Pangkalpinang (ANTARA) - Kekerasan seksual merupakan salah satu perbuatan atau tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Kekerasan seksual merupakan perbuatan atau tindakan yang tidak dibenarkan dan dianggap sebagai perusak moral dan etika generasi bangsa. Kejahatan seksual biasanya kerap dilakukan oleh pelaku tanpa persetujuan dari korban dan kebebasan korban untuk menolak serta melawan. Kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja, baik ras, suku, maupun gender, terutama perempuan.
Tindakan kekerasan seksual yang korban terima disebabkan oleh budaya patriarki yang berakar di tengah-tengah masyarakat. Karena disebabkan oleh budaya patriarki tersebut, perempuan seringkali dijadikan sebagai objek seksual, objek kekuasaan, atau bahkan perempuan seringkali dijadikan sebagai objek untuk dimanipulasi dan dikendalikan. Terkadang, perempuan seringkali dijadikan sebagai objek ‘victim blaming’ dengan menyalahkan korban atas pakaian yang dikenakan.
Victim blaming merupakan fenomena yang di mana korban akan disalahkan dalam kasus kekerasan seksual. Fenomena ini dapat diterima oleh siapa saja yang menjadi korban atas kekerasan seksual yang mereka alami, terutama terhadap perempuan. Salah satu bentuk victim blaming yang paling umum diterima oleh perempuan adalah mengaitkan tindakan seksual dengan cara berpakaian korban. Perempuan seringkali mendapat kecaman dan disalahkan karena dianggap "mengundang" tindakan kekerasan seksual melalui pakaian yang korban kenakan.
Budaya patriarki merupakan sistem sosial atau budaya masyarakat yang di mana laki-laki dianggap lebih mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kekuasaan, otoritas, serta dalam pengambilan keputusan. Sistem ini biasanya melibatkan peran gender yang kaku, yang di mana perempuan sering kali ditempatkan dalam posisi subordinat.
Budaya patriarki sering kali berkontribusi pada praktik victim blaming, yaitu ketika korban mendapatkan suatu tindakan kejahatan atau tindakan yang merugikan, terutama kekerasan seksual atau kekerasan berbasis gender, korban akan dihukum atau bahkan disalahkan atas apa yang menimpa mereka.
Dalam budaya patriarki, menyalahkan perempuan atas pakaian yang mereka kenakan dan selalu menganggap bahwa perempuan harus bertanggungjawab atas perilaku laki-laki. Perempuan seringkali mendapat tuntutan untuk "menjaga diri" dengan berpakaian dengan cara tertentu agar tidak dianggap ‘mengundang’ dan terhindar dari kekerasan seksual. Namun, pakaian sebenarnya bukanlah sesuatu yang patut untuk dijadikan kesalahan atau dipersalahkan dalam kasus kekerasan seksual. Tidak hanya korban yang berpakaian terbuka, bahkan korban yang berpakaian tertutup pun dapat menjadi objek kekerasan seksual. Tentu saja hal ini merupakan suatu bentuk ketidakadilan pada korban, terutama perempuan, dan tidak dapat dinormalisasikan karena dapat berdampak buruk pada korban.
Dampak buruk yang akan dialami oleh korban adalah trauma psikologis yang mendalam, seperti perasaan bersalah dan malu, merasa selalu dihakimi dan tidak dihargai, korban akan menarik diri dari hubungan sosial, serta korban akan mengalami gangguan kecemasan hingga depresi yang dapat beresiko bunuh diri karena merasa tidak mendapat dukungan.
Maka dari itu, tindakan atau perilaku, serta konsep victim blaming harus segera dihentikan karena konsep ini adalah suatu bentuk ketidakadilan yang sangat berbahaya. Untuk menghentikannya, dibutuhkan edukasi, pemberdayaan korban, serta kesadaran masyarakat bahwa pakaian tidak bisa dan tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk melakukan tindakan kekerasan serta merendahkan seseorang. Penguatan hukum dan sanksi yang tegas juga dibutuhkan dalam mengatasi tindakan ini, serta diperlukannya kesadaran bahwa yang harus diperbaiki adalah sikap dan cara berpikir pelaku, bukan pakaian korban.
Mendengar korban dengan perasaan empati adalah salah satu bentuk dukungan terhadap korban victim blaming agar dapat membantu mereka memulihkan diri dari trauma dan memperkuat kepercayaan mereka pada sistem sosial. Berikan ruang pada korban untuk berbicara tanpa menghakimi, dan memvalidasi perasaan korban. Memberikan dukungan emosional dengan cara menunjukkan rasa kepedulian terhadap korban dan menghargai keputusan korban. Menyediakan informasi dan bantuan praktis kepada korban agar dapat mengakses layanan dukungan. Untuk menghentikan budaya atau struktur patriarki serta konsep victim blaming, kita harus memberikan edukasi kepada orang lain dan diri sendiri. Pentingnya peran kita untuk mendukung perubahan hukum yang melindungi hak-hak korban dan melarang praktik victim blaming.
*) Athaya Elysia Fadillah adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung