Jakarta (ANTARA) - Di balik gemerlapnya Jakarta, ada sebuah program penuh manfaat yang bergerak perlahan tapi pasti, yakni Kampung Siaga TBC.
Kampung Siaga TBC adalah inisiatif akar rumput yang digerakkan bukan oleh para dokter berseragam putih, melainkan para ibu rumah tangga, kader kesehatan, dan aparat lingkungan.
Mereka menyatukan semangat dalam langkah kecilnya, namun berpegang pada satu tujuan besar yakni Indonesia bebas TBC.
Tak banyak yang berkontribusi, namun gerakan ini lahir dari keyakinan sederhana untuk melawan salah satu penyakit paling mematikan di negeri ini.
Banyak dari mereka berpikir, perlawanan terhadap TBC bukan hanya dibebankan pada rumah sakit dan puskesmas. Semua bisa dimulai dari rumah-rumah warga, gang-gang sempit, dan suara masyarakat yang peduli.
Bahkan, sebagian dari mereka harus berperang dengan stigma masyarakat lainnya yang diiringi dengan rasa tak peduli, dan berujung pada konsekuensi serius.
Siapa sangka, ibu-ibu yang kesehariannya mengurus keperluan keluarga dan rumah tangga, di sisi lain mereka pantas disebut sebagai pasukan penjaga napas di berbagai sudut Jakarta.
Salah satunya Kampung Siaga TBC di RW 06 Rambutan, Jakarta Timur. Satu kampung dari 274 desa siaga lainnya yang tersebar di kelurahan se-Jakarta.
Di sana kita bisa menemukan wajah-wajah pahlawan tanpa tanda jasa yang kerap disebut kader siaga TBC.
Para ibu rumah tangga itu dilatih secara khusus untuk mengenali gejala TBC, memberikan edukasi kepada warga, mendampingi pasien dalam pengobatan, bahkan memantau langsung melalui sarana dan prasarana untuk memastikan obat diminum tepat waktu.
Setiap pagi, mereka menyapa tetangga satu per satu, menanyakan kabar, dan secara perlahan membuka percakapan soal batuk yang tak kunjung sembuh, demam berkepanjangan, atau nafsu makan yang menurun.
Mereka harus menyusuri gang-gang sempit, mengetuk pintu rumah warga satu per satu, mengedukasi, mendengarkan keluhan, hingga menyemangati pasien agar tetap taat pada pengobatan yang panjang dan melelahkan.
Senyum mereka mungkin sederhana, tapi bagi pasien TBC, mereka menjadi salah satu penyambung harapan dan dukungan psikologis.
"Lebih banyak orang yang peduli, lebih banyak juga orang dapat memahami pentingnya pencegahan dan pengobatan," kata salah satu kader Kampung Siaga TBC di RW 06 Kampung Rambutan, Sulastri (41).
Sulastri menilai, perjuangan para ibu bukan tanpa tantangan. Di beberapa wilayah, masih banyak warga yang menganggap TBC sebagai aib.
Menurut dia, ibu rumah tangga memiliki kekuatan lebih sebagai figur yang akrab, dipercaya, dan dekat dengan warga. Mereka bisa masuk lewat empati, dengan pendekatan dari hati ke hati, dan menembus dinding stigma yang tak bisa ditembus oleh petugas resmi.
Kolaborasi lintas sektor
Meski tantangan masih ada, mulai dari stigma hingga keterbatasan anggaran, semangat kolaborasi terus menyala.
Pemerintah menekankan pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah, komunitas, dan masyarakat sekitar.
Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat terus digencarkan untuk pencapaian target eliminasi TBC 2030, sekaligus mengurangi beban penyakit akibat TBC. Sedangkan Kampung Siaga TBC, menjadi salah satu ujung tombaknya.
Sejak ribuan tahun lalu, TBC menjadi penyakit mematikan dan telah membunuh lebih dari satu miliar jiwa di seluruh dunia.
Bahkan, setiap tahunnya TBC masih menyebabkan lebih dari satu juta kematian secara global. Hal hal ini setara dengan dua orang meninggal setiap satu menit akibat TBC.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyampaikan tiga pesan utama kepada para kader kesehatan. Pertama, menemukan seluruh pasien TBC di masyarakat. Target tahun ini bisa menemukan satu juta kasus TBC.
Pesan kedua, pasien yang terdeteksi harus segera diberikan pengobatan. Penundaan minum obat dapat mempercepat penularan TBC.
Ketiga, pentingnya pengawasan selama masa pengobatan, karena pasien TBC perlu waktu berbulan-bulan untuk sembuh, jika berhenti di tengah jalan akan lebih menyulitkan pasien.
Tak sampai di situ, kolaborasi juga dilakukan Pemerintah Kota Jakarta Timur, sebagai salah satu wilayah yang terbaik dalam penanganan TBC melalui Kampung Siaga TBC di Kampung Rambutan.
Pola hidup bersih dan sehat (PHBS) terus digencarkan melalui edukasi seperti sosialisasi, kampanye, dan penyuluhan kesehatan.
