Pangkalpinang (ANTARA) - Kecemasan sering kali disalahartikan sebagai kelemahan mental atau bahkan dianggap kelainan. Padahal, kecemasan adalah bagian alami dari respons manusia terhadap tekanan psikologis.
Seperti yang disampaikan oleh Dr. Rick Hanson, “Kecemasan bukanlah cacat dalam karakter Anda, melainkan sinyal bahwa sistem saraf Anda kelebihan beban.” Artinya, dengan memahami kecemasan sebagai respons biologis yang wajar, kita dapat mengganti stigma dalam menghadapi situasi ini dengan empati dan pendekatan yang lebih sehat.
Berdasarkan laporan UNICEF Indonesia tahun 2024, sekitar 34,9 persen remaja di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Hal tersebut dipertegas oleh hasil survei nasional I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) yang menyebutkan bahwa gangguan kecemasan menjadi bentuk gangguan mental yang paling banyak dialami oleh remaja.
Menurut laporan Antara News (2025), prevalensi gangguan kecemasan pada populasi remaja hingga dewasa di Indonesia mencapai 68,7 persen pada tahun 2024. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kecemasan bukanlah persoalan minor, melainkan tantangan kesehatan masyarakat yang nyata dan mendesak untuk wajib diperhatikan.
Ironisnya, meski jumlahnya besar, masih sedikit orang yang mendapatkan penanganan profesional. Survei I-NAMHS mengungkapkan bahwa hanya 2,6 persen remaja dengan masalah kesehatan mental yang menggunakan layanan konseling atau dukungan profesional dalam setahun terakhir.
Rendahnya literasi kesehatan mental dan masih kuatnya pandangan stigma turut berperan. Sebanyak 43,8 persen pengasuh remaja justru lebih memilih menangani masalah itu sendiri atau bersama keluarga dan teman, tanpa melibatkan psikolog atau dokter. Padahal, gangguan kecemasan tidak memandang latar belakang sosial maupun ekonomi.
Seperti yang ditegaskan oleh peneliti kesehatan jiwa, Dr. Sandersan Onie, “Permasalahan gangguan kesehatan jiwa itu bukanlah suatu aib”. Menganggapnya aib justru membuat penderita mengurung diri dan enggan meminta pertolongan, sehingga kesulitan yang dihadapi dapat berlarut lebih parah.
Di sinilah peran keluarga sangat penting. Keluarga adalah rumah pertama dan lingkungan terdekat bagi perkembangan mental seseorang. Orang tua dan anggota keluarga yang peduli sejatinya dapat menjadi pendukung pertama saat salah satu anggota merasa cemas atau stres. Prof. Siswanto Agus Wilopo (UGM) menyampaikan bahwa, “Tidak apa-apa untuk tidak merasa baik-baik saja. Meminta bantuan adalah langkah pertama menuju kesembuhan.” Pesan positif ini, mendorong anak muda agar tidak takut mengungkapkan kegelisahan yang mereka rasakan.
Selanjutnya, keluarga seharusnya memberi dukungan psikologis penuh kepada remaja yang mengalami gangguan emosional. Dukungan ini bisa berupa mendengarkan curhatan mereka tanpa menghakiminya, mengajak beraktivitas bersama untuk mengurangi stres, atau membantu mengakses bantuan profesional bila diperlukan.
Namun, banyak yang luput menyadari bahwa tekanan justru bermula dari tempat paling dekat, keluarga. Data I-NAMHS mengungkapkan bahwa 64,7 persen remaja mengalami masalah dalam hubungan keluarga, dan 83,9 persen dari kasus gangguan mental remaja terkait langsung dengan disfungsi keluarga, seperti pola asuh otoriter atau minimnya pemahaman dari orang tua.
Sebagian besar tekanan keluarga muncul dari tuntutan prestasi dan kesempurnaan yang berlebihan. Leff & Hoyle (dalam Irfan & Hussain, 2014) mendefinisikan tekanan orang tua sebagai ekspektasi yang dipersepsikan anak terlalu tinggi dan tidak realistis. Orang tua kerap menetapkan standar prestasi akademik atau non-akademik yang mencekik, bahkan mengabaikan anak yang tidak memenuhi harapan tersebut. Praktek semacam ini membuat banyak anak tumbuh menjadi perfeksionis yang percaya bahwa mereka harus selalu sempurna untuk mendapat cinta dan penerimaan orang tua. Ketika ekspektasi ekstrim tidak terpenuhi, perasaan gagal dan takut ditolak meningkat tajam sehingga memicu kecemasan yang mendalam pada remaja.
Selain tuntutan tak realistis, gaya pengasuhan otoriter juga memicu kecemasan. Orang tua dengan pola pengasuhan otoriter menerapkan disiplin keras tanpa komunikasi yang sehat, sering menggunakan kritik atau kekerasan verbal. Misalnya, studi I-NAMHS menyatakan disfungsi keluarga terjadi bila orangtua tidak memahami anak, memaksakan kehendak, dan berucap kasar. Suasana pengasuhan seperti ini membuat anak hidup dalam ketakutan konstan akan kemarahan atau penolakan orang tua. Anak selalu menyesuaikan diri dengan standar tinggi yang tidak boleh dilanggar, sehingga rentan mengalami kecemasan sosial serta stres berkepanjangan.
Penting untuk ditegaskan bahwa keluarga memiliki peran kunci dalam membentuk ketahanan mental anak. Komunikasi terbuka, empati, dan pengasuhan suportif dapat menciptakan lingkungan yang memungkinkan remaja mengekspresikan perasaan tanpa takut dihakimi. Penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki hubungan emosional hangat dengan orang tua lebih mampu mengelola stres dan kecemasan dibandingkan dengan mereka yang dibesarkan dalam lingkungan yang penuh tekanan. Namun, ketika rumah tidak menjadi tempat yang aman, setiap tekanan eksternal akan terasa berlipat ganda. Jika komunikasi dibungkam, atau jika kegagalan dipandang sebagai celaan daripada kesempatan untuk belajar, maka kecemasan menjadi teman setia dalam keseharian remaja.
Menyikapi hal ini, diperlukan kesadaran kolektif. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan komunitas harus memperkuat program literasi kesehatan mental, khususnya dalam pembinaan pola asuh keluarga. Orang tua perlu diberi pemahaman bahwa keberhasilan anak bukan sekadar pencapaian akademik, melainkan juga kesehatan mental yang utuh. Seperti yang disampaikan oleh psikiater Dr. Daniel Siegel, “Hubungan yang penuh perhatian dan kehangatan dapat menumbuhkan integrasi otak yang sehat pada anak, yang menjadi fondasi bagi regulasi emosi dan ketahanan mental.” Keluarga seharusnya menjadi rumah pertama yang menguatkan, bukan meruntuhkan.
Gangguan kecemasan di kalangan remaja adalah masalah nyata yang tidak boleh diabaikan. Tenaga profesional di Indonesia masih terbatas, Kemenkes mencatat hanya 0,4 psikiater per 100.000 penduduk sehingga peran keluarga dan masyarakat sangat krusial. Penerimaan dan kepedulian dari keluarga dapat menjadi modal utama bagi pemulihan. Dengan kata lain, jika seseorang mengeluhkan rasa cemas, jangan langsung menyalahkan atau menertawakannya, melainkan berikan dukungan.
Memutus stigma bahwa masalah jiwa “aib” akan membuka ruang bagi lebih banyak orang untuk berani mencari bantuan. Bersama-sama, keluarga dan masyarakat dapat mengubah budaya, menjadikan kesehatan mental prioritas, dan memastikan tidak ada lagi kecemasan yang dihadapi sendirian.
*) Penulis adalah Mahasiswi Universitas Bangka Belitung jurusan Akuntansi
