Jakarta (Antara Babel) - Indonesia masih harus terus melakukan aksi nyata dalam kegiatan ekonomi syariah mengingat potensinya yang besar, seperti jumlah penduduk yang beragama Islam terbesar di dunia.
Dua institusi yang memiliki otoritas dalam kegiatan ekonomi syariah, yakni Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyatakan komitmennya untuk mendorong perekonomian syariah.
OJK sudah menyusun "road map" perbankan dan pasar modal syariah. Sementara BI selalu melakukan kajian tentang ekonomi dan keuangan syariah.
Pengaturan mengenai kegiatan ekonomi syariah telah diterbitkan sejak 2008, antara lain dengan terbitnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Perekonomian syariah muncul didorong keinginan tersedianya jasa keuangan yang sesuai prinsip syariah dengan mewujudkan sistem jasa keuangan yang terhindar dari praktek bunga, yang dianggap identik dengan riba, perjudian (maysir) dan ketidakpastian (gharar) dan praktek lainnya yang tidak sesuai syariah (haram).
Selain itu, juga didorong oleh keinginan untuk menata aktivitas ekonomi dan keuangan sesuai dengan tuntunan syariah, serta sebagai respons terhadap fenomena krisis yang dipicu oleh perilaku buruk dalam berekonomi yang mengabaikan etika, agama dan nilai-nilai moral.
Prinsip syariah dalam berekonomi juga memperhatikan kepentingan masyarakat dan lingkungan agar tidak menyebabkan ketidakseimbangan dalam distribusi kesejahteraan dan terjadinya kerusakan lingkungan.
Perkembangan
Buku Perjalanan Perbankan Syariah di Indonesia: Kelembagaan dan Kebijakan serta Tantangan ke Depan, yang diluncurkan BI, akhir bulan lalu, di Surabaya, menjelaskan bahwa perkembangan perbankan syariah di Indonesia, tidak terlepas dari perkembangan ekonomi syariah dunia.
Pada 1970-1980-an, industri keuangan Islam dunia mulai muncul dan terbatas pada kebutuhan umat Islam, terutama untuk pembiayaan perdagangan dan modal kerja.
Kemudian pada 1980-2000-an, laju perkembangan industri keuangan syariah mengalami periode kebangkitan, dengan lahirnya investasi serta asuransi dalam skema syariah.
Hal ini mengindikasikan bahwa bentuk industri keuangan syariah mulai terstruktur dengan berbagai macam produk keuangan yang bebas bunga, seperti "leasing", pasar modal, dan asuransi.
Skema ekonomi syariah yang bertumpu kepada keadilan dan transparansi dianggap memiliki keunggulan, karena dapat memberi kesejahteraan kepada masyarakat secara merata.
Karena itulah, pada perkembangannya ekonomi syariah tidak hanya dipraktikkan di negara dengan populasi mayoritas muslim, namun juga negara dengan persentase penduduk muslim yang kecil.
Pada rentang 2000-2010, pangsa usaha syariah pun berkembang menjadi lembaga investasi, aset manajemen, broker, dan pasar modal.
Perkembangan keuangan syariah di Indonesia secara formal dimulai sejak awal 1990. Munculnya pandangan mengenai hukum bunga yang dikemukakan oleh ulama dan sarjana Islam, menjadi latar belakang bertumbuhnya lembaga keuangan syariah di Indonesia.
Kala itu, berbagai sudut pandang mengenai bunga dalam kegiatan perbankan, baik yang mendukung maupun yang menentang karena dianggap tidak sesuai dengan hukum Islam, mengemuka dan menjadi bahan diskusi berbagai kalangan.
Dengan latar belakang itu, keberadaan lembaga atau produk keuangan yang berbasis Islam pun menjadi titik kemunculan industri ekonomi dan keuangan syariah.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan ekonomi syariah.
Menyadari hal tersebut, BI senantiasa berkomitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai poros pengembangan ekonomi syariah internasional, yang mampu menjawab tantangan global yang dihadapi.
Koordinasi
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo akhir bulan lalu mengatakan salah satu syarat pengembangan ekonomi syariah di Indonesia adalah adanya kebijakan yang memadai, yang didukung oleh koordinasi pemerintah pusat dan daerah.
Perry mengatakan ekonomi dan keuangan syariah yang tumbuh dan berkembang pesat bisa menjadi solusi bagi pemberdayaan ekonomi Indonesia serta mendukung pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Namun, menurut dia, selain membutuhkan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, tantangan lainnya adalah memunculkan kesadaran dan mendorong partisipasi masyarakat agar mau terlibat dalam kegiatan ekonomi syariah.
Selain itu, dinyatakan perlunya pengembangan model-model pembiayaan syariah yang dapat diimplementasikan di pasar keuangan.
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengembangan ekonomi maupun keuangan syariah di Indonesia adalah dengan menyinergikan kebijakan dan pengaturan dari sisi makro dan mikro.
"Untuk itu, perlu adanya pengembangan produk pasar keuangan dan peningkatan efisiensi sektor keuangan. Seluruhnya harus didukung oleh sumber daya manusia yang memadai," kata Perry.
Pada pertengahan 2015, pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia tercatat hanya 4,61 persen.
Pertumbuhan dua sektor utama industri keuangan syariah yaitu pasar modal meningkat dari minus 1,57 persen menjadi 3,09 persen, sementara perbankan turun dari 13 persen menjadi hanya sembilan persen.
Sejalan dengan pelambatan ekonomi nasional, pertumbuhan aset, Dana Pihak Ketiga (DPK) dan pembiayaan perbankan syariah pada Semester I-2015 tercatat masing-masing sebesar sembilan persen, 7,29 persen dan 6,66 persen.
Padahal pertumbuhan aset, DPK dan pembiayaan pada Semester II-2014 masing-masing mencapai 13 persen, 11,41 persen dan 8,76 persen.
Data OJK per Maret 2015, industri perbankan syariah terdiri dari 12 bank umum syariah, 22 unit usaha syariah yang dimiliki oleh bank umum konvensional dan 163 BPRS dengan total aset Rp264,81 triliun dengan pangsa pasar 4,88 persen.
Sementara jumlah pelaku industri keuangan non bank (IKNB) syariah 98 lembaga di luar LKM, yang terdiri atas usaha jasa takaful (asuransi syariah) yang mengelola aset senilai Rp23,80 triliun, disamping usaha pembiayaan syariah yang mengelola aset senilai Rp19,63 triliun, dan lembaga keuangan syariah lainnya dengan aset Rp12,86 triliun. Secara keseluruhan pangsa pasar IKNB Syariah telah mencapai 3,93 persen dibanding total aset IKNB secara umum.
Sedangkan pasar modal syariah yang dikembangkan dalam rangka mengakomodasi kebutuhan masyarakat di Indonesia untuk berinvestasi di produk-produk pasar modal sesuai prinsip dasar syariah.
Sampai akhir Maret 2015, total saham syariah yang diperdagangkan di pasar modal syariah mencapai Rp3.037,46 triliun, sementara sukuk korporasi yang diperdagangkan mencapai Rp7,1 triliun dan reksadana syariah Rp11,7 triliun.
Dengan perkembangan ekonomi syariah yang makin luas, serta ketertarikan dunia yang besar terhadap perbankan syariah, Indonesia pun harus terus melakukan aksi nyata dalam kegiatan ekonomi syariah.