Jakarta (ANTARA) - Sehat bukan sekadar absennya penyakit. Sehat itu, ketika tubuh, jiwa, dan keuangan hidup dalam keharmonisan yang berkelanjutan.
Setiap 12 November, kita memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKN), momentum untuk menengok kembali makna sehat di tengah kehidupan yang terus berubah.
Selama bertahun-tahun, sehat kerap dimaknai sebatas kondisi fisik: tubuh bugar, bebas penyakit, dan sanggup bekerja, tanpa hambatan.
Perkembangan sosial, ekonomi, dan lingkungan menunjukkan bahwa kesehatan sejatinya bersifat lebih menyeluruh. Ia mencakup keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan kondisi sosial-ekonomi yang menopangnya.
Pemerintah Indonesia pun telah lama menegaskan paradigma utuh mengenai kesehatan ini. Kesehatan tidak lagi dipandang semata sebagai urusan kuratif, melainkan ditopang oleh pendekatan promotif dan preventif.
Melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), masyarakat diajak mengubah perilaku sehari-hari: makan bergizi seimbang, rutin bergerak, serta memeriksakan kesehatan secara berkala.
Salah satu langkah konkret pemerintah adalah Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang kini hadir di berbagai daerah. Program ini membuka akses bagi masyarakat untuk memeriksa tekanan darah, kadar gula, kolesterol, dan berat badan, tanpa biaya.
Walau tampak sederhana, inisiatif seperti CKG berperan penting dalam membangun kesadaran dini, bahwa mencegah selalu lebih baik, lebih hemat, dan lebih manusiawi daripada mengobati.
Dalam konteks yang lebih luas, makna sehat tidak dapat dipisahkan dari kesejahteraan. Tubuh yang kuat takkan bertahan lama bila pikiran terus tertekan, atau bila kesulitan ekonomi menggerus daya hidup. Karena itu, berbicara tentang kesehatan, berarti berbicara tentang manusia secara utuh, jasmani, rohani, dan sosial.
HKN pun menjadi pengingat bahwa pembangunan kesehatan bukan hanya tentang memperbanyak rumah sakit, melainkan menumbuhkan kesadaran untuk menjaga kehidupan itu sendiri.
Tiga pilar
Kesehatan manusia, sejatinya berdiri di atas tiga pilar utama: raga yang terawat, jiwa yang tenang, dan keuangan yang stabil. Ketiganya saling menguatkan, sekaligus saling memengaruhi. Bila satu rapuh, keseimbangan hidup pun mudah terguncang.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak lama mendefinisikan sehat, bukan sekadar ketiadaan penyakit, melainkan keadaan sejahtera secara fisik, mental, dan sosial. Definisi ini menegaskan bahwa kesehatan adalah bagian dari kesejahteraan manusia yang menyeluruh.
Ekonom peraih Nobel, Amartya Sen, bahkan menilai kesejahteraan seseorang diukur dari kemampuannya untuk menjalani kehidupan yang bernilai capability to live well. Artinya, kesehatan bukan hanya alat untuk bekerja atau bertahan hidup, tetapi syarat dasar agar manusia dapat mengembangkan potensi terbaiknya.
Raga yang sehat menjadi fondasi awal. Ia menuntut disiplin sederhana: makan bergizi, tidur cukup, bergerak teratur, dan menjauh dari kebiasaan merusak.
Di tengah kehidupan urban yang serba cepat, menjaga tubuh sering kali menjadi tantangan tersendiri. Pola makan instan, jam kerja panjang, dan polusi kota diam-diam menurunkan daya tahan tubuh.
Makin berkembang pula budaya sehat instan. Kita ingin sehat, tapi sering mencari jalan pintas, dari suplemen yang dijanjikan selebritas, sampai tren diet yang viral di media sosial.
Padahal, sehat sejati tak bisa dicetak cepat; ia tumbuh dari disiplin dan kesadaran, bukan dari iklan dan testimoni.
Dan menjaga fisik adalah bentuk penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri.
Sementara, tubuh yang kuat tak akan berarti, bila jiwa ringkih. Tekanan sosial, informasi berlebih, dan kesenjangan emosional kerap menimbulkan stres berkepanjangan.
Di era serba canggih, kita justru makin sulit tidur nyenyak, makin jarang bergerak, makin sering cemas. Teknologi memang memudahkan segalanya, kecuali menenangkan jiwa.
