Jakarta (Antara Babel) - Pada rapat kabinet terbatas mengenai masalah pertembakauan, di Kantor Presiden, Rabu (14/3), Presiden Joko Widodo menyampaikan pengantar antara lain berisi keprihatinannya soal pola hidup keluarga miskin.
Presiden mengatakan pola hidup keluarga miskin yang bukannya memprioritaskan kebutuhan pokok dan makanan bergizi tetapi lmalahan lebih mendahulukan untuk membeli rokok.
Kepala Negara menyampaikan bahwa berdasarkan informasi yang dia terima, rokok menempati peringkat dua konsumsi rumah tangga miskin dan rumah tangga miskin lebih memilih belanja rokok daripada belanja makanan bergizi.
Dana yang dikeluarkan untuk konsumsi produk tembakau 3,2 kali lebih besar dari pengeluaran untuk telur dan susu, 4,2 kali dari pengeluaran untuk beli daging, 4,4 kali dari biaya pendidikan, dan 3,3 kali lebih besar dari biaya kesehatan.
Tentu saja hal ini akan berdampak pada kualitas SDM di masa yang akan datang, kata Presiden Jokowi.
Konsumsi produk tembakau dengan jumlah yang tinggi juga mengakibatkan tingginya biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh negara dan juga yang ditanggung oleh masyarakat.
Berdasarkan data BPJS Kesehatan tahun 2015, lebih dari 50 persen biaya pengobatan dihabiskan untuk membiayai penderita penyakit tidak menular yang salah satu faktor risikonya disebabkan oleh konsumsi rokok dan paparan asap rokok.
Itu merupakan aspek pertama dari masalah pertembakauan terkait dengan upaya pemerintah dalam kepentingan melindungi rakyat dari gangguan kesehatan dan tentu saja juga melindungi kepentingan masa depan generasi penerus, masa depan anak-anak.
Aspek kedua adalah kelangsungan hidup para petani tembakau. Pekerja pertembakauan yang hidupnya sangat bergantung pada industri hasil tembakau. Itu juga menjadi hal penting karena pemerintah juga berkepentingan dalam meningkakan taraf hidup dan kesejahteraan petani.
Persoalan rokok ini memang menyangkut pada dua aspek utama tersebut. Di satu sisi, pemerintah berkomitmen meningkatkan taraf hidup dan kesehatan seluruh rakyat agar bangsa ini memiliki sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif. Di sisi lain banyak pula masyarakat yang bergantung hidupnya pada tembakau sebagai bahan utama rokok.
Dua hal itu menjadi persoalan klasik yang selalu muncul.
Sekitar 11 tahun lalu, misalnya, Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan Badan Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan tahun 2006 menunjukkan data bahwa pengeluaran untuk rokok dari rumah tangga miskin sebesar 11,9 persen dan pengeluaran rokok dari rumah tangga kaya sebesar 6,8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran rokok keluarga miskin lebih besar dari keluarga kaya.
Badan Pusat Statistik membuat standar dari 14 kriteria miskin yakni, luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari delapan meter persegi, jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah-bambu atau kayu murahan, jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah atau tembok tanpa diplester, tidak memiliki fasilitas buang air besar atau bersama-sama dengan rumah tangga lain.
Lalu sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik, sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/ sungai/air hujan, bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar atau arang/minyak tanah, hanya mengonsumsi daging-susu atau ayam dalam satu kali seminggu, hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun, hanya sanggup makan sebanyak satu atau dua kali dalam sehari, tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas atau poliklinik.
Kemudian sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 500 meter persegi, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp600.000 per bulan, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/ tamat SD, tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual dengan minimal Rp500 ribu seperti sepeda motor kredit atau nonkredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Jika minimal sembilan dari 14 variabel kriteria itu terpenuhi maka suatu rumah tangga masuk dalam kategori miskin.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada September 2016, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,76 juta orang atau 10,70 persen dari jumlah penduduk. Jumlah tersebut berkurang 0,75 juta orang dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 28,51 juta orang atau 11,13 persen dari jumlah penduduk.
Konsumsi rokok
Hal yang menambah keprihatinan adalah soal tingkat konsumsi rokok yang meningkat per tahun.
Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Prof Hasbullah Thabrany dalam diskusi dengan redaksi Antara beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa berdasarkan data, konsumsi rokoh meningkat sekitar 20 persen per tahun.
Sebanyak 70 persen perokok aktif di Indonesia adalah pada usia produktif antara usia 16 hingga 26 tahun. Tentu saja hal tersebut berdampak pada kesehatan manusia pada usia produktif.
