Pangkalpinang (ANTARA) - Indonesia kembali berduka. Seorang siswa kelas 5 SD, ZH (10) asal Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, meninggal dunia pada Sabtu, 26 Juli 2025, setelah diduga menjadi korban perundungan oleh teman-temannya.
Tidak hanya itu, sebuah video berdurasi 48 detik yang viral memperlihatkan seorang siswa SMP di Pangandaran dipukul oleh kakak kelasnya di hadapan teman-teman, memicu keprihatinan publik lebih luas (Detik.com).
Data menunjukkan bahwa bullying bukan fenomena sesekali, melainkan masalah yang kian membesar. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat hampir 15 persen pelajar mengalami perundungan, dan laporan yang diterima Kemenkes pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sepanjang 2025 mencapai 620 kasus bullying (KBR, IDN Times).
Ini menjadi masalah yang sangat serius untuk segera ditangani dengan baik dan menyolusi hingga akarnya.
Mengapa ini terjadi?
Secara teori, Sidanius & Pratto menyatakan dalam teorinya Dominasi Sosial (Social Dominance Theory). Teori ini menjelaskan tentang bagaimana individu atau kelompok memiliki kecenderungan untuk mempertahankan hierarki sosial dengan menunjukkan superioritas terhadap orang yang dianggap lebih lemah.
Olweus, salah satu peneliti bullying juga menyatakan adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku dan korban yang terjadi, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial (Power Imbalance Theory). Terdapat beberapa dorongan menurutnya yang dapat membuat seseorang melakukan kekerasan, yaitu:
1. Adanya kesenangan pribadi dan rasa puas dalam diri pelaku ketika melihat penderitaan korban.
2. Keluarga, yaitu pola asuh yang otoriter, kondisi keluarga yang broken home atau tidak harmonis sehingga anak kurang mendapatkan kasih sayang dan merasa setres di rumah sehingga mencari kesenangan diluar dengan cara apapun yang bisa didapatkan.
3. Lingkungan sosial. Seperti; pengaruh teman sebaya, yang tidak dapat dipungkiri teman sangat memberikan warna pada perilaku, cara berpikir dan pengambilan keputusan. budaya sekolah bagaimana manajemen pengawasan dari pihak sekolah yang kurang menjadikan kasus perundungan ini semakin menggemuk. fokus kurikulum yang hanya memusatkan pada akademik, turut menjadikan anak minim akhlaknya.
4. Pengaruh paparan media kekerasan. Dewas ini, media berkontribusi besar dalam membentuk pola pikir generasi muda. Salah satu dampak yang paling nyata adalah semakin maraknya kasus perundungan. Konten digital seperti game online sering kali dipenuhi adegan kekerasan fisik yang secara tidak langsung, menormalisasi tindakan agresif. Begitu pula dengan tontonan kartun maupun anime, yang meskipun dikemas sebagai hiburan, kerap menanamkan nilai-nilai kekerasan dalam imajinasi anak-anak. Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin anak-anak akan menganggap kekerasan sebagai bagian wajar dari kehidupan sehari-hari.
5. Kebutuhan pengakuan dimana pelaku ingin diangap kuat dilingkungannya. Status "kuat" tersebut sering dijadikan modal untuk mendapatkan posisi sosial yang lebih tinggi di antara teman sebaya. Ini menunjukkan bagaimana sebenarnya terdapat krisis identitas pada diri pelaku. Alih-alih mencari pengakuan melalui prestasi, kreativitas, atau kemampuan positif, ia memilih jalur instan: menindas orang lain. Hal ini seharusnya menjadi alarm bagi lingkungan sekitar karena terdapat paradigma berpikir yang salah dan muncul atas kesalahan pemahaman pada diri pelaku.
Sekuler-liberal akar masalah?
Dari beberapa hal yang mendorong seseorang melakukan bullying diatas, penulis mencoba mengambil poin penting yang dapat ditangkap dan dijadikan sebagai akar masalah, mengapa kasus bullying dan persoalan hidup lainnya tak kunjung selesai. krisis ini dapat disebutkan bukan sekadar kekerasan fisik atau psikologis saja, tetapi kesalahan dalam memilih dan menginstall pemahaman yang dijadikan sebagai jalan hidup. Kenapa?
