Jalan-jalan yang dulunya ramai, dihiasi berbagai dekorasi dan dipenuhi gelak tawa anak-anak, kini disesaki puing-puing bangunan yang menjadi pengingat bisu akan kehancuran akibat pengeboman Israel yang tiada henti.
Menurut kalender Islam, umat Muslim di seluruh dunia akan merayakan hari pertama Idul Fitri pada Minggu (30/3) atau Senin (31/3), tergantung pada penampakan bulan baru. Namun, di Gaza, tidak banyak yang bisa dirayakan.
Di kamp pengungsi Al-Shati, sebelah barat Gaza City, Suad Abu Shahla (29) duduk di luar sebuah tenda kain yang telah koyak, mencoba menenangkan anaknya yang menangis.
Ibu empat anak itu kehilangan rumahnya di Beit Lahia pada November 2024 ketika pasukan Israel mengebom area tersebut. Sejak saat itu, Suad dan keluarganya harus menghadapi kondisi keras di tempat penampungan yang rapuh, yang hanya memberikan perlindungan minim dari cuaca dingin atau panas.
"Idul Fitri telah kehilangan maknanya di Gaza," tutur wanita itu kepada Xinhua. "Sebelum perang, kami biasa membeli pakaian dan penganan manis untuk anak-anak. Sekarang, kami bahkan tidak mampu membeli roti."
"Anak-anak saya bertanya, 'Apakah kita akan mendapatkan baju baru? Apakah kita akan pulang ke rumah?' Namun, saya tidak dapat menjawabnya," imbuh Suad.
Di seluruh Gaza City, bekas perang terlihat di mana-mana. Bangunan-bangunan yang runtuh, jalan-jalan yang dipenuhi puing, dan infrastruktur yang rusak menggambarkan dampak dari konflik tersebut.
Di kawasan permukiman al-Rimal, yang dulunya merupakan salah satu wilayah termewah di Gaza City, sebagian besar bangunan rata dengan tanah atau rusak parah. Mobil-mobil yang terbakar dan tiang-tiang listrik yang tumbang terlihat di jalanan yang sepi.
Penderitaan kian parah sejak Israel melanjutkan operasi militer pada 18 Maret, setelah suasana relatif tenang selama hampir dua bulan. Beberapa keluarga telah mulai kembali ke rumah mereka di Gaza utara, tetapi kini terpaksa mengungsi lagi.
"Tahun lalu, meski ada perang, kami coba menciptakan suasana gembira. Kini, saya bahkan tidak mampu membeli penganan manis untuk anak-anak saya," kata Marwan Al-Haddad (37), yang mengungsi dari Beit Hanoun setelah eskalasi serangan Israel pekan lalu.
"Bagaimana saya bisa memberi tahu anak-anak saya bahwa perang akan segera berakhir?" tutur pria itu. "Setiap kali kami terbangun karena suara bom, kami menyadari bahwa perdamaian masih sangat jauh."
Situasi yang sama buruknya juga dihadapi oleh para pemilik bisnis. Di Jalan Wehda, sebuah kawasan di Gaza City yang sebelum perang merupakan pusat komersial ramai, sebagian besar toko masih tutup atau rusak. Ibrahim Siam, seorang pemilik toko penganan manis, menyesalkan bisnisnya harus gulung tikar akibat perang.
"Dulu, saya bisa menjual puluhan kilogram penganan manis saat Idul Fitri," ujar Siam kepada Xinhua. "Sekarang, orang-orang hampir tidak bisa mendapatkan roti."
Rangkaian terbaru dari serangan udara Israel telah menewaskan sedikitnya 921 orang dan melukai 2.054 lainnya, demikian menurut otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza pada Sabtu (29/3).
Di kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza bagian utara, aktivitas pasar tetap stagnan. Abdul Rahman al-Zein, seorang pemilik toko pakaian, mengatakan bahwa hanya sedikit orang yang mampu membeli pakaian untuk Idul Fitri. "Orang-orang berfokus pada bertahan hidup."
Di Khan Younis, Jalur Gaza selatan, Fatima Qudeih (32) tinggal di sebuah tenda bersama ketiga anaknya sejak kehilangan rumah mereka akibat serangan udara Israel di Jabalia.
"Anak-anak saya bertanya mengapa kami tidak membeli baju baru atau pergi ke pasar seperti dulu," kata Qudeih kepada Xinhua. "Saya mengatakan kepada mereka bahwa kami akan membelinya setelah perang berakhir, tetapi mereka sudah mulai kehilangan kepercayaan pada kata-kata saya."
Reham Odeh, seorang pakar politik yang berbasis di Jalur Gaza, mengatakan bahwa dampak konflik terhadap masyarakat Gaza sangat besar.
"Perang tidak hanya menghancurkan rumah-rumah, tetapi juga menghancurkan moral penduduk Gaza," tutur Odeh.
Ia menuturkan, meskipun konflik berakhir hari ini, dampaknya akan bertahan selama puluhan tahun.
"Ribuan keluarga kehilangan pencari nafkah, dan infrastruktur perlu dibangun kembali dari awal," ujarnya.