Pangkalpinang (ANTARA) - Di era digital yang berkembang begitu pesat, berbagai aspek kehidupan manusia ikut mengalami transformasi besar, termasuk dalam urusan bertransaksi. Dahulu, masyarakat harus membawa uang tunai, menulis cek, atau pergi ke bank untuk melakukan transaksi.
Kini, semua bisa dilakukan hanya lewat ponsel pintar. Cukup dengan membuka aplikasi dompet digital, mobile banking, atau memindai QR code menggunakan sistem QRIS, pembayaran pun terselesaikan dalam hitungan detik. Tak hanya di pusat perbelanjaan besar, pedagang kaki lima, warung kecil, hingga tukang parkir pun kini banyak yang menerima pembayaran digital.
Fenomena ini menunjukkan betapa cepatnya teknologi meresap ke dalam kehidupan sehari-hari, bahkan di tingkat masyarakat yang sebelumnya kurang terjangkau teknologi.
Kemudahan ini tentu membawa banyak keuntungan yang sangat dirasakan oleh masyarakat. Pertama, proses transaksi menjadi jauh lebih cepat dan efisien. Kita tidak perlu antre panjang di ATM atau membawa uang tunai dalam jumlah besar yang rawan hilang atau dicuri. Kedua, dompet digital dan aplikasi perbankan biasanya menyediakan riwayat transaksi yang memudahkan pengguna untuk melacak pengeluaran mereka secara real-time. Ini tentu sangat membantu dalam hal pengelolaan keuangan pribadi. Ketiga, sering kali penyedia layanan digital menawarkan berbagai promo menarik, seperti cashback, diskon, hingga poin reward yang dapat ditukar dengan produk atau layanan tertentu. Hal ini membuat transaksi digital sangat diminati, terutama oleh generasi muda yang aktif berbelanja online maupun offline.
Generasi ini tumbuh dalam lingkungan yang serba cepat dan praktis, sehingga teknologi menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup mereka. Namun, kenyamanan yang ditawarkan ini tidak datang tanpa risiko.
Di balik kemudahan transaksi digital, tersembunyi potensi bahaya yang bisa menimpa siapa saja. Salah satu risiko paling umum adalah penipuan online. Banyak orang yang tiba-tiba kehilangan saldo dompet digital mereka akibat mengklik tautan mencurigakan yang dikirim melalui pesan teks, email, atau media sosial. Tak sedikit pula yang menjadi korban phising sebuah teknik di mana penipu menyamar sebagai institusi resmi untuk mencuri informasi pribadi seperti PIN, password, atau OTP. Sekali data pribadi jatuh ke tangan yang salah, seluruh isi rekening atau e-wallet bisa raib seketika. Lebih buruknya lagi, korban sering kali tidak sadar bahwa mereka sedang ditipu hingga semuanya sudah terlambat.
Tak hanya itu, kejahatan siber seperti pembobolan akun, penyalahgunaan data pribadi, dan pencurian identitas juga semakin meningkat. Pelaku memanfaatkan kelengahan pengguna yang tidak mengaktifkan fitur keamanan tambahan seperti autentikasi dua faktor (2FA), atau yang terlalu mudah percaya pada pesan-pesan mengatasnamakan bank atau layanan keuangan. Sayangnya, banyak pengguna belum memiliki pengetahuan atau kesadaran yang cukup untuk mengenali tanda-tanda kejahatan digital seperti ini. Mereka mengira semua tampilan digital yang menyerupai lembaga resmi adalah aman, padahal bisa saja itu adalah jebakan.
Masalah lain datang dari sisi kebiasaan masyarakat. Tidak semua kalangan merasa nyaman atau terbiasa menggunakan teknologi. Orang tua atau warga yang tinggal di daerah terpencil sering kali mengalami kesulitan saat harus mengoperasikan aplikasi transaksi digital. Ada yang bingung saat membuat akun, ada pula yang kesulitan saat harus melakukan verifikasi data, atau tidak tahu bagaimana cara membatalkan transaksi jika terjadi kesalahan.
Ketidaktahuan ini membuat mereka lebih rentan menjadi sasaran penipuan. Bahkan ada yang merasa frustasi dan akhirnya memilih untuk kembali ke metode pembayaran konvensional karena merasa transaksi digital terlalu rumit dan membingungkan. Di sinilah pentingnya edukasi digital secara masif dan berkelanjutan.
Menurut penulis, perkembangan teknologi memang tidak bisa dihindari, tetapi harus diimbangi dengan peningkatan literasi digital di masyarakat. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan penyedia layanan keuangan digital harus bekerja sama dalam memberikan sosialisasi dan pelatihan tentang keamanan digital, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia dan masyarakat pedesaan. Kampanye-kampanye edukatif yang disebarkan melalui media sosial, televisi, atau secara langsung ke komunitas masyarakat bisa menjadi cara efektif untuk menyebarkan informasi. Bahkan, materi edukasi digital bisa dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah agar generasi muda terbiasa sejak dini.
Penyedia layanan juga harus memperkuat sistem keamanan mereka. Misalnya, dengan memperbarui fitur keamanan secara berkala, menyediakan layanan pelanggan yang sigap membantu saat ada keluhan atau laporan penipuan, serta memperingatkan pengguna tentang potensi penipuan yang sedang marak. Selain itu, perlu adanya regulasi ketat dari pemerintah yang mengatur tentang perlindungan data pribadi serta sanksi bagi pelaku kejahatan siber, agar masyarakat merasa aman dan terlindungi. Tanpa adanya sistem hukum yang kuat dan tegas, kejahatan digital akan terus berkembang tanpa hambatan.
Di sisi lain, pengguna juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga keamanan dirinya sendiri saat bertransaksi digital. Kita tidak boleh asal klik tautan yang tidak jelas asal-usulnya, tidak membagikan informasi pribadi ke sembarang orang, dan sebisa mungkin menggunakan password yang kuat dan tidak mudah ditebak. Mengaktifkan fitur keamanan tambahan seperti sidik jari, pengenalan wajah, dan autentikasi dua langkah juga sangat dianjurkan. Tidak ada sistem yang benar-benar 100% aman jika penggunanya sendiri lalai dan tidak berhati-hati.
Transaksi digital memang bagian dari kemajuan yang membawa banyak manfaat cepat, praktis, dan efisien. Tapi kemajuan ini harus dibarengi dengan kesadaran dan tanggung jawab dari semua pihak, baik penyedia layanan, pemerintah, maupun pengguna. Masa depan transaksi digital yang aman dan nyaman hanya bisa terwujud jika kita semua ikut berperan aktif di dalamnya. Karena pada akhirnya, teknologi hanyalah alat. Bagaimana kita menggunakannya dengan bijak atau ceroboh akan menentukan apakah kenyamanan itu akan berujung pada keuntungan, atau justru kerugian.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung
Transaksi digital: Nyaman, tapi benarkah aman?
Oleh Trisa Kristianti *) Kamis, 12 Juni 2025 19:27 WIB