Perbuatan manusia adalah hasil dari pemahamannya. Maka jika perbuatan yang dihasilkan adalah perbuatan yang salah, artinya ada kesalahan dalam memahami atau pemahaman yang dijadikan sebagai jalan hidup tidak berdasarkan pada asas yang benar. Inilah yang disebut paham ideologi sebagai asas dalam berkehidupan.
Munawar-Rachman dalam bukunya menuliskan Sekulerisme sebagai paham yang memisahkan agama dari urusan politik dan negara (Munawar-Rachman, 2011: 33). Artinya agama dianggap hanya sebagai ranah individu kepada tuhannya.
Agama dijadikan hanya sebagai ritual semata yang tidak mampu membentuk kepribadian yang komunal. Agama dianggap tidak mampu dan tidak boleh mengatur negara dan politiknya.
Sementara liberalisme menekankan pada nilai kebebasan sebagai standar berbuat tanpa batas moral. Individu yang tumbuh dalam sistem ini cenderung kehilangan arah, tidak mengenal tujuan hidup, dan mudah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, termasuk bullying. (Munawar-Rachman, 2011: 33)
Solusi Islam Menghentikan Bullying
Perundungan tak bisa dilepaskan dari sistem sekuler kapitalisme yang hari ini menaungi kehidupan. Budaya yang lahir dari sistem itu justru menyuburkan kekerasan. Sebaliknya, ketika Islam hadir sebagai jalan hidup, praktik perundungan akan terkikis bahkan hilang dari masyarakat.
Bullying tidak cukup diselesaikan hanya dengan cara solusi yang pragmatis, seperti disiplin sekolah atau hukuman ringan, yang dibutuhkan adalah pendekatan yang menyeluruh: Islam sebagai landasan hidup.
Pertama, Islam menuntun umatnya agar selalu berbuat baik pada sesama. Rasulullah saw. dengan akhlaknya yang sempurna menjadi teladan nyata. Siapa pun yang mencontohnya akan terdorong untuk menahan diri dari menyakiti orang lain. Justru sebaliknya, ia akan berupaya menjadi manusia terbaik, yang hidupnya memberi manfaat sebesar-besarnya bagi orang lain.
Kedua, keluarga yang dibangun di atas dasar akidah Islam akan melahirkan rumah tangga penuh ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Rumah itu akan menjadi baiti jannati, tempat keimanan saling dikuatkan. Ibu berperan sebagai madrasatul ula, mencurahkan kasih sayang dan menanamkan iman sejak dini.
Ayah hadir sebagai pemimpin sekaligus teladan. Dari lingkungan seperti inilah lahir pribadi yang lembut, penuh rahmat, dan jauh dari perilaku perundungan.
Ketiga, pendidikan berbasis akidah Islam menaruh perhatian utama pada pembentukan akhlak. Sekolah bukan sekadar mencetak anak-anak cerdas, tetapi memastikan pola pikir dan perilakunya terikat dengan nilai Islam. Dari sini tumbuh budaya tolong-menolong, bukan budaya saling merendahkan. Maka, jangankan merundung, justru mereka akan saling berlomba untuk berbuat kebaikan (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhsiyah al-Islamiyyah).
Keempat, negara memiliki peran vital menjaga ketakwaan masyarakat. Setiap media atau sarana yang menumbuhkan budaya perundungan harus diberantas meski menguntungkan secara ekonomi. Tidak berhenti di situ, pelaku perundungan maupun penyebar konten kekerasan diberi sanksi tegas karena telah menyalahi aturan syariat.
Lantas, Bagaimana Islam Menyikapi Pelaku Kedzoliman Anak-Anak?
Negara Islam yang menjalankan syariat memang wajib menegakkan hukum atas pelaku kejahatan. Namun, bagaimana jika yang terlibat dalam perundungan adalah anak di bawah umur?
Dalam Islam, anak kecil yang melakukan tindakan kriminal—seperti mencuri, tawuran, atau perundungan fisik—tidak dikenai sanksi pidana Islam (‘uqubat syar’iyyah) seperti hudud, jinayah, mukhalafat, maupun ta’zir. Hal ini karena anak belum tergolong mukalaf. Syarat mukalaf jelas: berakal, baligh, dan melakukan perbuatan secara sadar tanpa paksaan.