Selain itu, mayoritas konsumen rokok selain kategori remaja adalah pada golongan ekonomi menengah ke bawah alias miskin. Sementara pada masyarakat ekonomi menengah ke atas sudah mengetahui dampak buruk dari merokok, selain buruk pada kesehatan, secara otomatis juga bisa menambah beban biaya kesehatan, sehingga orang kaya sudah memahami masalah ini terkait gaya hidup sehat.
Guru Besar Kesehatan Masyarakat UI itu juga menyebutkan bahwa perokok di Indonesia sudah mencapai 34-35 persen dari total penduduk. Konsumsi rokok pada remaja dan rakyat miskin akan terasa langsung dampaknya setelah 20 tahun kecanduan rokok.
Untuk itu, pemerintah perlu mengendalikan konsumsi rokok. Salah satu caranya adalah menaikkan biaya cukai rokok, dengan begitu petani dan produsen rokok juga tidak akan dirugikan, karena biaya jualnya tetap dapat untung tinggi.
Beberapa waktu lalu santer terdengar informasi bahwa harga rokok per bungkus akan naik hingga Rp50 ribu, antara lain juga berdasarkan survei yang dilakukan oleh Hasbullah Thabrany untuk mengendalikan konsumsi rokok.
Menaikkan harga cukai rokok bisa untuk menambah anggaran jaminan kesehatan nasional. Kenaikan cukai rokok bisa digunakan untuk menambah anggaran penerima bantuan iuran (PBI) pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Penerimaan cukai rokok pada 2014 mencapai Rp127 triliun sedangkan anggaran untuk PBI BPJS Kesehatan hanya Rp23 triliun. Padahal, konsumsi rokok terbukti berkontribusi terhadap berbagai penyakit berat seperti serangan jantung, kanker, paru-paru dan lain-lain yang biaya pengobatannya sangat mahal. Seluruh penyakit itu ikut ditanggung oleh jaminan kesehatan nasional.
Hasbullah membandingkan kondisi di Inggris, 100 persen penerimaan cukai rokok dialokasikan untuk program kesehatan. Itu karena mereka sadar bahwa rokok berkontribusi terhadap penyakit-penyakit berat.
Sebenarnya bisa saja diusulkan jaminan kesehatan untuk para perokok dibatasi namun pelaksanaan di lapangan tidak akan semudah itu, misalnya untuk memverifikasi apakah yang bersangkutan betul-betul perokok atau bukan. Oleh karena itu, lebih baik cukai rokok dinaikkan dan penerimaannya dialokasikan untuk program kesehatan.
Upaya menaikkan cukai rokok bisa dilakukan secara bertahap hingga harga rokok mencapai dua sampai tiga kali lipat dari harga saat ini.
Kenaikan cukai rokok juga diharapkan dapat membatasi konsumsi rokok, terutama terhadap anak-anak dan remaja. Pasalnya, tren perokok pemula saat ini sudah mulai menyentuh usia anak-anak dan remaja. Bila harganya dinaikkan dan tidak terjangkau oleh anak-anak sekolah maka mereka tidak akan merokok atau mencoba-coba rokok.
Kasus di sejumlah negara yang menaikkan cukai rokok, seperti Prancis dan AS dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia. Di Prancis, kenaikan harga rokok berkontribusi menekan konsumsi rokok dan kanker paru-paru sedangkan di AS, kenaikan harga rokok berkontribusi menurunkan perokok usia muda.
Berbagai upaya itu tampaknya perlu dilakukan agar keprihatinan Kepala Negara dapat teratasi secara baik, terutama bagi keluarga miskin perokok, yang tentu saja amat berisiko bagi kesehatan dan pasti menambah beban kehidupan mereka.
Pengendalian rokok perlu dilakukan secara terus menerus dengan langkah-langkah pasti agar peringkat Indonesia sebagai salah satu negara perokok terbanyak, suatu saat juga bisa berganti menjadi negara dengan penduduk sehat terbanyak.
Berita Terkait
Wamen Desa PDT tinjau program makan bergizi gratis di Bangka Belitung
11 Desember 2024 14:43
PT Timah - Bangka Tengah laksanakan makan bergizi gratis
10 Desember 2024 10:23
Cek fakta, Jokowi dan Kapolri kunjungi Miftah Maulana usai mengundurkan diri
10 Desember 2024 08:48
Cek fakta, Ustadz Adi Hidayat resmi gantikan Gus Miftah sebagai Utusah Khusus Presiden
9 Desember 2024 18:35
Unjuk rasa besar digelar di Seoul tuntut Presiden Yoon mundur
7 Desember 2024 17:43
Gibran angkat Tina Talisa sebagai Staf Khusus Wapres
6 Desember 2024 21:11
Presiden Prabowo sebut keputusan Miftah mengundurkan diri sikap kesatria
6 Desember 2024 20:06