Jakarta (Antara Babel) - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sejak awal Oktober mengalami penguatan signifikan akibat faktor eksternal dan sentimen positif kebijakan paket ekonomi yang diterbitkan pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).
Salah satu kebijakan penting yang dikeluarkan oleh otoritas itu adalah menambah pasokan dolar AS di pasar dalam negeri supaya rupiah terlihat tegar di tengah perekonomian dunia yang masih belum menentu.
Disadari bahwa salah satu masalah yang menyebabkan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam beberapa bulan terakhir adalah lebih besarnya permintaan terhadap mata uang AS itu dibandingkan dengan penawarannya atau pasokannya.
Turunnya nilai ekspor komoditas yang selama ini menjadi andalan Indonesia dan banyaknya transaksi di dalam negeri yang menggunakan dolar AS membuat pasokan dolar tidak seimbang dibandingkan permintaan sehingga rupiah makin tertekan.
Memang, ada pasokan dolar di pasar dalam negeri. Namun, kalaupun ada yang masuk, misalnya melalui devisa hasil ekspor (DHE), itu tidak semuanya langsung dikonversi ke dalam rupiah. Padahal, dolar AS yang dikonversi ke rupiah itu lebih baik dalam menjaga pasokan dolar AS.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa konversi devisa hasil ekspor (DHE) 2013 hanya 15,2 persen. Angka ini terus turun, misalnya pada tahun 2014 sebesar 13,6 persen dan hingga Mei 2015 sekitar 12,8 persen.
Selain itu, mudah terombang-ambingnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga akibat kurang dalamnya pasar valuta asing (valas) di Indonesia. Pasar valas di dalam negeri saat ini hanya sekitar lima miliar dolar AS per hari. Padahal, Singapura sekitar 300 miliar dolar AS.
Oleh karena itu, guna menyeimbangkan pasokan dan permintaan dolar serta memperdalam pasar keuangan, BI pada akhir bulan lalu kembali meluncurkan paket kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah. Kebijakan BI pada tanggal 30 September itu merupakan kelanjutan dari paket kebijakan yang dikeluarkan pada tanggal 9 September 2015.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan bahwa paket kebijakan lanjutan tersebut difokuskan pada tiga pilar, yaitu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, memperkuat pengelolaan likuiditas rupiah, serta memperkuat pengelolaan penawaran dan permintaan valas.
"Sinergi Kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah melalui paket kebijakan September II ini diharapkan dapat memperkuat stabilitas makroekonomi dan struktur perekonomian Indonesia, termasuk sektor keuangan sehingga makin berdaya tahan," katanya.
Mirza menjelaskan bahwa kehadiran BI di pasar valas domestik dalam melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah diperkuat dengan intervensi di pasar "forward", selain di pasar "spot".
Sementara itu, untuk pengendalian likuiditas rupiah diperkuat dengan menerbitkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) tiga bulan dan Reverse Repo SBN dengan tenor dua minggu.
Penerbitan instrumen operasi pasar terbuka (OPT) tersebut dimaksudkan untuk mendorong penyerapan likuiditas sehingga bergeser ke instrumen yang bertenor lebih panjang.
"Pergeseran likuiditas ke tenor yang lebih panjang diharapkan dapat mengurangi risiko penggunaan likuiditas rupiah yang berlebihan pada kegiatan yang dapat meningkatkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah," kata Mirza.
Untuk pengelolaan penawaran dan permintaan terhadap valuta asing (valas), lanjut Mirzan, diperkuat dengan berbagai kebijakan guna meningkatkan penawaran dan mengendalikan permintaan terhadap valas.
Pertama, penguatan kebijakan untuk mengelola permintaan dan pasokan valas di pasar "forward". Kebijakan tersebut bertujuan mendorong transaksi "forward" jual valas/rupiah dan memperjelas "underlying forward" beli valas/rupiah.
"Hal ini dilakukan dengan meningkatkan 'threshold forward' jual yang wajib menggunakan 'underlying' dari semula satu juta dolar AS menjadi lima juta dolar AS per transaksi per nasabah dan memperluas cakupan 'underlying' khusus untuk 'forward' jual, termasuk deposito valas di dalam negeri dan luar negeri," kata Mirza.
