Jakarta (Antara Babel) - Keputusan Rapat Paripurna ke-33 Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (23/6) menyetujui Rancangan Peraturan DPR tentang tatacara pengusulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (P2DP) atau "dana aspirasi" menjadi peraturan.
Dengan disahkannya payung hukum untuk dana aspirasi itu, menegaskan Senayan masih tetap melanjutkan pembahasan P2DP sebesar 20 miliar per anggota dewan setiap tahun.
Hasil keputusan paripurna yang dibacakan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Toto Dariyanto menyatakan bahwa pembahasan P2DP tersebut akan dilanjutkan di Baleg untuk kemudian dibahas di rapat paripurna berikutnya.
Usulan dana aspirasi bukan barang baru. Sebelumnya dalam periode 2009-2014, awal 2010, Fraksi Partai Golkar juga mengusulkan dana aspirasi. Besarannya Rp15 miliar per anggota.
Pengajuan dana aspirasi itu, menurut Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, tidak menyalahi aturan, karena sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Terutama pasal 72 UU yang menyebutkan serangkaian tugas DPR RI seperti menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
Meski demikian, tidak semua fraksi dalam DPR RI mendukung program yang digadang-gadang oleh dewan di senayan tersebut. Setidaknya ada tiga fraksi yang menolak peraturan tersebut, yakni Fraksi PDI-P, Nasdem dan Hanura.
Sementara itu, pemeritahan Kabinet Kerja mengindikasikan menolak usulan dana aspirasi tersebut.
Hal itu disampaikan Mensesneg Pratikno yang menilai dalam kondisi masyarakat yang terkena dampak perlambatan ekonomi maka usulan dana aspirasi perlu ditinjau ulang.
Selain melalui Mensesneg, suara pemerintah yang mengindikasikan penolakan dana itu juga datang dari Menteri PPN Andrinof Chaniago, Mendagri Tjahjo Kumolo, bahkan Wapres Jusuf Kalla yang mengatakan penambahan dana aspirasi bagi anggota DPR peruntukannya harus dengan kriteria yang jelas.
Kendati menteri dalam Kabinet Kerja sudah menyatakan keberatan, hingga kini belum ada pernyataan resmi dari Presiden Joko Widodo untuk menolak usulan dana aspirasi tersebut.
Meski belum ada sikap resmi Presiden, pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio mengharapkan sikap pemerintahan konsisten untuk menolak dana aspirasi itu.
"Sudah bagus pemerintah menolak dan mudah-mudahan Presiden konsisten, sehingga usulan dana aspirasi ini tidak disetujui," kata Hendri.
Usulan dana aspirasi tersebut, kata Hendri, lebih baik ditolak karena tidak ada jaminan bahwa aspirasi masyarakat bisa terserap oleh anggota dewan dengan baik karena selama ini juga seperti itu apalagi jika ditambah dengan beban anggaran.
Gelombang Penolakan
Dukungan agar Presiden membatalkan dan menyuarakan penolakan atas keinginan anggota dewan tersebut akhirnya terus bermunculan. Salah satunya adalah anggota Fraksi NasDem Irma Suryani Chaniago yang menilai jika dana aspirasi itu direalisasikan akan berpotensi konflik di tataran akar rumput.
Anggota Komisi IX ini memprediksi akan ada konflik kepentingan dalam proses realisasi dana aspirasi tersebut, yaitu tarik menarik kepentingan antaranggota DPR di dapil yang sama.
Menurutnya, setiap anggota dewan di dapil yang sama akan berebut untuk mendapatkan simpati dari masyarakat, sehingga iklim kontestasi pada saat Pemilu akan terulang kembali.
"Saya yakin pemerintah, Presiden sensitif terhadap hal-hal seperti ini. Karena itu bisa memunculkan konflik di bawah nanti di masyarakat. Antaranggota DPR nanti akan berebut simpati," katanya.
Selanjutnya, konflik akan terjadi di tengah masyarakat yang tidak terakomodasi aspirasinya dalam skema realisasi dana aspirasi. Ia memperkirakan bahwa dana yang turun hanya berkutat pada konstituen anggota terkait saja, tanpa ada pemerataan.
