Surabaya (ANTARA) - Bagi masyarakat miskin, akta nikah adalah barang mewah. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa mengurus pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) ribet dan tentunya ada biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan administrasi. Sehingga dari alasan itu, mereka lebih memilih nikah secara agama atau nikah siri.
Di lain hal, ada juga yang berpendapat pencatatan perkawinan bukanlah merupakan syarat sahnya perkawinan, melainkan hanya sebagai syarat kelengkapan administrasi perkawinan. Sahnya perkawinan dilakukan menurut cara berdasarkan aturan agama dan keyakinan kedua belah pihak yang melakukan perkawinan.
Sehingga ada warga yang tidak mencatatkan perkawinannya ke Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di KUA. Perkawinan yang mereka lakukan hanya memenuhi tuntutan agamanya tanpa memperhatikan tuntutan administratif.
Sebagai konsekuensinya, perkawinan mereka tidak mendapatkan akta/buku nikah, sehingga suami atau istri tidak dapat melakukan tindakan hukum keperdataan berkaitan dengan rumah tangganya.
Anak-anak yang dilahirkannya hanya diakui oleh negara sebagai anak di luar kawin yang hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya.
Implikasinya, jika seorang istri dan anaknya ditelantarkan oleh suami atau ayah biologisnya, maka tidak dapat melakukan tuntutan hukum baik pemenuhan hak ekonomi maupun harta kekayaan milik bersama.
Namun, dengan adanya nikah massal yang digelar pemerintah maupun lembaga swasta, banyak masyarakat miskin yang cukup antusias mengikutinya. Mereka yang ikut ada yang lanjut usia (lansia) maupun ada yang masih muda.
Harapannya, dengan nikah massal, mereka bisa menghindari nikah siri dan kumpul kebo atau hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan yang bisa menyumbang munculnya rangkaian masalah sosial, di antaranya lahirnya generasi yang rentan dalam hal ikatan kekeluargaan.
Akta nikah merupakan dokumen yang sangat penting. Tak hanya untuk keperluan suami istri, tapi juga buat anak-anak mereka. Misalnya untuk keperluan cerai, akta kelahiran anak, atau waris. Hal ini penting karena berkaitan dengan pengakuan dari negara.
Menilik Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sesaat setelah melangsungkan pernikahan, kedua mempelai memang harus menandatangani akta nikah. Pasal 11 ayat 3 PP itu menyatakan, dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Jika sebuah pernikahan dilakukan secara siri, ada kemungkinan di kemudian hari pernikahan itu dibatalkan. Tak lain, karena pernikahan seperti itu tidak menghasilkan akta nikah dan karena itu tak diakui negara.
Lindungi perempuan dan anak
Isbat nikah merupakan program yang penting, terutama bagi masyarakat tidak mampu yang memerlukan legalitas hukum terhadap perkawinannya dan anak yang dilahirkan dari pernikahan siri. Isbat nikah adalah cara untuk melakukan pengesahan atas perkawinan siri.
Setiap tahun Pemerintah Kota Surabaya selalu mendata jumlah pernikahan yang tidak tercatat di KUA pada tiap kecamatan untuk dijadikan dasar pelaksanaan kegiatan isbat nikah massal.
Program nikah massal merupakan salah satu program pemerintah untuk mensosialisasikan pentingnya dokumen kependudukan dan meminimalisir pernikahan siri. Sehingga, kepala daerah diharapkan bisa mengajak masyarakat untuk ikut menyukseskan program tersebut.
Nikah massal merupakan wujud kepedulian pemerintah kepada masyarakat yang telah menikah secara syah menurut ajaran agama Islam namun belum mendapatkan legalitas dari pemerintah karena tidak memiliki buku nikah yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia.
Selain itu, nikah massal itu merupakan salah satu wujud Layanan Online dan Terpadu melalui One Gate System (Lontong Kupang), yakni mengesahkan perkawinan secara hukum. Sebab, sebelumnya, para pasangan tersebut belum mencatatkan perkawinan secara sah menurut negara, hanya secara sah menurut agama.
Intinya tujuan dari nikah massal agar pengantin memiliki status hukum yang sah secara agama maupun negara. Hal ini juga untuk menjamin kepastian hukum warga negara, maka setiap warga negara harus melengkapi syarat yang telah ditetapkan oleh pemerintah tentang perkawinan.
Karena dari perkawinan tersebut akan timbul hubungan antara suami, istri dan anak-anaknya. Perkawinan yang sah dan diakui oleh pemerintah harus dicatatkan menurut peraturan yang berlaku. Hal ini selain penting untuk ketertiban administrasi, juga penting bagi mereka yang melangsungkan perkawinan, yaitu sebagai bukti otentik dari pemerintah tentang hubungan seorang laki-laki dan
wanita.
