Jakarta (Antara Babel) - Indonesia menolak keras rencana penetapan pajak
progresif untuk semua produk berbasis minyak kelapa sawit oleh Prancis.
Deputi
I Bidang Kedaulatan Maritim Menko Kemaritiman Arif Havas Oegroseno
dalam diskusi terbatas bersama wartawan di Jakarta, Senin, mengatakan
rencana penetapan pajak tersebut terdapat dalam rancangan undang-undang
tentang keanekaragaman hayati yang diputuskan senat Prancis pada 21
Januari.
"Dalam RUU tersebut, ditempelkan adanya pajak untuk
produksi sawit yang mulai berlaku pada 2017 dengan rincian 300 euro per
ton untuk 2017, 500 euro per ton untuk 2018, 700 euro per ton untuk 2019
dan 900 euro per ton pada 2020. Padahal sekarang saja kita sudah kena
pajak minyak sawit 103 euro per ton," katanya.
Khusus untuk
minyak kelapa sawit yang digunakan untuk produk makanan, RUU tersebut
menetapkan adanya tambahan bea masuk sebesar 3,8 persen. Sedangkan untuk
minyak kernel yang digunakan untuk produk makanan akan dikenakan bea
masuk 4,6 persen.
Setelah 2020, lanjut Havas, pajak tersebut akan dinaikkan secara tahunan yang ditentukan oleh Kementerian Keuangan Perancis.
"Anehnya,
pajak itu tidak ditetapkan pada biji rapa, bunga matahari dan kedelai
atau minyak nabati yang diproduksi di Prancis. Kami anggap ini langkah
diskriminatif terhadap produk Indonesia yang produsen terbesar sawit,"
imbuhnya.
Menurut Havas, senat Prancis menilai kebijakan pajak
sawit itu dilakukan untuk membantu memerangi deforestasi dan kerusakan
ekosistem.
Pajak itu juga digunakan untuk menghilangkan pestisida berbahaya (parakuat) yang diklaim dipakai di kebun sawit seluruh dunia.
Pajak
tersebut, juga rencananya digunakan untuk menghilangkan bahaya
kesehatan seperti serangan jantung dan alzheimer yang disebut-sebut
disebabkan oleh produk minyak sawit.
"Kami sudah sampaikan
keberatan ke pemerintah Prancis melalui Dubes Prancis dalam pertemuan
siang tadi. Kami juga telah membahas masalah ini dengan Malaysia yang
juga merupakan inisiator Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Kelapa
Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC)," ujarnya.
Indonesia keberatan
Havas menjelaskan, pihaknya telah
menyampaikan sejumlah alasan keberatan atas rencana penerapan pajak
terhadap produk berbasis minyak kelapa sawit.
Alasan pertama,
yakni bahwa Prancis, Denmark, Inggris, Belanda dan Jerman telah
menandatangani perjanjian Amsterdam yang menyebutkan bahwa kelima negara
tersebut mendukung praktik minyak kelapa sawit berkelanjutan.
"Jadi
di satu sisi mereka mendukung kita, tapi di sisi lain parlemen Prancis
justru memberikan hukuman ke kita dengan pajak yang tinggi," katanya.
Havas,
atas nama pemerintah Indonesia, juga menilai rencana pengenaan pajak
tersebut diskriminatif lantaran produk minyak nabati produksi Prancis
justru tidak diberikan pajak yang sama.
"Ini pelanggaran dalam
kewajiban WTO juga terhadap perjanjian GATT 1994, juga bertentangan
dengan aturan pasar Uni Eropa," katanya.
Havas juga menjelaskan,
Indonesia telah memiliki Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang
mendorong produksi sawit berkelanjutan dan prolingkungan hidup.
"Ini
tidak masuk akal karena pemerintah sudah melakukan upaya deforestasi.
Pemerintah juga punya tindakan tegas terhadap perusahaan sawit yang
terlibat dalam kebakaran hutan kemarin. Bahkan CIFOR, lembaga pengawas
hutan, menyebut hanya 10 persen dari kebakaran hutan kemarin itu soal
sawit," ujarnya.
Terkait penggunaan pestisida parakuat, Havas
menilai alasan tersebut tidak valid. Pasalnya, penggunaan parakuat telah
lama dihapuskan.
Ada pun terkait alasan kesehatan, ia menuturkan klaim tersebut tidak benar berdasarkan hasil riset lembaga Prancis, Credoc.
"Yang
lebih ironis, jika pajak ini benar-benar diberlakukan, dananya akan
ditransfer ke social security funds untuk mensubsidi petani dan
masyarakat Perancis. Ironis sekali karena petani sawit miskin Indonesia
nantinya akan memberi jaminan sosial bagi orang Perancis," katanya.
Oleh
karena itu, Havas menjelaskan, bersama Kementerian Perdagangan,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian akan melakukan upaya
diplomasi pada pemerintah Prancis.
Bersama Malaysia dalam keanggotaan CPOPC, Indonesia juga akan melakukan diplomasi meminta rencana tersebut ditarik kembali.
"Jadi
15 Maret mendatang akan diputuskan RUU ini. Dari senat ke kongresnya.
Tapi sebelum itu kita punya waktu untuk melakukan diplomasi dan
menyampaikan posisi kita," pungkasnya.