Pangkalpinang (ANTARA) - Kasus bunuh diri seorang mahasiswa di Bali kembali menyita perhatian publik dan dinilai mencerminkan krisis empati yang semakin mengkhawatirkan di masyarakat Indonesia.
Akademisi Psikologi, Dr. Syariful, menilai peristiwa tersebut bukan sekadar tragedi personal, melainkan gejala sosial yang menandakan menurunnya kepekaan terhadap penderitaan sesama.
“Ini bukan hanya soal satu individu, tetapi tentang masyarakat yang semakin kehilangan kemampuan untuk merasakan dan memahami kesedihan orang lain,” ujar Dr. Syariful dalam keterangan tertulis yang diterima di Pangkalpinang, Jumat (24/10).
Menurutnya, krisis empati terjadi ketika lingkungan sosial tidak lagi peka terhadap tekanan, kesepian, atau beban psikologis yang dialami individu. Dalam perspektif psikologi sosial, empati merupakan fondasi kesehatan mental komunitas karena menciptakan keterhubungan, dukungan emosional, dan solidaritas antaranggota masyarakat.
“Ketika empati melemah, mereka yang sedang berjuang dengan stres akademik, kecemasan, atau masalah keluarga menjadi semakin terisolasi. Banyak kasus bunuh diri bukan karena ingin mati, melainkan karena keputusasaan yang tidak disambut dengan empati,” tegasnya.
Ia juga menyoroti bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada prestasi kognitif dan belum memberi ruang cukup bagi pengembangan literasi emosional serta empatik. Karena itu, kampus dan lembaga pendidikan diharapkan dapat menjadi ruang aman (safe space) bagi mahasiswa untuk berbagi beban tanpa takut distigma.
“Kita tidak sedang kekurangan pengetahuan, tetapi kekurangan kepedulian,” ujarnya.
"Krisis empati harus dipandang sebagai darurat nasional di bidang kesehatan mental, karena hanya dengan empati, nyawa muda yang tengah mencari tempat untuk didengar dapat terselamatkan," sambungnya.
