Jakarta (Antara Babel) - Memperingati Hari Anti Penyiksaan Se-dunia Jumat ini, tim advokasi korban penyiksaan menyampaikan pemberitahuan terbuka terkait akan didaftarkannya gugatan karena negara dinilai lalai dalam melakukan pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan hak korban penyiksaan.
"Kasus penyiksaan di Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun tanpa disertai upaya preventif dan represif yang serius dilakukan pemerintah," ujar pengacara publik LBH Jakarta Ichsan Zikry dalam acara "Korban Penyiksaan Menggugat Negara" di Jakarta, Jumat.
Parahnya lagi, kata Ichsan, aktor utama yang melakukan penyiksaan adalah aparat penegak hukum khususnya kepolisian dengan tujuan utama untuk mendapatkan pengakuan tersangka.
Praktik penyiksaan tersebut dilakukan dengan beragam bentuk di antaranya penyiksaan fisik, psikis, serta seksual dan dialami bukan hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak.
Tim advokasi menilai proses peradilan pidana yang dilaksanakan aparat penegak hukum khususnya kepolisian tidak terlaksana dengan baik karena dilakukan tanpa menjunjung tinggi hak asasi manusia.
"Kami menilai Polri juga tidak menjalankan tugasnya secara profesional. Hak untuk tidak disiksa perlu diperhatikan oleh setiap anggota Polri dalam menjalankan tugas pencarian alat bukti karena merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun," kata Ichsan.
Ia pun menilai pemerintah dan DPR tidak optimal menjalankan tugasnya dalam mengawasi kinerja kepolisian yang profesional.
Karena itu, tim advokasi bermaksud mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarat Pusat berupa tuntutan warga negara yang mekanismenya dikenal dengan "citizen law suit" (CLS).
Adapun pihak yang akan digugat yaitu Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM, DPR RI, serta Kepala Kepolisian RI.
"Kami menuntut agar para tergugat segera menyelesaikan pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP sebagai prioritas yang di dalamnya mengatur pasal-pasal anti penyiksaan untuk melindungi hak asasi tersangka," kata Ichsan.
Selain itu, tim advokasi juga menuntur pemerintah meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan (OPCAT) serta mengatur adanya mekanisme internal guna pemulihan hak-hak korban penyiksaan.
OPCAT merupakan perangkat hukum yang dinilai efektif untuk mencegah penyiksaan karena mengatur tentang mekanisme pencegahan dan komprehensif.
"Yang tidak kalah penting kami juga menuntut agar Kapolri menindak tegas aparatnya yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan tindak penyiksaan, yang nantinya akan berujung pada penghapusan praktik penyiksaan di tubuh instansi kepolisian," tuturnya.
LBH Jakarta selama 2013-2015 telah menangani 13 kasus penyiksaan dengan korban berjumlah 18 orang yang lima diantaranya masih anak-anak.
Salah satu kasus yang ditangani LBH Jakarta adalah kasus salah tangkap pengamen Cipulir bernama Andro dan Nurdin. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), mereka berdua mengaku melakukan tindak pembunuhan namun setelah ditelusuri lebih lanjut rupanya pengakuan tersebut diperoleh setelah keduanya mengalami penyiksaan oleh penyidik kepolisian yakni ditendang, dipukul, disetrum, ditodong senjata, ditelanjangi, dan diminta lari keliling lapangan.
Tim Advokasi Korban Penyiksaan Menggugat Negara
Jumat, 26 Juni 2015 22:08 WIB
"Kasus penyiksaan di Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun tanpa disertai upaya preventif dan represif yang serius dilakukan pemerintah,"