Jakarta (Antara Babel) - KPK menetapkan Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Bobby Reynold Mamahit sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan Pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran Tahap III Kemenhub di Sorong tahun anggaran 2011.
Kasusnya berkaitan dengan penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan dan pelaksanaan pembagnunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) di kabupaten Sorong tahap III tahun anggaran 2011 di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan (BPSDMP).
"Setelah melakukan beberapa kali gelar perkara disimpulkan telah ditemukan dua bukti permulaan yang cukup yang kemudian disimpulkan telah terjadi dugaan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan tersangka BRM (Bobby Reynold Mamahit) sebagai Kepala BPSDMP dan DJP (Djoko Pramono) selaku Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Laut," kata Pelaksana Tugas (Plt) Johan Budi di gedung KPK Jakarta, Kamis.
Keduanya diduga melanggar pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
"Dalam pengadaan ini diduga negara dirugikan sekitar Rp40 miliar," tambah Johan.
Dalam dakwaan mantan General Manager PT Hutama Karya Budi Rachmat Kurniawan disebutkan bahwa Budi meminta bantuan Bobby dan Djoko menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran dalam proyek tersebut untuk memenangkan PT Hutama Karya dalam proyek tersebut.
"Terdakwa meminta bantuan Theofilus Waimuri selaku Staf Khusus/Penasihat Menteri Perhubungan untuk menyampaikan kepada Bobby Reynold Mamahit untuk memenangkan PT Hutama Karya dalam proyek pembangunan BP2IP Sorong, dan atas permintaan tersebut Theofilus menyanggupinya untuk mempengaruhi Bobby.
"Bobby lalu mengarahkan terdakwa untuk menemui Djoko Pramono meski diketahui PT Hutama Karya sebelumnya tidak pernah mengikuti kegiatan lelang pembangunan diklat Ilmu Pelayaran (rating school) di Sorong tahap I dan II," ungkap jaksa KPK Zhakiyul Fikri dalam sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta pada 9 Oktober 2015.
Saat menghadap Djoko Pramono, Djoko lalu memanggil ketua panitia pengadaan Irawan ke ruangannya dan mengatakan kepada Budi bahwa untuk urusan lelang proyek tersebut langsung berhubungan dengan Irawan, namun Djoko Pramono juga menyampaikan adanya kebutuhan "commitment fee" 10 persen dari nilai kontrak untuk diberikan kepada atasan langsungn KPA, KPA, PPK, panitia pengadaan dan pihak lain yang terlibat
"Atas permintaan kebutuhan commitment fee tersebut terdakwa menyetujuinya," ungkap jaksa.
Pertemuan kedua, Budi dengan Bobby dan Djoko terjadi setelah PT HK dibatalkan kemenangannya pada lelang. Kalahnya PT HK karena PT Panca Duta Karya Abadi mengajukan sanggahan dengan alasan sistem penilaian panitia lelang tidak menggunakan sistem gugur sesuai dokumen RKS yang kemudian diterima Itjen Kemenhub.
Pada pertemuan kedua pada Juli 2011 ini, Budi meminta Bobby dan Djoko Pramono agar PT HK tetap dimenangkan. "Atas permintaan terdakwa tersebut, Djoko Pramono menyampaikan kepada Irawan agar mengatur supaya PT HK tetap dinyatakan sebagai pemenang lelang," jelas jaksa.
Dari peran keduanya, Bobby mendapatkan Rp480 juta sedangkan Djoko Pramono memperoleh Rp620 juta dari total kerugian negara seluruhnya Rp40,193 miliar yang diperoleh dari selisih nilai pekerjaan yang diserahkan kepada subkon (Rp19,462 miliar), kontrak PT Hutama Karya dengan subkontraktor fiktif (Rp10,238 miliar), penggelembungan biaya operasional (Rp7,4 miliar) dan kekurangan volume pekerjaan (Rp3,09 miliar).