"Ketika dana aspirasi hanya datang ke konstituennya saja tanpa pemerataan, jadi tidak efektif. Inti dari kata pembangunan itu adalah pemerataan. Kita kan bukan wakil dari fraksi atau parpol kita, tapi kita sudah wakil rakyat. Artinya seluruh rakyat yang ada di dapil kita adalah konstituen kita. Gak boleh lagi pilah-pilah konstituennya siapa," katanya.
Suara penolakan juga datang dari Direktur Institute for Ecosoc Right Sri Palupi yang menilai usulan dana aspirasi yang nilainya mencapai Rp20 miliar setiap anggota dewan itu akan menyuburkan praktik calo anggaran dan lobi tidak sehat untuk mendapatkan dana tersebut.
"Dana aspirasi akan menyuburkan calo anggaran. Daerah akan berlomba datang ke Jakarta untuk melobi anggota DPR daerah pemilihannya dalam rangka memperoleh dana aspirasi yang tentu saja ada syarat berapa fee yang harus diterima anggota dewan," kata Sri.
Sri juga mengatakan dana aspirasi bertentangan dengan logika pemerataan seperti yang disampaikan DPR. Dana itu justru akan memperlebar kesenjangan antara daerah miskin dan daerah kaya, karena sistem pembagiannya berdasarkan jumlah anggota.
"Logika pemerataan seharusnya semakin miskin daerah semakin besar alokasi anggaran yang dikucurkan," kata dia.
Dia menambahkan dana aspirasi ini melanggengkan 'status quo' yang akan digunakan sebagai 'alat' untuk menarik simpati Pemilih.
Menurutnya dana aspirasi itu menyakiti dan merupakan penghinaan terhadap rakyat, sebab dengan ini, aspirasi rakyat direduksi menjadi sekadar uang yang nilainya jauh melebihi nilai dana desa dari RAPBNP sekitar Rp20 triliun untuk 73.000 desa
"Pendek kata, dana aspirasi itu tak lain adalah niat busuk dan akal busuk DPR untuk menjarah uang rakyat. Karenanya demi kesehatan dan keselamatan RI, yang jelas-jelas busuk seperti ini harus dibuang," katanya.
Sementara itu, pengamat politik dari Indonesia institute for Development (Inded) Arif Susanto menilai pengusulan dana pembangunan daerah pemilihan Rp20 miliar untuk setiap anggota dewan adalah bentuk salah persepsi para legislator terhadap UU Nomor 17 Tahun 2003.
Menurut Arif, dana aspirasi yang diajukan oleh DPR didasarkan pada kesalahan penafsiran UU MD3 itu yaitu pasal 78 dan pasal 80 huruf (J). Pasal 78 tersebut berbunyi bahwa para anggota dewan akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara Pasal 80 huruf (J) UU MD3 yang berbunyi, anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.
"Ini tidak sesuai dengan fungsi dan tugas pokok anggota DPR untuk legislasi, pengawasan, anggaran dan aspirasi karena yang tertulis adalah mengusulkan bukan memasukan apalagi menganggarkan," ujarnya.
Sementara itu, pengamat hukum tata negara, Refly Harun menyampaikan sikap penolakan dana aspirasi tersebut, karena menurutnya pembangunan seharusnya untuk seluruh masyarakat Indonesia bukan hanya wilayah tertentu seperti dalam usulan UP2DP.
Menurut Refly, anggota DPR seharusnya tidak perlu mengajukan dana aspirasi semacam itu karena untuk menjadi 'corong' aspirasi banyak yang bisa dilakukan anggota dewan di dapilnya, terutama dalam fungsinya sebagai perwakilan rakyat yang menyalurkan suara rakyat.
"Contoh misalnya ada tanah diserobot aparat kan bisa mengadu pada anggota DPR lalu mereka telepon Kapolda. Atau ada rakyat miskin tidak bisa mendapat fasilitas kesehatan, beri pengantar, dan telepon rumah sakit. Ini yang namanya fungsi representasi anggota DPR mewakili kepentingan masyarakat yang selama ini tidak dijalankan," ujarnya.