Polisi tak cuma eksis di ranah nyata kehidupan sehari-hari. Polisi, penegak hukum itu, bertugas mengawasi warga agar mereka menaati hukum positif.
Di jagat kebahasaan, ada juga "polisi", sedikitnya orang-orang yang berpikiran dan berlaku seperti polisi. Mereka suka mengukur perilaku bahasa orang dengan standar kebahasaan yang ditetapkan secara formal. Tentu istilah "polisi bahasa" bermakna mengolok-olok, menyindir.
Dalam telaah linguistik, perilaku polisi bahasa dikelompokkan dalam kajian yang preskriptif. Ini dikontraskan dengan studi deskriptif. Pada yang pertama, bahasa dipandang sebagai sesuatu yang semestinya, yang seharusnya, yang sesuai dengan norma-norma kebahasaan. Pada yang kedua, bahasa diuraikan sebagaimana apa adanya, tanpa penghakiman, penilaian.
Polisi bahasa sering ditemui pada mereka yang bekerja sebagai guru bahasa di sekolah dasar hingga perguruan tinggi, pada mereka yang menjadi penyunting di media massa. Mereka ini berkepentingan dengan tutur bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa yang sudah digariskan oleh konvensi yang cenderung formal.
Demikian juga dengan penyunting bahasa. Mereka ini rata-rata tak memberi ruang bagi pekerja kewartaan untuk bermain-main dengan kaidah bahasa.
Sebaliknya dengan sikap bahasa mereka yang tergolong ke dalam pendekatan deskriptif. Mereka ini ilmuwan bahasa, yang menelaah bahasa sebagaimana adanya. Tapi tentu kaum deskriptif ini tak akan menyajikan hasil telaahnya dengan mengabaikan kaidah berbahasa.
Jadi soal dikotomi preskriptif dan deskriptif tidaklah hitam putih, tidaklah lurus lempang. Ini berarti, selalu ada konteks kapan seseorang berpandangan preskriptif dan kapan berpandangan deskriptif.
Bahasa adalah sesuatu yang kompleks, itu pasti. Seorang editor tertentu tak jarang punya pandangan preskriptif untuk sesuatu yang sudah menjadi hukum besi dalam gramatika, tapi bisa liberal, membuka diri pada kemungkinan baru dalam ekspresi kebahasaan.
Ada juga editor yang kecenderungan sikap preskriptifnya dalam dosis tinggi. Mereka ini mencoba ketat, bahkan sangat ketat, terhadap perilaku berbahasa. Mereka tak mau kompromi dengan tata normatif berbahasa.
Editor yang demikian bisa menampik pemakaian kata-kata yang belum standar ke dalam berbahasa jurnalistik. Sebagai contoh, istilah-istilah gaul, kata-kata lisan yang belum terbakukan dalam bahasa Indonesia formal, tak akan ditoleransi masuk dalam kalimat di pemberitaan. Kalaupun harus masuk, kata-kata semacam itu harus ditulis dalam format huruf miring. Pemakaian kata hubung yang setepat-tepatnya bisa juga dijadikan patokan oleh redaktur yang sangat preskriptif.
Namun, editor yang lebih liberal, kurang punya jiwa preskriptif dalam laku kebahasaan, menenggang masuknya istilah-istilah gaul dalam pemakaian bahasa dalam berberita selama istilah-istilah itu sudah dikenal oleh masyarakat luas.
Apa ukuran yang menunjukkan bahwa sebuah kata gaul sudah diterima masyarakat luas? Tentu tak ada ukuran yang objektif. Meskipun mesin pencari dalam dunia maya bisa menghitung berapa juta kali sebuah kata ditulis oleh netizen, ukuran objektif itu tak bisa diandalkan.
Mengomparasikan masyarakat luas dan berapa jumlah kata yang diucapkan atau dituliskan orang tentu tak memberikan petunjuk yang memuaskan semua orang.
Kesintasan penggunaan sebuah kata agaknya juga penting untuk mengukur apakah kata gaul itu layak dianggap sudah sebagai baku atau belum.
Namun, di era teknologi informasi sekarang ini, media massa elektronik dengan cepat memopularkan sebuah kata gaul sehingga dipakai oleh masyarakat luas. Dari sinilah muncul pembedaan pandangan dan watak media: ada yang konservatif dan liberal.
Media yang konservatif sangat selektif untuk menerima kata-kata gaul yang sudah memasyarakat pun untuk dianggap sebagai kata yang sudah standar dan boleh masuk sebagai warga bahasa jurnalistik mereka.
Ini berseberangan dengan media yang cenderung liberal, yang mengakomodasi kata-kata gaul untuk menjadi warga bahasa yang terhormat sehingga ketika menggunakannya dalam pemberitaan tak perlu harus ditulis dalam huruf miring lagi.
Dalam perjalanan waktu, media yang cenderung preskriptif biasanya akan mengambil jalan taktis dengan menerbitkan semacam sisipan koran atau membuka rubrik tersendiri untuk mengakomodasi perkembangan baru dalam penggunaan bahasa gaul itu.
Jika media itu dalam bentuk digital, akan ada kanal atau ruang khusus yang digunakan untuk menampung isu-isu yang biasa diekspresikan dengan bahasa yang lebih bebas, tanpa mengacu pada penggunaan bahasa yang standar.
Di rubrik-rubrik semacam ini polisi bahasa untuk derajat keformalan kosakata biasanya tak eksis. Bahkan, tak ada editor yang memiliki jemari gatal yang dengan gampangnya mengganti-ganti kata yang ditulis oleh pengirim teks atau siapa pun yang menulis di rubrik itu.
Bahasa yang diciptakan atas dasar konvensi penggunanya pada akhirnya tak bersahabat dengan mereka yang punya kecenderungan untuk menjadi polisi bahasa. Polisi bahasa cenderung melihat segala sesuatu berdasarkan patokan yang sudah ada. Mereka ini tak berhasrat dengan inovasi berbahasa.
Polisi bahasa tak berminat dengan polifoni keberbahasaan di forum kebahasaan. Mereka lebih berkepentingan dengan tata krama dan keteraturan dalam mengekspresikan kata-kata yang sudah diatur baik segi gramatikanya maupun keformalan kosakatanya.
Anda pun bisa meraba-raba diri apakah anda termasuk pengguna bahasa yang cenderung berlaku sebagai polisi bahasa atau bukan. Kalau anda merasa cenderung bermental sebagai polisi dalam jagat kebahasaan, tak perlu berkecil hati. Itu bukan cacat watak meski kadang ada yang mengolok-olok.