Jakarta (ANTARA) - Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto menilai pemindahan Depo Pertamina Plumpang atau Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Plumpang, di Koja, Jakarta Utara, bukanlah pilihan ideal karena lokasi saat ini sudah sangat strategis.
Posisi Depo Plumpang sangat ideal dan strategis karena dekat dengan Pelabuhan Tanjung Priok dan akses jalan tol dalam kota. Artinya, memindahkan (TBBM) ke lokasi lain bukan pilihan ideal, ujar Toto dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Terkait hal itu, Toto mengusulkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dapat memanfaatkan beberapa sarana rusunawa yang masih kosong, seperti di Manggarai dan Pulogebang sebagai sarana relokasi warga Plumpang.
Praktik serupa pernah dilakukan, misal untuk relokasi eks warga sodetan Sungai Ciliwung. Jadi, ini alternatif yang bisa dikerjakan, ucap dia.
Toto mengatakan Pertamina tak bisa sendirian dalam menata "buffer zone" di berbagai objek vital nasional (obvitnas) yang dimiliki.
Menurut Toto, Pertamina perlu dukungan dan harus berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah setempat.
Koordinasi lintas K/L dan pemda sangat penting untuk menjaga keamanan aset vital ini, kata Toto.
Untuk Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Plumpang misalnya, Toto mengatakan bahwa salah satu dukungan yang dibutuhkan adalah dari pemerintah setempat.
Dalam hal ini, katanya, Pertamina dengan didukung Pemprov DKI Jakarta membebaskan lahan permukiman. Dengan demikian, posisi Depo Plumpang lebih steril.
Selain dukungan kementerian/lembaga dan pemerintah setempat, katanya, dukungan aparat penegak hukum, seperti Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diperlukan, terutama dari sisi pengawasan.
Aspek pengawasan ke depan tentu bisa menggandeng aparat penegak hukum seperti Kejagung dan KPK, ujar Toto.
Mengenai perlunya dukungan, papar dia, sebelumnya disampaikan Pertamina. Menurut BUMN tersebut, dalam penataan "buffer zone", Pertamina membutuhkan dukungan sejumlah instansi, di antaranya, Kementerian BUMN, Kementerian ESDM, Kementerian ATR/BPN, TNI/Polri, Jaksa Agung, KPK, dan Pemprov DKI.
Dukungan Kementerian BUMN, misalnya dibutuhkan terkait persetujuan dalam membangun "buffer zone",.sedangkan dukungan Kementerian ATR/BPN adalah memastikan status lahan dan lokasi yang akan dijadikan area penyangga sebagai ruang terbuka.
Begitu pula dengan TNI/Polri,ujar dia, dukungan yang dibutuhkan dalam rangka cipta kondisi proses pengosongan lahan, sedangkan Kejagung/KPK untuk pendampingan memberikan santunan/kerohiman kepada warga terdampak.
Berbagai dukungan tersebut, tambah dia, tentu berdasarkan payung hukum yang ada.
Dukungan Pemprov DKI dalam memimpin pengosongan lahan, misalnya sesuai Perpres Nomor 62/2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional dan Perpu No. 22/2022 tentang Cipta Kerja.