Pada saat ritual, masyarakat Tiongkok memanjatkan doa kepada leluhur yang meninggal agar mendapat tempat terbaik di sisi Sang Pencipta.
Ritual biasanya dimulai sejak pukul 02.30 WIB, para peziarah mulai berdatangan ke makam dengan membawa sesajian yang telah disiapkan dari rumah masing-masing, di antaranya Sam-sang (tiga jenis daging), Sam kuo (tiga macam buah-buahan), dan Cai choi (makanan vegetarian).
Pada makam leluhurnya masing-masing para peziarah melakukan ritual sembahyang. Sebelumnya, kubur diterangi oleh lilin, dibakar hio (garu), dan diletakan kim chin (uang palsu kertas) di atas tanah makam sembari memanjatkan doa agar arwah orang tua dan leluhur mereka tenang di alam baka dan meminta diberikan rezeki serta kedamaian.