Nikah massal, sekaligus juga bagian dari upaya melindungi kaum perempuan dan anak, agar memiliki kedudukan hukum yang jelas dan kuat.
Sekaligus juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya dokumen kependudukan dan pencatatan sipil. Serta, mewujudkan indeks kebahagiaan warga dan sebagai sarana menekan angka pernikahan siri.
Bisa dibayangkan betapa kasihan anak-anak karena status pernikahan orang tuanya secara keabsahan belum diakui Negara.
Untuk itu, pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah (pemda) memberikan fasilitas untuk nikah massal di antaranya bebas biaya nikah, diberikan mahar berupa Al Qur’an dan seperangkat alat sholat, make up dan sewa baju pada hari H atau pelaksanaan.
Tak hanya itu, peserta nikah massal juga dibebaskan semua biaya untuk mengurus administrasi meliputi Kartu Keluarga (KK), pelaporan kelahiran dan pelaporan perkawinan.
Biasanya pendaftaran peserta dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA) wilayah masing-masing, yang difasilitasi oleh desa, kelurahan dan kecamatan. Sementara untuk calon pengantin non-muslim, terlaksana melalui pemuka agama sebagai penghulu pencatatan perkawinan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) di masing-masing daerah.
Pernikahan dini
Meski demikian, nikah massal tidak boleh digelar secara sembarangan, seperti halnya memicu pernikahan dini, sehingga dapat meningkatkan angka kematian ibu dan anak.
Kebanyakan tradisi nikah massal seperti itu digelar di desa-desa tertentu yang tidak memberlakukan pembatasan usia. Dimana usia pasangan atau peserta nikah massal masih muda, kebanyakan berusia 20 tahun, bahkan ada yang masih berusia 15 tahun. Kebanyakan peserta nikah massal di daerah tersebut yang baru tamat SMP dan SMA.
Perkawinan di usia 20 tahun ke bawah sangat berbahaya karena mereka belum siap secara fisik dan mental untuk membina rumah tangga. Secara fisik mereka belum siap untuk hamil dan melahirkan, sehingga risiko kematian bayi dan ibu sangat besar.
Secara psikologis, mental pasangan usia dini juga belum siap untuk menghadapi berbagai masalah dalam rumah tangga, sehingga rentan terjadi perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.
Untuk itu, pemda diharapkan tidak mengelar nikah massal yang melibatkan pasangan remaja karena menjadi beban pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Gotong royong
Ada yang menarik pelaksanaan isbat nikah yang bakal digelar di Kota Surabaya, Jawa Timur pada 19 September 2023. Kegiatan yang digelar Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bersama Kementerian Agama (Kemenag) dan Pengadilan Agama setempat yang menghabiskan miliaran rupiah, namun tanpa biaya dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Hal itu dikarenakan isbat nikah massal yang diikuti oleh 225 pasangan di 31 kecamatan, Pemkot Surabaya turut bersinergi dengan para pengusaha jasa pernikahan guna memberikan pengalaman yang berharga bagi para pasangan nikah massal. Mereka bergotong-royong membantu Pemkot Surabaya dalam mengemas kegiatan acara
Para pengusaha jasa pernikahan itu mengaku terinspirasi dengan para pengusaha besar yang kerap memberikan CSR atau dana sosial bagi warga Surabaya. Karenanya, mereka tergerak hatinya untuk membantu dengan memberikan layanan pernikahan massal bagi masyarakat Surabaya.
Pada tahun 2022 lalu, para pengusaha jasa pernikahan turut mendukung Isbat Nikah Massal yang digelar oleh Pemkot Surabaya dengan menghabiskan estimasi anggaran senilai Rp4 miliar hingga Rp5 miliar.
Sampai saat ini vendor yang telah mendukung berjumlah 320 dan masih akan bertambah lagi. Karena ada 225 pasangan maka nantinya akan ada 225 perias. Selain itu juga ada musik orkestranya.
Untuk konsep dekorasi dikemas selayaknya pernikahan para selebritis papan atas. Serta pilihan dekorasi juga akan dikolaborasikan dengan dukungan teknologi, seperti adanya permainan efek lighting (lampu pencahayaan). Jadi layaknya seperti pernikahan artis. Bisa dikatakan pernikahan massal ini menjadi pernikahan termewah di Indonesia.
Pelaksanaan Isbat Nikah Massal di Surabaya ini telah dijadikan percontohan bagi Asosiasi Pengusaha Dekorasi Indonesia (ASPEDI) se-Indonesia.
Dengan adanya gotong royong bersama tersebut, pelaksanaan nikah massal yang salah satu tujuannya untuk melindungi kaum perempuan dan anak agar memiliki kedudukan hukum yang jelas dan kuat, bisa terwujud dengan baik. Tentunya dari semua itu, indeks kebahagiaan warga di suatu daerah bisa ikut meningkat.