Kegiatan untuk optimalisasi pemanfaatan potensi laut kita sudah dimulai sejak beberapa dasawarsa lalu melalui berbagai seminar.
TNI-AL sebagai salah satu pemangku kepentingan atau "stakeholder" penting giat melakukan berbagai upaya dan kajian tentang upaya memanfaatkan potensi maritim Indonesia.
Salah satu hasilnya adalah: pembentukan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Hasilnya pasti sudah ada, tapi jelas masih jauh dari yang kita harapkan. Buktinya: garam saja kita masih impor. Juga ikan, padahal ikan yang kita impor dari negara tetangga itu ditengarai berasal dari wilayah NKRI akibat "illegal fishing" yang tidak ditangani serius akibat kongkalikong atau perselingkuhan beraroma uang.
Untuk memimpin revolusi biru perlu pemimpin visioner yang bersemangat revolusioner, karena yang diubah adalah cara pandang yang sudah terlalu mapan yang diidap oleh para pemimpin penyelenggara negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), pengusaha, pendidik, pimpinan media massa, LSM, nelayan, dan rakyat pada umumnya.
Selain diancam, seseorang mau berubah jika melihat peluang keuntungan. Jika dikelola dengan betul, pemanfaatan potensi kelautan kita menjanjikan keuntungan besar bagi para pihak yang bergerak di bidang pangan, energi, perdagangan, pariwisata, industri perkapalan, lingkungan hidup, dan pertahanan keamanan serta kemakmuran bagi SDM yang bekerja di laut, nelayan, dan rakyat pada umumnya.
Seiring dengan perubahan pola pikir atau "mind set" melalui jalur pendidikan, yang tak kalah pentingnya adalah kampanye penyadaran (awareness campaign) serta sosialisasi melalui media massa (cetak dan elektronika), media sosial (facebook, twitter, youtube) dan kegiatan seni-budaya secara gencar dan terarah.
Kampanye penyadaran itu meliputi berbagai kegiatan yang bersifat informatif, edukatif, rekreatif, advokatif, mencerahkan, dan memberdayakan.
Revolusi Biru tentu perlu biaya besar untuk menyiapkan SDM melalui pendidikan, diklat, litbang dan investasi guna membangun infrastruktur untuk industri maritim, pangan, energi, pertahanan keamanan, dan pelestarian lingkungan hidup.
Dari anggaran pendidikan yang jumlahnya sudah lumayan besar itu, mulai sekarang pendidikan SDM bidang kelautan harus diberi alokasi yang lebih besar. Sekolah-sekolah kejuruan (SMK) kelautan, perguruan tinggi, dan pusat-pusat litbang kelautan perlu lebih banyak dibangun.
Masa depan, kedaulatan, kemakmuran, dan harga diri kita sebagai bangsa ditentukan oleh keunggulan kita di laut. "Jalesveva Jayamahe!" harus mewujud, bukan hanya semboyan!
Gerakan Cinta Bahari Ala Pramuka
Tak kalah pentingnya dengan pendidikan formal di sekolah dan pesantren untuk membentuk "sea-mindedness" adalah pendidikan non formal seperti di Gerakan Pramuka, secara khusus dalam hal ini melalui Saka Bahari.
Sebagai pegiat Gerakan Pramuka (terakhir sebagai Waka Kwarnas/Ka Satgas Pramuka Peduli), saya mendorong pengamalan tiga prinsip pendidikan di lingkungan kepanduan, yakni belajar sambil berbuat atau "learning by doing", "learning by sharing" dan "learning by serving" (belajar sambil melakukan, belajar sambil berbagi, dan belajar sambil melayani) yang dilakukan di alam terbuka sambil bergembira.
Salah satu contoh kegiatan pendidikan ini adalah "Ekspedisi Wallacea" dengan KRI Dalpele, kerja sama Kwarnas Gerakan Pramuka, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan TNI AL pada tahun 2004 yang membawa ratusan anggota Pramuka dari berbagai daerah ke wilayah perairan Indonesia Bagian Timur selama 21 hari (Kebetulan saya adalah penggagas dan penanggung jawab kegiatan ini).
Kapan TNI AL akan menggelar kegiatan bersama seperti ini? Lebih lagi diharapkan: Kapan ada pemimpin Indonesia yang berani memproklamasikan Negara Kesatuan Maritim Republik Indonesia (NKMRI)? (Bukan sekedar pencanangangn program pembangunan tol laut yang belum terwujud optimal). (Bersambung).
*Penulis, Wartawan sejak 1973, pernah menjadi Pemimpin Umum/Pemred Koran Republika, Pemimpin Umum (sekarang Dirut)/Pemred
Lembaga Kantor Berita ANTARA, Sekjen PWI, Sekjen Organisasi Kantor-kantor Berita Asia Pasifik (OANA), Dirut RRI dan Ketua Satgas
Pramuka Peduli/Waka Kwarnas Gerakan Pramuka, Ketua KELK (Komisi Evaluasi Lingkungan Kota) Provinsi DKI. Kini: Ketua Dewan
Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) bidang Relawan dan Peduli Bencana, Ketua Umum IRSI (Ikatan Relawan
Sosial Indonesia), pegiat kepramukaan dan aktivis sosbudling (sosial, budaya dan lingkungan) serta pemain Kethoprak (sandiwara
tradisional Jawa). Penulis sejumlah buku, termasuk Jurnalisme Profetik: Mengemban Tugas Kenabian dan kolumnis.