Pangkalpinang (ANTARA) - Perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk cara berkomunikasi dan menggunakan bahasa.
Di Indonesia, Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan pemersatu bangsa tidak luput dari dampak gelombang transformasi digital ini. Pertanyaannya, bagaimana Bahasa Indonesia beradaptasi dalam era AI, dan apakah perubahan ini membawa ancaman atau justru peluang?
Kecerdasan buatan kini sudah banyak digunakan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari: mulai dari mesin pencari, asisten virtual, chatbot, aplikasi penerjemah, hingga platform pembelajaran. Semuanya menggunakan bahasa sebagai sarana utama dalam berinteraksi dengan pengguna. Dengan kata lain, bahasa termasuk Bahasa Indonesia menjadi jembatan komunikasi antara manusia dan mesin.
Salah satu pengaruh nyata AI terhadap Bahasa Indonesia adalah pada peningkatan akses dan kemudahan dalam menulis dan mencari informasi. Dulu, seseorang perlu memahami struktur penulisan dengan baik dan mencari referensi melalui buku atau artikel ilmiah secara manual. Kini, dengan hanya mengetik beberapa kata kunci, seseorang dapat memperoleh rangkuman informasi, artikel otomatis, hingga penulisan esai dengan bantuan teknologi AI. Hal ini jelas membantu mempercepat proses belajar dan produktivitas, tetapi sekaligus menimbulkan kekhawatiran akan turunnya kemampuan berpikir kritis dan literasi berbahasa secara mandiri, khususnya di kalangan generasi muda.
Bahasa Indonesia mengalami tantangan baru, terutama dalam hal penggunaan yang baik dan benar. Banyak anak muda kini lebih terbiasa menggunakan bahasa campuran (mixing), singkatan digital (seperti “gw”, “gk”, “sm”, “yg”), serta mengadopsi gaya bahasa media sosial yang tidak sesuai kaidah Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Tak jarang pula ditemukan tulisan otomatis dari AI yang tidak sesuai konteks budaya atau kurang tepat secara tata bahasa. Jika ketergantungan terhadap AI tidak diimbangi dengan pemahaman dasar bahasa, maka kemampuan menulis dan berbicara Bahasa Indonesia bisa semakin menurun.
Namun, kecerdasan buatan juga membawa harapan besar bagi pelestarian dan pengembangan Bahasa Indonesia. Dengan data dan teknologi yang tepat, AI dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas penggunaan Bahasa Indonesia, baik dalam pendidikan, pemerintahan, media, maupun sektor lainnya. Misalnya, penerjemah otomatis seperti Google Translate kini telah jauh lebih akurat dalam menerjemahkan Bahasa Indonesia ke bahasa asing dan sebaliknya.
Selain itu, teknologi pengenalan suara (speech recognition) dalam Bahasa Indonesia kini digunakan dalam aplikasi asisten digital seperti Google Assistant.
AI juga dapat digunakan untuk membantu proses pembelajaran Bahasa Indonesia. Sistem berbasis AI dapat digunakan sebagai tutor interaktif yang memberikan umpan balik langsung atas kesalahan tata bahasa, ejaan, atau struktur kalimat. Bahkan, teknologi ini berpotensi digunakan untuk membangun kamus digital yang terus diperbarui sesuai perkembangan bahasa, termasuk kosakata baru dan istilah kekinian.
Dalam konteks kebudayaan dan nasionalisme, keberadaan AI bisa dijadikan alat untuk memperkuat identitas bangsa. Pengembangan aplikasi atau platform lokal berbasis AI yang menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama bisa menjadi bagian dari strategi digitalisasi kebudayaan nasional. Misalnya, pembuatan game edukatif, audiobook berbahasa Indonesia, atau konten pembelajaran interaktif tentang sejarah dan budaya Nusantara. Hal ini membantu anak muda tetap terhubung dengan akar bahasanya meskipun berada dalam ekosistem digital global.
Meski demikian, agar adaptasi Bahasa Indonesia dalam era AI berjalan positif, perlu adanya langkah-langkah nyata dari berbagai pihak. Pemerintah melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa harus memperkuat regulasi dan inisiatif yang mendukung digitalisasi bahasa, termasuk memperkaya korpus data Bahasa Indonesia yang bisa digunakan oleh pengembang AI. Dunia pendidikan juga harus menyeimbangkan penggunaan teknologi dengan penguatan keterampilan berbahasa secara manual dan mendalam.
Masyarakat, khususnya generasi muda, harus disadarkan bahwa AI hanyalah alat bantu, bukan pengganti kemampuan berpikir. Mereka harus terus dilatih untuk menulis, berdiskusi, dan memahami Bahasa Indonesia dengan struktur dan makna yang baik. Kampanye literasi digital yang sehat, termasuk etika penggunaan AI, juga harus digencarkan agar tidak terjadi penyalahgunaan informasi atau plagiarisme.
Adaptasi Bahasa Indonesia di era AI bukan hanya soal mempertahankan eksistensinya, tetapi juga soal menjadikan bahasa ini tetap hidup, relevan, dan berkembang. Kita tidak bisa menolak kemajuan teknologi, tetapi kita bisa mengarahkan penggunaannya agar tetap berpihak pada pelestarian bahasa dan budaya bangsa.
Dengan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, pelaku industri teknologi, dan masyarakat, Bahasa Indonesia dapat menjadi bagian penting dari peta digital dunia. Justru, inilah saatnya menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa digital yang berdaya saing tinggi di tengah arus globalisasi teknologi.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung (UBB)