Pangkalpinang (ANTARA) - Jaminan kebendaan merupakan instrumen penting dalam sistem pembiayaan di Indonesia karena memberikan kepastian bagi kreditur atas pelunasan utang debitur. Tanpa jaminan yang kuat, risiko wanprestasi berpotensi membebani sistem ekonomi dan melemahkan kepercayaan dalam hubungan kontraktual.
Secara hukum, dasar jaminan kebendaan termaktub dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yang menyatakan seluruh harta debitur menjadi jaminan bersama bagi krediturnya. Dari prinsip ini lahirlah lembaga jaminan khusus seperti hak tanggungan, fidusia, hipotek, dan gadai. Seluruhnya mengandung asas droit de suite (hak mengikuti objek jaminan di tangan pihak ketiga) dan droit de préférence (hak didahulukan dalam pelunasan piutang).
Kekuatan jaminan kebendaan terletak pada kepastian hukum melalui pendaftaran dan keterbukaan publik. Publisitas melindungi kreditur dari klaim pihak ketiga, sementara asas spesialitas memastikan objek jaminan teridentifikasi jelas. Dalam praktik, jaminan kebendaan menjadi syarat utama perbankan untuk menurunkan risiko kredit macet serta menekan bunga pinjaman, sehingga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun sejumlah persoalan masih membayangi. Pertama, proses pendaftaran hak tanggungan maupun fidusia sering dinilai berbelit dan mahal sehingga masyarakat memilih perjanjian di bawah tangan yang melemahkan kepastian hukum. Kedua, terdapat tumpang tindih aturan antar-regulasi, misalnya antara hak tanggungan dengan administrasi pertanahan, maupun fidusia dengan praktik leasing. Ketiga, nilai objek jaminan, khususnya benda bergerak, sering mengalami depresiasi drastis yang menimbulkan sengketa saat eksekusi.
Melihat kondisi itu, penguatan regulasi jaminan kebendaan menjadi kebutuhan mendesak. Harmonisasi aturan antara BW dan undang-undang khusus diperlukan untuk mengurangi tafsir berbeda di lapangan. Digitalisasi sistem pendaftaran juga perlu diperluas, mencontoh keberhasilan fidusia elektronik, sehingga menekan biaya, memangkas waktu, dan memperkuat asas publisitas. Selain itu, penilaian berkala terhadap nilai objek jaminan akan melindungi kreditur sekaligus mencegah eksekusi yang tidak proporsional.
Dari sisi sosial, edukasi hukum kepada masyarakat perlu ditingkatkan. Banyak debitur belum memahami bahwa pendaftaran jaminan adalah perlindungan hukum, bukan sekadar formalitas. Penyuluhan yang konsisten akan memperkuat budaya hukum, meningkatkan kepatuhan, serta menjamin kepastian hukum dan keadilan.
Pada akhirnya, jaminan kebendaan tidak sekadar perangkat teknis dalam pelunasan utang, tetapi pilar kepercayaan dalam dunia bisnis. Dengan sistem jaminan yang kuat, kreditur lebih berani menyalurkan modal, debitur mendapat akses pembiayaan dengan biaya lebih rendah, dan perekonomian nasional terdorong tumbuh. Reformasi yang menekankan harmonisasi, efisiensi, dan perlindungan nilai aset akan menjadikan jaminan kebendaan lebih adaptif terhadap perkembangan ekonomi modern.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung
