Pangkalpinang (ANTARA) - Kegiatan pertambangan merupakan salah satu aktivitas tertua dalam kehidupan manusia. Hampir seluruh sarana kehidupan dewasa ini, baik langsung maupun tidak langsung, bersentuhan dengan bahan tambang. Timah, salah satu mineral strategis, telah menjadi komoditas penting yang digunakan untuk berbagai kebutuhan industri.
Logam timah dimanfaatkan antara lain untuk melapisi kaleng makanan karena ketahanannya terhadap korosi, sebagai komponen utama solder penyambung perangkat elektronik, bahan campuran logam seperti perunggu (tembaga-timah), material pembuatan perhiasan, baterai, hingga kendaraan listrik.
Dari darat ke laut
Kebutuhan global terhadap mineral tambang semakin meningkat seiring perkembangan teknologi dan pertumbuhan penduduk. Kondisi ini membuat pola penambangan bergeser. Jika dahulu aktivitas pertambangan timah di Bangka Belitung banyak dilakukan di darat, kini operasi bergeser ke laut.
Metode yang digunakan adalah Kapal Isap Produksi (KIP) dan kapal keruk untuk mengambil timah dari dasar laut. Praktik ini sudah berlangsung sejak sekitar 300 tahun lalu, namun kini intensitasnya semakin tinggi.
Regulasi dan kewenangan daerah
Pengelolaan tambang timah tidak lepas dari payung hukum yang terus diperbarui. Dalam konteks otonomi daerah, kewenangan diatur melalui UU No. 22 Tahun 1999, kemudian digantikan UU No. 23 Tahun 2004, hingga UU No. 23 Tahun 2014 yang berlaku saat ini.
Secara khusus, pertambangan timah diatur dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai perubahan dari UU No. 4 Tahun 2009, serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Perizinan perdagangan timah melibatkan berbagai tingkatan pemerintahan, mulai dari Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pemerintah provinsi, hingga kabupaten/kota. Izin yang diberikan meliputi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Meski kerangka hukum sudah tersedia, aktivitas tambang timah masih sulit dikendalikan. Jumlah kapal isap di laut terus bertambah, bahkan menggantikan dominasi kapal keruk. Pola penambangan yang kian masif ini dinilai berorientasi pada keuntungan jangka pendek dan mengancam kelestarian lingkungan.
Keterlibatan berbagai pihak, termasuk perusahaan milik negara PT Timah Tbk, sering menimbulkan konflik. Perseteruan terjadi antara pengusaha tambang dengan masyarakat lokal, terutama nelayan yang kehilangan akses terhadap sumber daya laut.
Pengawasan dari pemerintah daerah dan instansi teknis, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) maupun Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD), dinilai belum tegas. Minimnya koordinasi antara sektor pertambangan, perikanan, dan pariwisata bahari memperburuk dampak sosial-ekonomi masyarakat.
Dampak pertambangan
Tambang timah memberi kontribusi positif, seperti peningkatan pendapatan negara dan daerah, terbukanya lapangan kerja baru, pembangunan infrastruktur, serta penyediaan bahan baku industri untuk konstruksi, baja, pupuk, dan teknologi. Kehadiran tambang juga turut mendorong kemajuan sosial dan teknologi di wilayah terpencil.
Namun, sisi negatifnya tidak kalah besar. Aktivitas pertambangan memicu kerusakan lingkungan, menurunkan kualitas kesehatan masyarakat, dan mengubah tatanan budaya lokal.
Surat Izin Usaha Pertambangan (IUP) sejatinya membatasi aktivitas tambang dalam wilayah tertentu dengan ketentuan tahapan mulai dari eksplorasi, konstruksi, studi kelayakan, pengolahan, pemurnian, penjualan, hingga pascatambang. Pemegang izin juga diwajibkan mematuhi regulasi dan pengawasan pemerintah.
Namun, dalam praktiknya, maraknya pertambangan berlebihan di luar batas memperlihatkan lemahnya pengawasan. Banyaknya izin berskala besar tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan, ditambah berkembangnya pertambangan ilegal, menimbulkan kerusakan ekosistem, konflik sosial, hingga korban jiwa.
Pemerintah Provinsi Bangka Belitung sebenarnya telah menetapkan Perda Nomor 1 Tahun 2019 yang mengatur jenis mineral ikutan dan produk samping timah. Aturan ini diharapkan dapat memperkuat pengawasan dan tata kelola tambang di masa depan.
Dampak biologis pertambangan timah sangat luas. Kerusakan habitat dan hilangnya keanekaragaman hayati menjadi ancaman serius. Pencemaran air dan tanah tidak hanya berpengaruh pada kesehatan manusia, tetapi juga ekosistem laut.
Terumbu karang, sebagai indikator biologis kualitas perairan sekaligus pelindung alami pantai dari abrasi, banyak mengalami kerusakan akibat aktivitas tambang. Selain itu, paparan logam berat dan unsur radioaktif dapat memicu peningkatan penyakit pada masyarakat.
Kerusakan ekosistem laut juga berdampak pada sektor pariwisata. Daya tarik wisata bahari Bangka Belitung, yang selama ini menjadi penopang ekonomi masyarakat pesisir, berpotensi menurun. Pedagang, nelayan, hingga pelaku wisata bisa kehilangan mata pencaharian jika kerusakan lingkungan tidak segera ditangani.
Harapan rehabilitasi
Berbagai regulasi sebenarnya telah menekankan pentingnya pemulihan lingkungan, antara lain UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, serta PP No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang.
Selain itu, pemanfaatan ruang laut diatur dalam Peraturan Izin PKKPRL yang juga menekankan aspek keberlanjutan. Dengan adanya aturan ini, diharapkan pemerintah bersama perusahaan tambang dapat melakukan rehabilitasi lingkungan laut sehingga kondisinya kembali mendekati keadaan semula sebelum adanya aktivitas penambangan.
Masyarakat Bangka Belitung kini menantikan langkah tegas pemerintah dalam menyeimbangkan kepentingan devisa negara dengan upaya penyelamatan lingkungan hidup demi keberlanjutan generasi mendatang.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung
Tambang Timah Bangka Belitung: Antara devisa dan derita
Oleh Mibta Prana Al-Khafis *) Senin, 8 September 2025 18:06 WIB