Rasulullah SAW. sendiri menegaskan, “Telah diangkat pena dari tiga golongan: orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia balig, dan orang gila hingga ia sadar” (HR Abu Dawud). Artinya, tiga golongan ini terbebas dari beban hukum. Mereka bukan mukalaf (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhsiyah al-Islamiyyah, 3/36).
Namun, begitu seorang anak telah menunjukkan tanda-tanda baligh, ia masuk kategori mukalaf dan bisa dikenai sanksi jika melakukan kriminalitas. Dalam hal merusak organ tubuh orang lain, Islam menetapkan diat sebagai ganti rugi. Rasulullah saw. bersabda, “Pada dua mata dikenakan diat penuh. Pada satu mata, diatnya 50 ekor unta. Pada dua telinga dikenakan diat penuh” (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat).
Dengan begitu, anak di bawah umur maupun orang gila tidak dapat dijatuhi hukuman. Tetapi jika kejahatan itu terjadi akibat kelalaian wali, maka wali yang harus bertanggung jawab. Sebaliknya, bila bukan karena kelalaiannya, wali tidak dihukum. Meski demikian, negara tetap wajib memberikan pembinaan kepada wali dan anak yang melanggar, agar mereka kembali kepada jalan yang benar (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 108).
Ibrah pada Masa Rasulullah SAW.
Pada masa Rasulullah saw., ada sebuah peristiwa yang selayaknya menjadi cermin bagi kita dalam menghadapi persoalan perundungan. Kisah itu melibatkan Abu Dzar al-Ghifari dan Bilal bin Rabah.
Dalam perselisihan yang terjadi, Abu Dzar terlontar kata-kata yang sangat menyakitkan, “Dasar kulit hitam!” Ucapan itu begitu menusuk hati Bilal hingga ia memilih mendatangi Rasulullah saw.
Untuk mengadukan kegalauannya. Mendengar kabar itu, Rasulullah saw. tidak tinggal diam. Dengan wajah yang tampak marah, beliau menegur Abu Dzar dengan kalimat tegas, “Dalam dirimu masih ada sifat jahiliah!” Teguran itu bukan sekadar untuk Abu Dzar, tetapi sekaligus peringatan keras bahwa Islam tidak pernah memberi ruang bagi sikap merendahkan sesama.
Teguran Rasulullah saw. membuat Abu Dzar tersentak. Ia menangis, menyesali kebodohannya, dan segera memohon ampun kepada Allah. Rasa sesalnya begitu mendalam hingga ia berjanji untuk tidak mengulanginya.
Abu Dzar lalu mendatangi Bilal dengan penuh kerendahan hati. Ia rebahkan dirinya di tanah, menempelkan pipinya, dan dengan suara lirih memohon Bilal menginjak wajahnya. Permintaan itu ia ulang berkali-kali, bahkan bersumpah demi Allah, agar dosanya terhapus dan sisa-sisa sifat jahiliah dalam dirinya lenyap. Bayangkan, seorang sahabat Nabi yang mulia rela merendahkan dirinya sedemikian rupa, hanya karena ingin membersihkan hati dari noda kesombongan dan penghinaan.
Namun Bilal menolak. Dengan air mata menetes, ia berkata, “Aku tidak akan pernah menginjak wajah yang penuh cahaya sujud kepada Allah. Semoga Allah mengampunimu wahai Abu Dzar.” Kalimat itu membuat suasana berubah haru.
Keduanya menangis dan akhirnya berpelukan, menutup lembaran kelam dengan kasih sayang dan persaudaraan. Peristiwa ini memberi pesan kuat: Islam sama sekali menolak segala bentuk pelecehan, hinaan, dan perundungan. Tidak ada ruang bagi rasialisme atau superioritas sosial. Yang ada hanyalah persaudaraan karena iman, dan kemuliaan yang sejati hanya ada pada takwa.
Kematian ZH dan maraknya kasus bullying lainnya harus menjadi peringatan keras. Bukan hanya untuk mencegah tragedi berikutnya, tetapi untuk menata kembali sistem pendidikan, keluarga, dan masyarakat agar Islam menjadi fondasi utama dalam berkehidupan. Hanya dengan Islam, bullying bisa diatasi hingga ke akarnya.
Penulis: Siti Munawaroh (Mahasiswi Psikologi Islam IAIN Syekh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung)