Selain itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur juga melombakan kelurahan terbaik dalam rangka pendeteksian Tuberkulosis (TBC) di Jakarta Timur.
Perlombaan ini menjadi penyemangat jajaran kelurahan se-Jakarta Timur untuk mendeteksi warganya yang terkena TBC sekaligus melakukan proses penyembuhan.
Sebanyak 30 kader tuberkulosis sudah dilatih untuk mendukung penanganan TBC. Bukan sekadar menemukan penderita TBC, tetapi juga melakukan investigasi lebih lanjut terkait siapa saja yang memiliki kontak erat dengan penderita TBC untuk memutus rantai penularan TBC.
Adapun Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur mencatat sebanyak 2.645 warga Jakarta Timur positif mengidap penyakit tuberkulosis (TBC) selama periode Januari hingga Maret 2025.
Dari jumlah 2.645 kasus itu, 324 kasus diantaranya dari anak-anak karena kontak erat dengan orang terdekat. Wilayah terbanyak ditemukan kasus TBC di Jakarta Timur yakni Pulogadung, Ciracas, Cakung, dan Pasar Rebo.
Catatan Sudin Kesehatan Jakarta Timur selama tahun 2024 menunjukkan, keberhasilan pengobatan pasien Tuberkulosis mencapai 65 persen atau sebanyak 2.285 warga sudah sembuh.
Adapun Dinas Kesehatan DKI Jakarta melaporkan, anggaran pengendalian TBC pemerintah mencapai Rp65,6 miliar. Alokasi anggaran ini antara lain guna menegakkan diagnosis, monitoring pasien, dan pemberian makanan tambahan (PMT) bagi pasien.
Di samping itu, untuk pembiayaan pengendalian TBC ini ada pembiayaan dari NGO, Global Fund sekitar Rp9,1 miliar. Sehingga total pembiayaannya sekitar Rp74,7 miliar.
Benteng terakhir
Meski pengobatan tersedia dan upaya pemerintah terus bergulir, para penjaga yang menjadi benteng terakhir melawan TBC harus tetap ada.
Beberapa inovasi tercipta dari sebuah Kampung Siaga TBC di Kampung Rambutan. Inovasi tersebut lahir dari sekumpulan ibu rumah tangga yang disebut kader usut sisir (Kusir).
Para Kusir tersebut melakukan beberapa terobosan mulai dari peta digital sebaran kasus (Pelana), pos edukasi dan informasi TBC (Pedati), penjaringan kasus drop out TBC (Dokar), kolaborasi lintas klaster dan sektor (Bentor), dan proyek rumah modifikasi (Simodis).
Pusat utama inovasi berada pada aksi Sidokar, dengan lima aksi turunannya yakni penjaringan TBC DO yang menyangkut penelusuran kasus TBC tidak minum obat.
Kedua, aksi Kusir yakni kader untuk sisir kasus TBC, yang menyangkut skrining dan edukasi pasien TBC. Ketiga, aksi Pelana yakni peta digital sebaran kasus TBC yang menyangkut pemantauan pasien dan menentukan tingkat kerentanan.
Keempat, aksi Pedati yakni pusat edukasi dan informasi TBC yang menyangkut informasi-informasi layanan terkait kesehatan dan skrining TBC.
Kelima, aksi Bentor yakni kolaborasi lintas klaster dan lintas sektor yang menyangkut kolaborasi lintas program seperti gizi untuk mengukur kebisingan, kelembapan pencahayaan, dan menghitung status gizi, dan salah satunya proyek rumah modis yang dibantu oleh kemitraan.
Inovasi tersebut terbagi dalam beberapa pihak yang memiliki peran masing-masing. Mereka berkumpul menjadi satu kesatuan dan contoh sinergi yang selaras.
Seorang ibu kader dengan rompi memegang map berisi daftar nama warga yang harus diperiksa. Di sampingnya, seorang petugas kelurahan tengah menelpon puskesmas.
Tak jauh dari sana, seorang pemuda karang taruna dan sekumpulan orang yang tergabung dalam Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga tengah membagikan masker dan brosur tentang bahaya tuberkulosis (TBC).
RT dan RW aktif melakukan pelacakan warga bergejala, sedangkan camat dan lurah bertanggung jawab terhadap koordinasi dan menjadi penghubung antara masyarakat dengan pemerintah.
Kampung Siaga TBC diinisiasi minimal satu RW per kelurahan sesuai Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor28 Tahun2018 tentang Penanggulangan Tuberkulosis (TB).
DKI Jakarta menargetkan penemuan 70.387 kasus pada tahun 2025. Salah satu inovasi terbaru adalah pembentukan 274 Kampung Siaga Tuberkulosis pada tahun 2024 dan akan dikembangkan hingga menjadi 500 Kampung pada tahun ini.
TBC bukan hanya soal kuman di paru-paru, tapi juga harapan yang hidup di hati warga. Selama ada yang berani bicara, mengetuk pintu rumah tetangga, dan menyodorkan brosur penyuluhan, selama itu pula harapan akan terus menyala.
Sehingga suatu hari, tak ada lagi anak yang kehilangan ibu, atau suami yang harus dikuburkan diam-diam karena TBC.