Jakarta (ANTARA) - Tanggal 1 Oktober 2022 berlangsung pertandingan klub Arema FC melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Esok harinya, suara sirene meraung-raung, mulai sekitar pukul tiga dini hari. Mengiris dan menyisakan rasa pedih. Berbagai berita di media sosial bermunculan. Istilah kerusuhan, bencana, dan tragedi banyak diunggah di media sosial semakin memancing emosi banyak pihak.
Semua berusaha mencari pihak yang harus bertanggung jawab. Aremania harus bertanggung jawab karena turunnya mereka ke lapangan membuat polisi terpancing untuk menyemprotkan gas air mata. Penyelenggara harus bertanggung jawab karena sudah diberi berbagai solusi, tetapi tidak mengindahkan.
Polisi juga harus bertanggung jawab karena FIFA sudah melarang gas air mata masuk stadion, namun masih juga membawa alat pengendali massa tersebut dan menyemprotkannya ke arah penonton.
PSSI harus bertanggung jawab karena tidak mempunyai staf yang berlisensi stadium security. Bahkan Kapolda Jatim dan Kapolres Malang juga dituntut untuk mundur.
Semua pihak turun menghadirkan simpatinya. Presiden Jokowi memerintahkan untuk melakukan evaluasi menyeluruh tentang pelaksanaan pertandingan sepak bola dan juga prosedur pengamanan penyelenggaraannya. Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan pemerintah akan melakukan penelusuran, Gubernur Jawa Timur dan Kapolda turun ke lapangan, wali kota dan bupati ikut mendampingi korban.
Selain itu, PSSI sampai FIFA meminta laporan secara detail sebelum mengambil keputusan. Semua pihak bergerak pragmatis.
Melihat berbagai respons itu, ternyata Arema menjadi bagian dari negara. Arema bukan sekadar patung singa. Arema bukan sekadar pemain bola dan suporternya. Arema bukan sekadar lagu.
Arema bukan sekadar kaos biru, yang disanjung ketika berprestasi dan dibuang ketika berkonsekuensi. Bukan pula yang dipamerkan ketika butuh jati diri dan dimanfaatkan ketika butuh suara pemilih.
Arema menjadi identitas. Arema menjadi budaya. Arema menjadi kekuatan. Arema merupakan subjek dan bukan objek. Arema merupakan kekuatan yang mampu membangkitkan Malang. Arema merupakan budaya yang mempertemukan keunikan aktor dan modal di Malang.
Arema menjadi identitas sekaligus aset. Aset kota/kabupaten, propinsi, bahkan Indonesia. Nama Arema telah bergerak dan menggerakkan nadi kehidupan sampai tataran global.
Karena itu, power Arema harus digali sampai ditemukan nilai yang mengakar di dalamnya. Power sebagai komunitas yang humanis, optimistis, sportif, atraktif, dan juga ekonomis harus tumbuh pada diri semua insan yang mengatakan dirinya Arema.
Arema harus menjadi bagian dari pemikiran pihak yang berada di arena Arema. Pemerintah, ilmuwan, praktisi, dan seluruh pemangku kepentingan. Mereka harus duduk bersama memikirkan bahwa Arema selama ini menjadi bagian dari nadi mereka yang telah membawa mereka menjadi orang besar. Kebesaran mereka harus sebanding dengan kedewasaan Arema. Kedewasaan berpikir, bertindak, dan berkarya.
Sebelumnya, perlu ditelisik kembali komentar berbagai pihak terhadap Tragedi Kanjuruhan. Ada yang berkomentar tentang mars Arema yang berbunyi "Jangan mau pulang sebelum Arema menang, walau harus mati di lapangan". Lagu tersebut disinyalir menjadi "motivasi" terjadinya tragedi Arema yang ketika kalah, mereka tidak pulang dan mati di lapangan.
Selain itu, ada yang mengomentari banner yang berbunyi “Kiamatmu di Malang”. Tulisan tersebut menunjukkan emosi Arema, sehingga mereka tidak menerima ketika tim kesayangannya kalah.
