Jakarta (ANTARA) - Bulan-bulan ini, para Malaikat menguncupkan dan merebahkan sayap. Melongo dan menatap anak-anak ‘asuhan spiritual’ mereka berlari maju-mundur, berputar, sesekali terjatuh, meringis.
Pangeran yang berlari itu, bertugas mengejar benda bundar yang menggelinding liar dan menjinak. Bisa dilambung, gerakan lurus datar atau melenting diagonal. Kali yang lain berpelukan dan mendabik dada. Sebelum dan setelah kisah lari-berlari itu, mereka mencium tanah, sujud, bahkan rebah.
Tuhan pun “rehat” sejenak, khusus menatap kelakuan debu astroid yang mengulang-ulang perbuatan per empat tahun. Kali ini, di tanah Qatar. Sebuah “Divine Trouper” [Hiburan Ilahi]? Permainan imajinal di atas imajinasi?
Agama hanya mempersatu umat dalam satu visi spiritual. Namun bola [sepak], akibat tendangan dan jotos-jotosan itu, malah mempersatukan dunia. Dalam persaingan, rupanya ada kaidah ‘mempersatu’. Maka, bertandinglah!!! Jangan lekas berkolaborasi.
Freudian boleh berkata tentang ‘anime’ arkhaik yang dipoles dalam genderang permainan modern dihiasi sorak sorai; mereka yang bersorak, sekaligus disorak. Mereka yang menjerit adalah jua yang dijerit.
Inilah semesta partisipatoris, ujar John Wheeler. Kita adalah kanvas, sekaligus lukisan di atasnya. Kita adalah kuas pelukis, sekaligus pelukisnya. Di sini, batas keterpisahan antara seni dan seniman, pudar. Dia bergerak dalam “keutuhan tak terbagi dalam gerak mengalir” [Undivided Wholeness in flowing Movement].
Sekali lagi, Freudian melunjurkan medan konflik antara Ayah-anak lelaki, demi percumbuan [united] dengan sosok ibu [isteri] dalam senarai Oedipus: Semangat mempersatu dan memisah dalam prinsip bilokasi.
Bilokasi? Ya, bilokasi terkadang dilayani oleh semburan dalam rona pesta pora [Qatar] dan bencana [Cianjur]. Bilokasi jenis ini dilayani oleh jentera simultanitas [keserempakan medan gerak@ simultaneous]. Bahwa ‘alam bawah’ [bumi] menyelenggarakan moda kehidupan yang berlangsung dalam keserempakan dinamis. Pesta pora di sana, bencana di sini. Kasalehan waraq di sebelah, di seberang sana kemaksiatan berjenang.
Semua gerak turun naik antara pesta dan bencana tersambung pada satu matriks relasi illahiah. Manusia, adalah ikhtisar/ringkasan dari jagad gede [makro kosmos]. Sebaliknya, alam raya [makro kosmos] adalah ensiklopedi purna tentang diri manusia yang memikul ‘alam bawah’ dengan ciri utamanya; keragaman, pluralitas, multiplisitas. Sebaliknya ‘alam atas’ itu [yang memikul prinsip Wahdah, Ketunggalan, Oneness], tiada keragaman.
Ketunggalan, Oneness itulah ‘wujud kecerdasan’ yang bertanggung-jawab atas dunia fisik kita, ujar Max Plank sang juru kunci Quantum. Setiap orang boleh menduga, “Kecerdasan” itu ditampung dalam ruang kosong. Namun, sebaliknya, alam tak menyukai kevakuman. Walhasil, alam hanya memperlihatkan kepada kita “ekor singanya saja”, kata Einstein. Pesta pora bola di Dhoha dan selingkar kota-kota Qatar, gempa yang menghias kepulauan lingkaran api, adalah jenis ekor-ekor Singa dalam salinan nyata di dunia kita, yang copy masternya ada di alam sana [iPad-Ilahiah]. Sejenis “Pokok Wujud” [Whusul Wujud] yang menjuntaikan efek ekor Singa. Ekor itu terkadang diam, tak bergerak, sesekali bergerak kaku. Pada kala yang lain gerak ritmis, dinamis dan bahkan bergoncang sekaligus efek mendegup.
Maka, sambung Einstein lagi; “manusia, sayuran, atau pun debu kosmik, semuanya menari dalam alunan musik misterius, yang dilantunkan dari jarak super sayup oleh sosok peniup seruling gaib”. Lalu, beberapa jeda kemudian, Max Plank menyambut; “segala sesuatu terkoneksi melalui energi yang sangat nyata meskipun tak lazim”.
Alam semesta raya maha luas ini, apakah penduduknya kita sendiri [manusia]? Jika demikian, betapa mubazirnya kehadiran bermilyar bintang dan planet [bila dijelaskan sebagai lokasi]. Kalau memang demikian, begitu ‘semena-menanya’ Tuhan sebagai “Kecerdasan” yang bertanggung-jawab ke atas dunia fisik dan nir-fisik” itu. Kenapa dijadikan “begitu banyak lokasi”, tapi dibiarkan tanpa penghuni, paling tidak bisa disewakan. Jika, berisi semua lokasi itu, apakah statusnya sama dengan status kita yang memikul ‘alam bawah’ dengan prinsip ‘multiplisitas, keragaman’ selaku makhluk? Keragaman itu lah yang hendak dihimpun dalam semangat pertandingan yang [sedang] dimainkan di Qatar.
Apakah pesta Qatar itu sebuah salinan dan tafsir gerak pesta yang dilantunkan oleh juntaian ekor Singa yang [juga] tengah asyik menonton perilaku makhluk di dunia lain? Yang berlangsung dan berjalan serempak dalam copy-copy-an [darat dan udara?].
Sebentang tarik-menarik, tolak-menolak dalam pesta pora Qatar dan bencana gempa di Cianjur, kita tautkan garis lurus antara otak Einstein dan Akal-Kemalaikatan yang sebelumnya ditiupkan Konrad Finagle: “Simak secara seksama! Apa yang akan berlaku jika kita menghilangkan ruang di antara materi?
Segala yang ada di semesta akan mengkerut secara serempak, dan menjelma bak volume tak lebih dari sebutir debu halus. Ruang menjaga agar segala sesuatu tidak terjadi pada tempat yang sama”.
Dialog bintang Hollywood Morgan Freeman dengan seorang difabel asal Qatar [Ghanim al Muftah] pada majelis pembukaan Festival Bola 2022 minggu lalu, adalah jarum jahit yang ditekan dan disembulkan kembali, demi memahami siapa kita: “Bagaimana begitu banyak negara, bahasa dan budaya, jika hanya satu cara yang diterima?”
Dengan cergas Ghanim menjawab: “Kami dibesarkan untuk percaya bahwa kami tersebar di bumi ini sebagai bangsa, sebagai suku, sehingga kami dapat belajar satu sama lain dan menemukan keindahan dalam perbedaan”.
Kita yang memikul hak “multiplisitas, pluralitas, keragaman” sebagai hak kemakhluk [bukan Hak Khalik], didorong untuk memahami segala ihwal yang terjadi secara serempak dalam moda bilokasi. “Bahwa, tanpa pemahaman tentang jati diri kita, sergah Louis Leakey, kita tidak pernah benar-benar berkembang”.
*) Prof Dr Yusmar Yusuf adalah budayawan dan Guru Besar Kajian Melayu Universitas Riau