Jakarta (ANTARA) - Perkembangan Artificial Intelligence (AI) menjadi bagian dari disrupsi digital yang cukup menyita perhatian dunia saat ini.
Salah satu praktek AI terjadi di industri media global yang juga tengah menghadapi ancaman dari platform media baru. Segala bentuk mitigasi mulai diperkuat oleh pemerintah masing-masing negara dalam menghadapi perubahan landscape media dan konsumsi informasi masyarakat.
Pada konteks Indonesia, diskusi tentang AI menjadi topik yang diangkat oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran di Komisi I DPR RI beberapa saat lalu. Secara simultan Panja menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan beberapa Lembaga penyiaran seperti TVRI, RRI, Antara dan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) sebelum masa reses.
Memasukkan substansi AI ke dalam RUU Penyiaran merupakan langkah penting dalam memperkuat sektor penyiaran masa depan. Pertanyaan berikutnya, sejauh mana integrasi AI di sektor penyiaran yang saat ini terjadi? Kemudian isu strategis apa yang sebaiknya diperhatikan pada pembahasan RUU Penyiaran?
Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI) di bawah komisioner bidang kelembagaan yang membidangi program riset telah mengangkat urgensi terkait perkembangan AI di sektor penyiaran dalam dua forum internasional tahun 2024 lalu.
Forum pertama yaitu Indonesia Broadcasting Conference (IBC) 2024 yang diikuti oleh tujuh negara yaitu Indonesia, Malaysia, India, Australia, Thailand, Skotlandia dan China pada 30 Oktober 2024.
Setelah itu bidang riset KPI Pusat kembali mengangkat isu AI di gelaran akhir tahun bertajuk End Year of Digital Broadcasting Webinar: Artificial Intelligence and Industry Trend in South East Asia.
Beragam isu krusial terkait AI di sektor penyiaran dibahas dalam dua forum tersebut.
Pada konteks Indonesia, definisi AI ada dalam Surat Edaran Menkominfo RI no.9 tahun 2023. Meski tidak spesifik terkait penyiaran, Kecerdasan Artifisial dalam SE tersebut adalah bentuk pemrograman pada suatu perangkat komputer dalam melakukan pemrosesan dan/atau pengolahan data secara cermat.
Sementara pada sektor penyiaran, beberapa peneliti internasional menyatakan bahwa kehadiran AI membawa transformasi dan perkembangan pada industri penyiaran dan televisi (Long & Wu, 2021), salah satunya adalah melalui penggunaan AI dalam pemantauan siaran (Huang et al., 2020). Hal ini diungkapkan pula oleh peneliti UI Angga Priacha pada IBC 2024 di Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Perkembangan AI yang saat ini terjadi bisa menjadi referensi penting pembahasan RUU Penyiaran. Oleh karena itu, penting bagi anggota Komisi 1 DPR RI memperhatikan praktek integrasi AI pada industri penyiaran global.
Praktisi penyiaran dunia melihat potensi AI sebagai pendorong utama revolusi penyiaran televisi dengan meningkatkan produksi konten, meningkatkan keterlibatan pemirsa, dan menyederhanakan operasi.
Adaptasi AI pada industri radio juga terjadi. Stasiun radio, khususnya stasiun FM, memanfaatkan AI untuk mengotomatiskan pembuatan daftar putar, memastikan campuran musik yang beragam dan menarik yang selaras dengan preferensi pendengar. Otomatisasi ini meningkatkan efisiensi operasional dan kepuasan pendengar.
Khusus produksi konten, saluran televisi digital dapat memanfaatkan AI untuk mengidentifikasi topik berita dari postingan tren tinggi dari media sosial, sehingga dapat membantu jurnalis membuat berita berdasarkan postingan dan diskusi netizen.
AI bisa dengan mudahnya menyusun skrip, transkripsi otomatis, penerjemahan bahasa, subtitle, lirik, sulih suara, dan alur cerita yang diinginkan suatu program. Bahkan teknologi AI bisa melakukan penjadwalan program, menciptakan karakter pembawa acara, penyensoran hingga pengawasan isi konten.
