Surabaya (Antara Babel) - Industri pergulaan di Indonesia sudah mulai bisa merasakan "manisnya" industri tersebut setelah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X memulai menjual listrik ke PT PLN di wilayah Kediri, Jawa Timur, dari hasil ampas tebu yang diproses melalui pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm).
Mulainya penjualan listrik ke PLN itu adalah tahapan penting dalam upaya melakukan hilirisasi produk industri gula di Indonesia, sebab selama ini sejumlah industri pergulaan yang dipelopori badan usaha milik negara (BUMN) itu hanya berkutik pada satu jenis produk, yakni gula.
Sedangkan potensi lain belum diproses maksimal, akibatnya industri pergulaan nasional tertinggal jauh dengan beberapa negara, seperti Brasil, Thailand dan India.
Namun demikian, menirukan kata pepatah yang berpesan lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, sejumlah BUMN mulai tancap gas untuk bisa mengungkap dan merasakan manisnya industri gula dengan memanfaatkan potensi hilirisasi produk gula.
Perlahan namun pasti, langkah awal telah dibuktikan Pabrik Gula (PG) Pesantren Baru milik PTPN XI yang mempunyai kelebihan listrik (excess power) dengan kapasitas 3 MW dengan menandatangani perjanjian jual beli tenaga listrik dengan PLN wilayah setempat pada Juli 2016.
"Kami bersyukur, satu langkah kemajuan untuk memaksimalkan diversifikasi produk non-gula telah dilaksanakan, dan ini merupakan yang pertama di Indonesia sejak berdirinya industri gula di Tanah Air ratusan tahun silam," ucap Direktur Utama PTPN X Subiyono, dalam keterangan persnya di Surabaya.
Listrik tersebut, kata Subiyono, akan disambungkan dengan fasilitas interkoneksi sistem kelistrikan milik PLN, dan infrastruktur penyambungannya sedang dalam proses pembangunan.
"Kita berharap, pada September 2016 interkoneksinya ke jaringan PLN selesai dan sudah resmi kami menjual listrik ke PLN," ucapnya.
Penjualan listrik, kata Subiyono, adalah bagian dari perwujudan industri berbasis tebu (sugarcane based industry) yang terintegrasi dan sebagai bagian dari diversifikasi produk, terutama bioetanol berbahan baku tetes tebu dan produksi listrik berbasis ampas tebu.
"Sebagaimana di negara-negara produsen gula utama dunia, pabrik gula yang ada telah menjual bioetanol dan listrik, ini karena tebu sejatinya adalah sumber pangan dan energi," katanya.
Sementara itu, setelah di Kediri, Subiyono mengaku juga sedang menyiapkan produksi listrik serupa dengan program cogeneration di sejumlah PG lainnya, seperti PG Ngadiredjo (Kediri) sebesar 20 MW, PG Tjoekir (Jombang) 10 MW, dan PG Gempolkrep (Mojokerto) 20 MW.
Subiyono optimistis, ke depan upaya diversifikasi produk non-gula bakal semakin berkembang, sebab pemerintah saat ini sedang fokus mendorong penggunaan energi baru terbarukan.
"Diversifikasi produk adalah keharusan jika industri gula di Indonesia masih ingin berkembang, karena jika mengandalkan pendapatan dari gula tentu akan sangat terbatas, mengingat gula adalah komoditas yang pergerakan harganya selalu diintervensi pemerintah, apalagi biaya produksi semakin meningkat," katanya.
Ia mengatakan upaya diversifikasi produk ini tidak akan mengganggu peningkatan produksi gula untuk mengejar swasembada. Justru dengan diversifikasi produk, sistem kerja dan mesin dituntut lebih andal. Sehingga pararel dengan upaya peningkatan produksi gula.
Hal yang sama juga sedang dilakukan PTPN X untuk mengejar pengembangan bisnis listrik berbasis ampas tebu melalui diversifikasi produk, dengan berguru pada beberapa negara yang sudah berkembang industri gulanya.
Menurut Direktur Produksi PTPN X T Sutaryanto, diversifikasi produk ini berpotensi menghasilkan pendapatan sekitar Rp708 miliar per tahun bagi perusahaannya, dengan memanfaatkan produk turunan atau hilirisasi dari tebu.
Sutaryanto menyebutkan di Brasil pabrik gula sudah ada yang bisa menghasilkan listrik lebih dari 3.000 MW, dan sekitar 20 persen kebutuhan energi negara tersebut ditopang dari energi baru terbarukan berbasis tebu, terutama bioetanol, dan di India juga telah mampu memproduksi listrik 2.200 MW, dengan daya yang dikomersialkan 1.400 MW.
"Oleh karena itu, Indonesia harus segera bergegas mengejar ketertinggalan tersebut," katanya.
Sutaryanto menghitung dengan keberadaan lahan tebu nasional sekitar 470.000 hektare dan 35 juta ton produksi tebu, potensi bisnis dari diversifikasi gula yang bisa diperoleh setidaknya adalah surplus power sebesar 3,5 juta MWh sampai 3,9 juta MWh (3.900 GWh), bioetanol 460.000 KL, dan biokompos 1,5 juta ton.
"Kami di PTPN X telah memulainya dalam beberapa tahun terakhir dengan mendirikan pabrik bioetanol di Mojokerto. Ke depan dengan dukungan pemerintah kami akan terus mengembangkan strategi hilirisasi ini," katanya.
Menurutnya, hilirisasi produk tebu non-gula bisa dikembangkan ke bisnis bioetanol dan turunannya yang diolah dari limbah cair (tetes tebu) dan pembangkit listrik berbasis ampas tebu.
Ke depan, dalam pengembangan bisnis listrik berbasis ampas tebu akan dibangun di kompleks Pabrik Gula Ngadiredjo (Kediri) dan juga akan dikembangkan produk turunan seperti bioetanol di pabrik bioetanol yang telah beroperasi di PG Gempolkrep (Mojokerto).
"Pengembangan listrik berbasis ampas tebu dengan program 'cogeneration' juga akan dibangun di Pabrik Gula Tjoekir (Jombang), dan Pabrik Gula Gempolkrep (Mojokerto)," katanya.
"Nilai investasi untuk pengembangan hilirisisasi produk tersebut membutuhkan dana Rp1,469 triliun, dengan rincian Rp975 miliar berasal dari dana penyertaan modal negara (PMN) yang diberikan pemerintah pusat ke PTPN X," katanya.
Ia mengatakan, potensi pendapatan hilirisasi produk akan mencapai Rp708 miliar, sehingga keberadaan pabrik gula akan semakin kuat karena tak lagi mengandalkan pendapatan dari gula saja.
Sutaryanto merinci, potensi pendapatan Rp708 miliar itu terdiri atas pendapatan dari bioetanol dan turunannya sebesar Rp294 miliar dan pendapatan listrik Rp414 miliar.
"Pendapatan bioetanol diperoleh dari penjualan 30 juta liter bioetanol dengan harga Rp9.200 per liternya dan turunan bioetanol berupa gas karbondioksida (CO2) sebanyak 12 juta liter dengan asumsi harga Rp1.500 per liternya," katanya.
Sementara, dari listrik bisa dihasilkan 360 GWH dengan harga sesuai Peraturan Menteri ESDM sebesar Rp1.150 per kwH, sehingga totalnya mencapai Rp414 miliar.
"Dengan pendapatan dari bisnis non-gula ini, PTPN X bisa ikut mengangkat kesejahteraan petani. Dan jika semua program telah rampung dan berjalan, PTPN X siap meningkatkan bagi hasil ke petani tebu menjadi 70 persen dari awalnya 60 persen, sehingga menambah pendapatan petani," katanya.
Masuk Pasar Modal
Tentunya, masih banyak lagi manisnya industri gula Tanah Air yang bisa dikembangkan potensinya untuk menjadi salah satu pendapatan negara, salah satu yang sedang digagas adalah memasuki pasar modal.
Menurut Direktur Utama PTPN XI Dolly Parlagutan Pulungan, pasar modal adalah salah satu peluang untuk bisa dikembangkan, namun dirinya mengaku sebelum masuk akan menerbitkan terlebih dahulu Surat Utang Jangka Menengah atau Medium Term Notes (MTN) pada Agustus 2016.
"Total penerbitan MTN adalah sebesar Rp300 miliar, dan dipilih karena tidak perlu menggunakan jaminan, cukup menggunakan dari korporasi," katanya.
Ia mengatakan, setelah MTN terbit langkah berikutnya PTPN XI akan menerbitkan surat obligasi sebanyak Rp1 triliun pada 2018.
Dolly merinci, secara total perusahaannya membutuhkan pendanaan mencapai Rp4,3 triliun untuk tahun 2019, dan diproyeksikan untuk mengejar target produksi gula tiga juta ton.
Sisanya, terkait kekurangan sebesar Rp3,3 triliun akan dicarikan menggunakan sumber pendanaan lain seperti perbankan dan Penyertaan Modal Negara (PMN).
"Dana sebesar itu kami akan pakai untuk investasi tujuh pabrik gula, serta membangun co-generation (pabrik penghasil listrik) dan etanol guna menambah pendapatan," tutur Dolly.
Ia berharap, dengan adanya langkah memasuki pasar modal dan perbaikan internal, dua tahun ke depan PTPN XI sudah bisa berada pada posisi single A, sebab saat ini peringkatnya masih berada di triple B.
"Kondisi keuangan PTPN XI juga berangsur cukup positif dengan net profit di tahun 2015 mencapai Rp186 miliar dan tahun ini ditargetkan mencapai Rp200 miliar," ucapnya.
Sebelumnya PTPN XI memiliki 16 unit usaha pabrik gula yang tersebar di wilayah Jawa Timur. Selain itu, korporasi juga memiliki satu unit usaha pabrik alkohol dan spiritus di Djatiroto, Kabupaten Lumajang, dan unit usaha pabrik karung plastik dan benang multifilament di Kabupaten Mojokerto.