Komentar di atas harus disikapi secara positif, karena persepsi bisa diubah. Perlu dilakukan rekonstruksi kultural terhadap lambang Arema. Singo Edan melambangkan kepenguasaan, kekuatan, dan ketegaran masyarakat Malang. Akan tetapi, ketika tidak lagi berada di hutan, singa tidak lagi diatur oleh hukum rimba. Singa diatur oleh hukum sosial yang bersifat humanis.
Selain itu, kata "edan" tidak hanya bermakna negatif (gila), tetapi juga bermakna positif. Dalam konteks kalimat "Edan, apik tenan", artinya "Gila, bagus sekali" yang disampaikan dalam kondisi kaget, ketika melihat barang yang mahal dan bagus, maka edan bisa bermakna bagus.
Karena itu, kata "edan" juga merupakan kata ekspresif yang mengekspresikan sesuatu yang "bagus", bahkan indah. Karena itu, "Singo Edan" merupakan ekspresi tentang kepenguasaan, kekuatan, dan ketegaran masyarakat Malang dalam berjuang, salah satunya dalam bidang sepak bola. Berjuang melawan pesimisme, rasa lelah, dan tantangan lawan.
Jika makna positif kata "Singo Edan" dipahami dan diinternalisasi pada diri semua pihak, maka tragedi di Stadion Kanjuruhan tidak akan terjadi. Semua pihak akan menempatkan dirinya pada peran yang tepat. Para penonton akan memahami bahwa dalam mendukung timnya, mereka tidak apatis, tapi optimis. Tidak sekadar mengejar prestise, tetap lebih mengutamakan sikap sportif, dan tidak dilakukan secara anarkis, tapi atraktif.
Sudah waktunya semua duduk bersama untuk membentuk pikiran positif. Identitas Arema dan Aremania harus diinternalisasi dalam diri masyarakat Malang. Penonton Arema merupakan penonton yang "edan". Santun Ketika di lapangan, kompak ketika mendukung tim. Indah ketika menampilkan gerakan di tribun, merdu ketika menyanyikan lagu kebanggaan.
Mari duduk bersama untuk menggali sampai ke akar-akarnya tentang Arema. Sudah saatnya kita menghias dan mempercantik Arema. Di balik Arema banyak sumber daya yang hebat dan kuat.
Di balik Arema ada identitas yang kompleks. Ada makna pertemuan. Pertemuan pemerintah, masyarakat, kreator, dan para pemangku kepentingan. Pertemuan yang membuat Malang mempunyai jati diri. Jati diri yang hebat. Jati diri yang perlu diinternalisasi dan dieksternalisasi secara tepat, sehingga dikenal oleh semua pihak. Dikenal karena kehebatannya.
Sudah saatnya "Singo Edan" di-branding secara positif. Kreativitas mereka perlu diberi wadah. Optimisme mereka perlu disalurkan. Daya juang mereka perlu diberdayakan. Jiwa kampung mereka perlu diarahkan.
Kecerdasan mereka difasilitasi agar mereka tidak menjadi kampungan. Agar mereka mampu mewarnai dunia. Agar semua orang datang ke Malang untuk melihat kehebatan "Singo Edan".
Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober bukan sekadar untuk mencari siapa yang bertanggung jawab. Jadikan tangisan keluarga korban sebagai pemantik munculnya kreativitas semua pihak. Bukan untuk disalahkan keberadaan anak dan keluarga mereka di stadion.
Mereka di Kanjurhan karena ada jiwa "Arema" yang mencengkeram dalam diri mereka. Perlu digali kedalaman jiwa mereka sampai ke akar-akarnya. Jiwa yang membuat "Singo Edan" menyatukan jiwa banyak pihak. Jiwa yang telah mengikat Malang, bahkan negara. Jiwa yang membentuk satu salam, "Salam Satu Jiwa, Arema".
*) Dr Lilik Wahyuni adalah dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya Malang