Chengdu, China (ANTARA) - Masih teringat jelas momen itu, dimana Komang Ayu Cahya Dewi membuat rekan-rekan satu timnya melompat dari bangku penonton dan menimpanya dari berbagai sisi. Saat itu, sang tunggal putri ketiga memastikan Indonesia untuk berlaga di babak final Piala Uber setelah penantian 16 tahun lamanya.
Bagi banyak orang, momen itu sudah terasa seperti sebuah kemenangan besar. Ini merupakan final pertama bagi tim bulu tangkis putri Indonesia di Piala Uber sejak edisi 2008, dimana Maria Kristin, Lilyana Natsir dan kawan-kawan menantang tim China di kandang sendiri, dan kalah 0-3.
Butuh waktu lebih dari satu dekade bagi skuad yang diperkuat oleh Komang Ayu, Gregoria Mariska Tunjung, serta Ester Nurumi Tri Wardoyo, dan kawan-kawan, untuk menembus partai puncak Piala Uber lagi.
Berhasilnya tim bulu tangkis putri Indonesia untuk masuk ke rangkaian pertandingan Piala Uber 2024 di Chengdu, China, pun tidak mudah. Membutuhkan proses yang cukup panjang dan berat bagi skuad yang diisi oleh banyak pemain muda tersebut.
Berbeda dengan tim bulu tangkis putra yang lolos ke ajang Piala Thomas 2024 berdasarkan peringkat dan menyandang status unggulan, tim yang dipimpin oleh pemain ganda putri Apriyani Rahayu itu dapat berkompetisi setelah berhasil keluar sebagai semifinalis pada Kejuaraan Bulu Tangkis Beregu Asia (BATC) 2024 di Selangor, Malaysia.
Tidak ada yang menyangka bahwa para srikandi muda Tanah Air ternyata dapat membuktikan bahwa mereka bisa melangkah sangat jauh di ajang bulu tangkis beregu paling prestisius di dunia ini.
Namun, jika melihat dari bagaimana Gregoria hanya menelan satu kali kekalahan dimana itu hanya terjadi di babak final menghadapi peraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020 Chen Yu Fei; melihat bagaimana Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva Ramadhanti saling menguatkan satu sama lain setelah rehat cukup panjang karena cedera; bagaimana Ester menunjukkan kekuatan mental dan fisik yang sangat tangguh jatuh-bangun demi menyumbangkan angka untuk Merah Putih; saat Komang Ayu melawan ketegangan yang begitu intens sebagai ujung tombak timnya rasanya mereka sangat pantas untuk maju sebagai penantang tim raksasa di hadapan publik Tiongkok.
Selanjutnya: Di babak final
Di babak final, Indonesia harus menelan kekalahan 3-0 dari sang tuan rumah. Ketiga wakil yang bertanding di tiga partai pertama telah memberikan kemampuan maksimal mereka setelah pada fase grup hingga semifinal harus menaklukkan negara-negara kuat lainnya seperti Thailand dan juara bertahan Korea Selatan.
Tak hanya itu, tim putri Indonesia bahkan memberikan perlawanan yang begitu hebat saat berhadapan dengan salah satu skuad putri terkuat saat ini, Jepang, di babak kualifikasi grup.
Terlepas dari hasil akhir untuk pulang sebagai runnerup, Gregoria mengaku senang dan bangga karena dapat menuliskan sejarah baru bagi tim putri Indonesia bersama adik-adiknya.
Tunggal putri peringkat sembilan dunia itu sendiri telah mengikuti empat edisi kejuaraan beregu ini, sampai akhirnya pada edisi kali ini ia tampil sebagai tulang punggung yang krusial bagi tim.
Beberapa tahun ke belakang selama aku masuk tim Uber, aku merasa kita selalu ada di posisi dimana kita dipandang sebelah mata, tidak diunggulkan, tidak ditargetkan apa-apa, ungkap Gregoria.
