Belitung (ANTARA) - Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, mengajak masyarakat menghapus stigma negatif terhadap Orang Dengan HIV (ODHIV) dalam kehidupan sehari-hari.
"Kami mengajak masyarakat untuk menghapus stigma negatif terhadap ODHIV," kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Belitung, Sri Agustini di Tanjung Pandan, Rabu.
Menurut dia, salah satu cara untuk menghapus stigma negatif terhadap ODHIV adalah dengan menggali informasi yang benar tentang HIV/AIDS.
Sri mengatakan, selama ini beberapa informasi tentang HIV/AIDS banyak disalahartikan karena kurangnya informasi dari sumber yang terpercaya dan pakar di bidangnya.
"Salah satu mitos yang banyak beredar di masyarakat adalah apabila orang menggunakan handuk milik pasien HIV maka akan beresiko tertular," ujarnya.
Dikatakannya, masyarakat masih banyak yang beranggapan HIV/AIDS ditularkan melalui keringat seperti penggunaan handuk yang sama dengan pasien HIV/AIDS.
Baca juga: Dinkes Belitung temukan 37 kasus HIV baru sepanjang 2023
Padahal, kata Sri, virus HIV hanya dapat ditularkan melalui cairan tubuh seperti darah, cairan pada organ reproduksi, dan ASI.
Oleh karena itu, Sri berpendapat ODHIV layak mendapatkan perlakuan yang sama dan hidup dengan wajar di tengah-tengah masyarakat.
"Seperti mendapatkan pekerjaan yang layak, mendapatkan status sosial dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama dengan masyarakat lain," ujarnya.
Dinkes Belitung mencatat jumlah kasus baru HIV di daerah itu sepanjang 2023 sebanyak 37 kasus meningkat dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 33 kasus.
Pihaknya rutin melakukan pemeriksaan HIV pada kelompok beresiko sesuai wilayah kerja masing-masing seperti pada kelompok resiko ibu hamil, penderita TBC, pasien Infeksi Menular Seksual (IMS).
Namun, lanjut dia, ada sejumlah tantangan yang dihadapi seperti melakukan skrining di kelompok resiko Wanita Pekerja Seks (WPS) masih ada di beberapa tempat WPS sulit untuk diajak berkomunikasi seperti di cafe maupun tempat hiburan.
"Tetapi sejauh ini petugas tetap berkomunikasi agar pemeriksaan HIV tetap dapat dilaksanakan," katanya.
Sedangkan pada kelompok resiko Lelaki Suka Lelaki (LSL) atau transgender pihaknya kesulitan melakukan skrining karena sasarannya sulit dijangkau dan sangat tertutup.
"Dibutuhkan komunitas yang bisa menjangkau dan masuk ke komunitas mereka. Kalau pada kelompok beresiko Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) skrining dilakukan bekerjasama dengan instansi terkait dengan melibatkan puskesmas sesuai wilayah kerja," ujarnya.