Bahkan, pelajaran mengenai meditasi pun kini dijual dalam bentuk aplikasi berlangganan. Tenang, umumnya disajikan dengan biaya bulanan.
Di sinilah pentingnya membangun ruang bagi kesehatan mental, yakni waktu jeda, lingkungan yang suportif, dan empati antarsesama.
Pilar ketiga, keuangan, juga tak bisa diabaikan. Ketidakpastian ekonomi memengaruhi psikis dan fisik. Literasi keuangan, pengendalian gaya hidup, dan kebiasaan menabung menjadi bagian dari strategi kesehatan yang jarang dibicarakan. Lagi pula, sulit berpikir positif kalau saldo rekening negatif.
Karena kesejahteraan sejati lahir ketika tubuh berdaya, pikiran tenang, dan dompet tidak tercekik.
Menjaga ketiga pilar ini berarti merawat kehidupan agar tetap seimbang, kondisi yang oleh para ahli disebut well-being, dan oleh masyarakat kita dikenal sebagai sehat seutuhnya.
Sehat yang utuh
Mewujudkan hidup yang sehat seutuhnya tidak selalu menuntut langkah besar. Keseimbangan antara raga, jiwa, dan dompet justru dibangun dari kebiasaan kecil yang konsisten.
Pemerintah telah menyiapkan berbagai program promotif dan edukatif, tetapi perubahan sejati berawal dari kesadaran individu.
Langkah pertama adalah menata pola hidup realistis. Tidak perlu muluk-muluk mengejar tren kebugaran atau diet ekstrem. Cukup dengan tidur yang cukup, makan bergizi seimbang, dan rutin bergerak. Ini adalah hal-hal sederhana yang kerap diabaikan.
Di tengah maraknya kampanye hidup sehat, kadang kita lupa, sebagian besar masih berorientasi pada pasar.
Akhirnya, sehat menjadi gaya hidup yang dijual, bukan nilai yang dijalani. Akibatnya, yang punya daya beli tampak lebih sehat, sementara yang lain tertinggal di balik slogan.
Padahal, berkeringat di kebun belakang rumah seringkali lebih menyehatkan daripada berfoto di gym dengan tagar #HealthyLifestyle.
Gaya hidup aktif tidak harus mahal. Berjalan kaki, bersepeda, atau berkebun pun bisa menjadi bentuk olahraga yang menyegarkan raga, sekaligus menenangkan pikiran.
Berikutnya, menjaga kesehatan mental sebagai prioritas, bukan pelengkap. Dalam kehidupan yang sarat tekanan, meluangkan waktu untuk istirahat emosional sama pentingnya dengan mengisi ulang tenaga fisik.
Menyapa diri sendiri, membangun relasi positif, dan membatasi paparan informasi yang melelahkan dapat menjadi bentuk perawatan jiwa.
Kementerian Kesehatan, kini juga memperluas layanan kesehatan jiwa berbasis komunitas, sebagai langkah penting memperkuat daya tahan mental masyarakat.
Dimensi terakhir adalah kesehatan finansial. Mengelola pengeluaran dengan bijak, menabung untuk kebutuhan kesehatan, dan menghindari utang konsumtif merupakan investasi jangka panjang.
Banyak studi menunjukkan bahwa stres finansial berdampak langsung pada penurunan kualitas tidur dan daya tahan tubuh. Maka, literasi keuangan, sesungguhnya juga bagian dari literasi hidup sehat.
Di atas semuanya, kunci utama adalah kesadaran. Kesadaran untuk menjaga tubuh, bukan karena takut sakit, melainkan karena mensyukuri kehidupan. Kesadaran untuk menenangkan pikiran bukan karena lari dari dunia, melainkan agar mampu menjalaninya dengan lebih jernih. Dan kesadaran untuk mengatur keuangan, bukan karena takut kekurangan, melainkan agar hidup tetap berdaya.
Kesehatan yang utuh, bukan sekadar tujuan, melainkan perjalanan panjang menuju kesejahteraan manusia seutuhnya, perjalanan yang layak dirayakan setiap hari, bukan sesekali.
Setiap HKN, poster dan spanduk bertebaran, namun begitu hari berlalu, semangat itu mereda. Seolah, kesehatan hanyalah agenda tahunan, bukan kesadaran harian.