Tapi, ketika kita menang 3-0 (atas Thailand), itu adalah hal yang membuat kita semua bangga, salut banget sama perjuangan kita semua. Aku happy dan jadinya tidak bisa menahan tangis, ujarnya menambahkan.
Tentu saja, bukan hanya Gregoria, jutaan pasang mata masyarakat yang menyaksikan perjuangan tim putri Indonesia, pastinya tak mampu menahan air mata mereka untuk jatuh. Perjalanan yang begitu berat itu ternyata mampu dilampaui dengan hati yang besar, dengan hasil yang membanggakan.
Selanjutnya: Ekspektasi dan konsistensi
Ekspektasi dan konsistensi
Beralih ke tim putra, kiprah Indonesia di ajang Piala Thomas masih menjadi yang terbaik di dunia, dengan 14 gelar juara yang telah dikoleksi.
Skuad yang dipimpin oleh pemain ganda putra Fajar Alfian juga berhasil melaju ke babak final Piala Thomas 2024, menandai final ke-22 bagi Indonesia sepanjang partisipasinya di ajang ini, sekaligus final ketiganya secara berturut-turut dari tiga edisi terakhir.
Tak mengherankan, bahwa ekspektasi yang tinggi turut menyertai langkah para pemuda bangsa, mungkin dengan minimal mencapai babak puncak.
Indonesia sendiri terakhir kali membawa pulang Piala Thomas pada tahun 2020 di Aahrus, Denmark. Kemenangan tersebut merupakan pencapaian yang sangat diapresiasi oleh para penggemar bulu tangkis, karena Indonesia berhasil memboyong gelar tertinggi di turnamen tersebut setelah puasa gelar selama 19 tahun lamanya.
Namun, pada edisi 2022, Indonesia keluar sebagai runnerup setelah kalah dari tim bulu tangkis putra India. Pada edisi tahun ini, Indonesia kembali harus puas dengan status juara dua usai menelan kekalahan dari tim tuan rumah China dengan skor 1-3.
Di partai puncak, Anthony Sinisuka Ginting, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, Jonatan Christie, dan Bagas Maulana/Muhammad Shohibul Fikri juga memberikan penampilan terbaik mereka.
Saat itu, Jonatan merupakan satu-satunya penyumbang poin bagi Indonesia atas China, dan memperpanjang napas Skuad Garuda.
Tunggal putra peringkat tiga dunia itu menunjukkan konsistensi dan kegigihan yang luar biasa saat menghadapi tekanan dari Li Shi Feng dan seluruh penonton yang tentu saja memberikan dukungan mereka kepada wakil China.
Selanjutnya: Konsistensi itu
Konsistensi itu ia pertahankan sejak bertanding dan memboyong gelar juara All England Open 2024. Ia memenangkan lima pertandingan di All England, lima pertandingan di Kejuaraan Bulu Tangkis Asia (BAC) 2024, dan enam pertandingan di Thomas Cup 2024.
Bagi Jonatan, bahan bakar utamanya untuk bisa terus mempertahankan kegigihannya di lapangan adalah rasa cinta yang tinggi untuk negeri.
Saya ingin membuat negara saya bangga dengan kerja keras saya, saya juga berusaha untuk membangkitkan semangat teman-teman saya, kata Jonatan.
Sama seperti tim putri, skuad putra Indonesia juga diisi oleh pemain-pemain yang tergolong muda. Fakta menarik, Jonatan dan Ginting selalu ada di tim pada lima edisi terakhir Thomas Cup, dan empat di antaranya mereka dapat mengantarkan tim ke babak final.
Hasil yang impresif tentu tak lepas dari daya juang tinggi serta perjalanan panjang untuk menempa diri baik secara fisik, mental dan emosi. Ekspektasi yang tinggi rasanya perlu diimbangi dengan konsistensi, agar prestasi tetap terus menjadi sebuah tradisi.