Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis anak RSCM Jakarta Pusat, Dr. dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A (K) mengatakan anak yang hidup dengan orang tua atau keluarga perokok memiliki risiko empat kali lebih besar mengalami gangguan pernapasan dibanding yang tidak tinggal dengan perokok.
“Anak yang hidup dengan perokok itu empat kali lebih tinggi kemungkinan untuk masuk ke rumah sakit karena gangguan pernapasan dibandingkan dengan anak yang tidak tinggal dengan perokok. Jadi itu patut menjadi perhatian,” ucapnya dalam pesan singkat yang diterima ANTARA, Kamis.
Nastiti mengatakan, anak yang tinggal dengan orang tua perokok bisa disebut dengan Third Hand Smoker. Meskipun orang tua mengaku tidak pernah merokok di depan anak, nyatanya penelitian menunjukkan partikel-partikel dari asap rokok dapat menempel di meja, sofa, atau menempel di tembok.
Hal ini juga termasuk pada rokok elektrik atau yang sering dikenal dengan vape. Menurutnya, paparan asap rokok elektrik sama bahayanya dengan asap rokok biasa.
Tidak hanya asap rokok, paparan alergen udara lainnya seperti debu, udara dingin dan paparan asap lainnya juga bisa menjadi pencetus asma pada anak kambuh atau tambah parah.
“Sebetulnya masih banyak asap-asap yang lain yang juga bisa mencetuskan serangan. Seperti Asap kendaraan bermotor ketika memanaskan mobil atau motor asapnya masuk ke dalam rumah itu bisa menjadi pencetus, Kemudian asap masakan yang bisa sangat iritatif. Misalnya membuat masakan yang sangat tajam aromanya dan menusuk hidung Misalnya menumis sambal,” ucap dokter dengan bidang spesialis Pulmonologi Respirologi anak ini.
Dokter tamatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) ini mengatakan anak dengan penyakit asma harus bisa ditangani dengan benar.
Serangan asma yang berat dengan kondisi sesak napas hingga penurunan kesadaran, akan bisa mengancam jiwanya, meskipun angka kematian asma pada anak masih lebih rendah dibanding dengan penyebab kematian lainnya seperti pneumonia dan infeksi pernapasan lainnya.
Selain itu, penanganan yang tidak benar juga dapat memengaruhi kualitas hidupnya sehingga tidak sebaik anak-anak normal lainnya.
“Karena kalau misalnya asmanya tidak tertangani anak asma jadi takut berolahraga karena berolahraga bisa menyebabkan serangan misalnya. Dia takut beraktifitas dengan leluasa, kemudian dia juga sering mengalami gangguan tidur ketika serangan asma terjadi pada malam hari. Itu adalah hal-hal yang seringkali membuat kualitas hidup anak dengan asma terganggu,” ucapnya.
Orang tua juga perlu berperan pada penanganan dan pengobatan anak dengan asma. Nastiti mengatakan orang tua bisa mengenali faktor-faktor yang sering mencetuskan asma pada anak agar terhindar dari faktor-faktor serangan asma.
Jika dokter sudah memberikan pengobatan asma, orang tua perlu memastikan bahwa anak menggunakan obat pengendali asma dengan teratur atau asma reliever.
“Obat itu harus digunakan biasanya dalam bentuk inhaler harus digunakan setiap hari, maka orang tua tentu berperan untuk memastikan bahwa anak menggunakan obat pengendali dengan teratur. Ketika anak yang seharusnya mendapat obat pengendali atau kontroler ini tidak menggunakan obat dengan teratur maka akan terjadi serangan asma yang sering,” ucap Nastiti.
Ia juga mengatakan pengobatan asma bisa dilakukan mandiri di rumah dengan obat dari dokter berupa inhaler atau nebulizer yang bisa digunakan di rumah. Alat ini bisa digunakan untuk meredakan serangan asma saat anak mulai batuk, nafas berbunyi dan tampak sesak.
Orang tua juga perlu mengamati apakah terjadi respon membaik dengan obat-obatan pereda asma. jika tidak ada respon membaik, sebaiknya segera bawa anak ke rumah sakit terdekat untuk penanganan lebih lanjut.