Yang juga harus diperhatikan AI dapat mendorong agregasi konten pada aspek bagaimana memperoleh dan menjual konten kepada lembaga penyiaran.
Pada aspek audiens, AI dapat mengumpulkan dan menafsirkan data tentang demografi, segmen dan kebiasaan menonton. Hal ini memungkinkan menyesuaikan lembaga penyiaran memproduksi konten sesuai preferensi pemirsa serta dan menyusun strategi periklanan yang lebih terarah.
Algoritma AI sudah mulai digunakan oleh saluran TV digital untuk memantau dan menganalisis interaksi pemirsa, seperti pemilihan program dan durasi menonton. Pendekatan berbasis data ini memungkinkan penyesuaian konten yang ditawarkan secara real-time, sehingga meningkatkan retensi dan kepuasan pemirsa.
Praktek AI di sektor penyiaran di Asia Tenggara juga telah dilakukan oleh beberapa negara.
Indonesia misalnya melalui Lembaga Penyiaran Publik (TVRI dan RRI) dan beberapa stasiun televisi swasta telah menggunakan teknologi AI. Fitria (2024) menemukan pemanfaatan presenter AI oleh tvOne.
Simamora (2024) lebih jauh menyatakan meskipun sebagian audiens menghargai AI sebagai inovasi teknologi dalam penyiaran, mayoritas audiens masih lebih menyukai presenter manusia khususnya untuk konten berita yang membutuhkan kedalaman emosional atau isu-isu sensitif.
Sementara selain di televisi, praktek AI dilakukan oleh stasiun radio Malaysia yaitu Fly FM yang memperkenalkan DJ radio AI pertama dari Aina-Malaysia. Malaysia juga memproduksi robot Fiona dalam siaran langsung Belanjawan 2025.
Seperti halnya di Indonesia, Malaysia juga memiliki banyak kasus penyalahgunaan alat AI untuk membuat gambar atau video deepfake hingga suara yang dipalsukan. Selebriti populer Malaysia Siti Nurhaliza pernah menjadi korban deepfake ini.
Sedangkan di Thailand, program Workpoint menerima penghargaan bergengsi Best Asian Original Game Show di Taiwan untuk acara "FACE OFF" berisi permainan berupa teknologi AI "Deep Fake" yang menciptakan kembaran selebritas lokal mereka.
Isu krusial
Mempertimbangkan perkembangan praktek AI di atas, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembahasan RUU Penyiaran kali ini.
Hal pertama yaitu terkait masalah dan tantangan etika dalam penyelenggaraan penyiaran digital nasional ke depan. Menyangkut konten, yang harus dipastikan lembaga penyiaran yaitu memastikan keaslian konten berdasarkan standar yang akan diatur dalam aturan turunan UU Penyiaran baru nanti.
Teknologi AI yang semakin canggih diperkirakan akan menyebabkan publik sulit membedakan konten yang dihasilkan AI atau yang diproduksi manusia. Seperti yang diulas di atas, bahaya terkait konten AI banyak bertaburan di platform digital. Banyak contoh kasus akibat teknologi deepfake yang berpotensi sebagai bentuk pelanggaran hak hukum.
Isu berikutnya menyangkut tantangan hak cipta, persetujuan, dan kekayaan intelektual. Konten yang dihasilkan AI berpotensi menimbulkan pelanggaran kepemilikan karena menyertakan konten pihak ketiga tanpa persetujuan pemiliknya.
Ambil contoh misalnya jika AI menghasilkan lirik lagu atau video yang sudah memiliki hak cipta oleh penciptanya bisa menjadi pelanggaran hak cipta. Tindakan yang tidak memperoleh izin pemiliknya ini juga melanggar hak yang dapat mengakibatkan perselisihan etika dan hukum.
Klausul penting lainnya terkait perlindungan privasi data dan kepercayaan konsumen. Algoritma AI memungkinkan pengumpulan dan pemrosesan data pribadi tanpa persetujuan pemiliknya, sehingga potensi penyalahgunaan sangat besar yang dapat merugikan banyak pihak. Bila ini terjadi, kemudian timbul ancaman keamanan siber dan manipulasi data.
Praktik baik dilakukan oleh Thailand melalui Lembaga National Broadcasting and Telecomunication Commission (NBTC) yang telah menerapkan peraturan untuk melindungi data konsumen dalam aplikasi AI. Langkah-langkah ini sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi B.E. 2562 (2019), yang memastikan bahwa sistem AI yang menangani data pribadi harus mematuhi standar hukum.
Mengingat berbagai dinamika perkembangan yang ditimbulkan, maka sangat penting pemantauan dan evaluasi berkelanjutan pada konten berbasis AI di lembaga penyiaran digital di Indonesia di masa depan.
Pemantauan ini dimaksudkan agar pengawasan secara teratur konten penyiaran berbasis AI dapat mendorong lembaga penyiaran mematuhi standar kinerja baik bagi institusi maupun konten program yang diproduksi.
Demi memastikan hal ini, perlu adanya aturan turunan dari UU sebagai pedoman bersama yang lebih detail menjelaskannya kepada pelaku industri penyiaran. Saat ini aturan teknis yang dimiliki Indonesia adalah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) 2012 yang tidak mengatur konten berbasis AI.
Berdasarkan dinamika tersebut, pedoman Tata Kelola & Etika AI di sektor penyiaran digital menjadi suatu keharusan. Negara jiran Malaysia melalui MCMC telah memformulasikannya ke dalam beberapa prinsip. MCMC memaparkan beberapa prinsip ini pada webinar KPI akhir tahun 2024.
Prinsip pertama yaitu berkeadilan, maksudnya penggunaan atau penerapan AI harus dirancang untuk menghindari bias terhadap target audiens yang menjadi sasaran program.
Kedua, prinsip keandalan, keamanan, dan kontrol dimana setiap sistem atau solusi AI harus diuji secara kuat agar dapat diandalkan, aman, dan terkontrol untuk kembali ke kondisi aman secara default sehingga dapat percaya.
Ketiga, prinsip privasi dan keamanan yang mengharuskan sistem AI harus aman, terlindungi, dan berfungsi sebagaimana mestinya, serta tahan terhadap gangguan dari pihak yang tidak berwenang.
Prinsip ke empat adalah inklusivitas yang dimaksudkan AI harus inklusif bagi semua pemangku kepentingan agar menghindari konflik sosial.
Prinsip berikutnya yaitu transparansi dimaksudkan algoritma AI harus transparan demi memastikan bahwa semua kapabilitas dapat dijelaskan.
Selanjutnya prinsip akuntabilitas, di mana implementasi atau entitas yang menggunakan AI harus bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan solusi AI.
Prinsip terakhir yaitu manfaat dan kebahagiaan manusia bahwa AI semestinya bertujuan meningkatkan kesejahteraan manusia, meningkatkan kebahagiaan manusia, dan kualitas hidup.
TM Broadcast International menyampaikan bahwa integrasi AI pada sektor penyiaran telah berdampak pada berbagai lini kerja industri penyiaran yang ada. Sebagai langkah awal sangat penting mendefinisikan ulang konsep penyiaran berikut peran dan alur kerja industri ini di masa depan agar lebih adaptif dengan perkembangan zaman.
AI bukan hanya tentang teknologi, melainkan harus menjadi katalisator dalam memperkuat industri penyiaran tanah air. Semangat inilah yang harus masuk ke dalam RUU Penyiaran yang tengah dibahas anggota Komisi I DPR RI.
Besar harapan publik pembahasan RUU Penyiaran periode ini berbuah manis demi melindungi ekosistem penyiaran nasional agar tidak terpuruk lebih jauh lagi akibat gelombang tsunami disrupsi digital yang semakin sulit dibendung.
*) Amin Shabana adalah Komisioner Bidang Kelembagaan, Komisi Penyiaran Indonesia Pusat