Kedua, BI menerbitkan Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) Valas. Penerbitan tersebut akan mendukung pendalaman pasar keuangan, khususnya pasar valas.
Ketiga, penurunan "holding period" SBI dari satu bulan menjadi satu minggu untuk menarik aliran masuk modal asing.
Keempat, pemberian insentif pengurangan pajak bunga deposito kepada eksportir yang menyimpan devisa hasil ekspor (DHE) di perbankan Indonesia atau mengonversinya ke dalam rupiah, sebagaimana yang telah disampaikan oleh pemerintah. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong DHE untuk menetap lebih lama di dalam negeri.
Kelima, BI mendorong transparansi dan meningkatkan ketersediaan informasi atas penggunaan devisa dengan memperkuat laporan lalu lintas devisa (LLD). Pelaku LLD wajib melaporkan penggunaan devisanya dengan melengkapi dokumen pendukung untuk transaksi dengan nilai tertentu.
Ketentuan itu sejalan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, yakni BI berwenang meminta keterangan dan data terkait lalu lintas devisa kepada penduduk.
"Paket kebijakan Bank Indonesia tersebut akan bersinergi dengan paket kebijakan pemerintah dalam mendukung prospek perekonomian Indonesia yang diyakini akan lebih baik ke depan," kata Mirza.
Seluruh rangkaian kebijakan diharapkan segera diimplementasikan sehingga dapat secara efektif mendukung terjaganya stabilitas makroekonomi, termasuk nilai tukar, demi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Kerja sama antara BI dan pemerintah dalam memperbaiki perekonomian nasional diharapkan berdaya guna meski ada persepsi negatif yang dirasakan pelaku pasar terkait dengan kondisi perekonomian nasional.
Cadangan Devisa
Berkaitan dengan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah, cadangan devisa Indonesia akhir September 2015 tercatat 101,7 miliar dolar AS, lebih rendah 3,6 miliar dolar AS dibandingkan dengan posisi akhir Agustus 2015 sebesar 105,3 miliar dolar AS.
Perkembangan tersebut disebabkan oleh penggunaan cadangan devisa dalam rangka pembayaran utang luar negeri pemerintah dan dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah.
"Hal tersebut sejalan dengan komitmen BI yang telah dan akan terus berada di pasar untuk melakukan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya guna mendukung terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara.
Dengan perkembangan tersebut, kata Tirta, cadangan devisa per akhir September 2015 masih cukup membiayai 7,0 bulan impor atau 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Persepsi negatif
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan bahwa pelemahan rupiah antara lain juga disebabkan masih adanya persepsi negatif yang dirasakan pelaku pasar terkait dengan kondisi perekonomian nasional.
"Masih ada sentimen atau persepsi yang kurang positif dan kita perlu menjelaskan secara umum bahwa perekonomian kita tidak jelek," kata Agus.
Meski ada perlambatan ekonomi, kata Agus, kondisi Indonesia masih lebih baik daripada negara-negara berkembang lainnya yang perekonomiannya tercatat tumbuh negatif sepanjang tahun ini.
"Indonesia pada tahun 2015 tumbuh pada kisaran 4,7 hingga 5,1 persen. Bandingkan dengan Brasil dan Rusia yang minus, padahal sebelumnya mereka dianggap sebagai negara kuat dan tumbuh baik," katanya.
Namun, dia mengakui ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan gangguan pada kinerja perekonomian dan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS secara drastis, seperti rencana penyesuaian suku bunga The Fed, perlemahan ekonomi Tiongkok, dan turunnya harga komoditas dunia.
Gangguan tersebut telah menyebabkan neraca transaksi berjalan masih tercatat defisit hingga 19 miliar dolar AS serta keluarnya modal hingga saat ini dana asing pada saham dan surat utang Indonesia tercatat hanya Rp37 triliun bandingkan dengan kondisi Desember 2014 sebesar Rp170 triliun.