Jika mendengar atau membaca nama Insinyur Soekarno, maka yang terbayang pada setiap orang adalah pemuda yang pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan gagah berani menyatakan kemerdekaan Indonesia di Jakarta bersama pemuda lainnya yakni Bung Hatta.
Soekarno yang lahir pada tanggal 6 Juni tahun 1901 bersama Bung Hatta kemudian menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama telah begitu banyak membuat sejarah emas bagi bangsa ini mulai dari bidang sosial, budaya hingga politik.
Bangsa Indonesia pasti akan mencatat bahwa Bung Karno selama memimpin bangsa ini telah menghasilkan begitu banyak.
Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955 di Bandung, misalnya yang menghimpun bertemunya puluhan negara dari kedua benua itu dan hingga detik ini KAA terus diperingati dan dikenang sebagai kesuksesan Indonesia menyelenggarakan pertemuan antarbangsa berskala internasional.
Sementara itu, di dalam negeri, keberhasilan Jakarta antara lain ditandai dengan bergabungnya Irian Barat ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1960-an yang antara lain ditandai dengan dilakukannya Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera.
Bung Karno semasa pemerintahannya pernah mendapat gelar Pemimpin Besar Revolusi atau Pembesrev dan begitu banyak sebutan yang menunjukkan betapa sangat cintanya rakyat Indonesia terhadap dirinya.
Semasa pemerintahannya, Bung Karno terkenal sebagai salah satu pemimpin yang anti Amerika Serikat karena antara lain pernah mengeluarkan ucapan yang sangat keras "go to hell with your aids" sehingga menunjukkan bahwa dirinya tidak mau atau ogah menerima bantuan asing.
Sebaliknya Bung Karno mempunyai hubungan yang amat erat dengan Republik Rakyat Tiongkok atau RRT dan juga Uni Sovyet sehingga kemudian Jakarta mendapat bantuan persenjataan yang amat banyak terutama dari Kremlin, sehingga pada kurun waktu 1960-an Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI ditakuti atau disegani terutama di Asia.
Namun di dalam negeri, selama masa pemerintahannya, berulang kali terjadi pemberontakan terutama yang dilakukan oleh partai komunis Indonesia (PKI) misalnya pemberontakan Madiun, kemudian Permesta yang puncaknya adalah G-30 S/PKI pada tahun 1965 yang menjadi salah satu penyebab utama jatuhnya pemerintahan Sukarno.
Akibat dari lahirnya pemberontakan G 30 S/PKI, maka kemudian bangsa ini mulai akrab dengan nama Soeharto yang saat itu menjadi Panglima Kostrad atau Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat yang merupakan salah satu satuan elit di kalangan Angkatan Darat.
Sama dengan Sukarno, maka Soeharto pun lahir pada bulan Juni yaitu tepatnya 8 Juni tahun 1921.
Tampilnya Soeharto ke dalam kancah politik di Tanah Air tidak bisa dipisahkan dengan gugurnya beberapa jenderal terbaik Angkatan Darat yang dibunuh oleh partai komunis Indonesia mulai dari Jenderal Achmad Yani, Jenderal Sutoyo hingga Jenderal S Parman.
Secara perlahan tapi pasti, Soeharto mulai memperbaiki situasi politik terutama dengan membubarkan PKI dan organisasi- organisasi sayap kanannya yang lebih sering dahulu disebut sebagai onderbouw-nya.
Kondisi ekonomi yang morat-marit ditata kembali antara lain dengan mengajak berbagai pakar ekonomi untuk masuk ke dalam kabinet mulai dari Profesor Sumitro Hadikusumo, Profesor Ali Wardhana, hingga Profesor Emil Salim dan Profesor Subroto.
Karena terus menimba ilmu ekonomi dari para pembantunya itu, maka kemudian Soeharto dianggap sukses membangun ekonomi nasional sehingga mendapat beberapa penghargaan internasional misalnya dari Organisasi pangan dan Pertanian PBB yaitu FAO.
Namun kemudian Soeharto jatuh seperti halnya Sukarno pada tanggal 21 Mei tahun 1998 karena dianggap terlalu lama memerintah dan membatasi hak-hak politik rakyatnya. Ia digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.
Ternyata Habibie tak lama menjadi presiden karena pada Oktober tahun 1999 dijatuhkan dalam sidang MPR. Sejak itu kemudian Indonesia memiliki beberapa presiden mulai dari Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono hingga sekarang ini Joko Widodo yang masa jabatannya akan berakhir pada Oktober 2019.
Pelajaran berharga
Jatuhnya Sukarno dan Soeharto dari kursi kepresidenannya menimbulkan berbagai pertanyaan yakni kenapa mereka bisa terjungkal dari posisi empuknya padahal disebut-sebut kedua orang itu disukai ataupun dicintai rakyatnya?
Persamaan Sukarno dan Soeharto adalah keduanya sama-sama memerintah puluhan tahun sehingga berhasil membangun jaringan kekuasaan mulai dari pusat hingga daerah serta mencitrakan diri sebagai pemimpin negara yang "tak ada duanya" alias tak tersaingi oleh tokoh nasional yang mana pun juga.
Bung Karno pernah diangkat sebagai presiden seumur hidup sedangkan Soeharto yang merupakan seorang jenderal dianggap benar-benar menguasai ABRI 100 persen sehingga tidak ada yang bisa melakukan kudeta atau menggantikan dirinya.
Jika masa Bung Karno, omongan-omongan politik menjadi "sarapan" sehari-hari maka pada era orde baru membangun ekonomi menjadi "kekuatan ampuh" pemerintahan saat itu sehinga kemudian dianggap kehidupan politik tidak menjadi kebutuhan yang juga didambakan atau ingin dmiliki masyarakat.
Akibatnya, maka terus muncul desakan agar rakyat diberi hak untuk memanfaatkan hak-hak politiknya terutama diberi hak untuk mendirikan partai politik- partai politiknya. Akibatnya sekarang saja telah lahir belasan partai politik yang bisa duduk dengan "gagahnya di Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan atau DPRD. Belum puas dengan situasi itu, maka sudah muncul lagi beberapa partai yang mengaku atau mengklaim siap untuk mengikuti pemilihan umum pada tahun 2019.
Akibatnya, kini muncul lagi wacana apakah jumlah partai akan bebas bertambah berapa pun juga ataukah sebaliknya harus tetap diwujudkan penyederhanaan jumlah organisasi politik di Senayan agar partai yang hadir di DPR benar-benar mencerminkan munculnya aspirasi politik rakyat dan bukannya sekedar pelampiasan niat sejumlah politisi untuk cuma "mejeng alias tampil" di panggung politik.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi masyarakat saat ini dan pada masa mendatang adalah merajalelanya tindakan korupsi. Selama beberapa pekan terakhir ini saja, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah sukses membongkar ulah korupsi mulai dari kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi alias Kemendes hingga Badan Keamanan Laut atau Bakamla serta pengadan pesawat oleh TNI Angkatan Udara.
Yang terjadi di Kemendes adalah upaya menyogok auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar Kemendes mendapat status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Dengan menerima status WTP maka para pejabat Kemendes ingin disebut sebagai kementerian yang 100 persen bebas dari korupsi atau penyalahgunaan anggaran.
Betulkan harapan seperti itu?
Tentu adalah hal wajar jika semua kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian ingin dirinya disebut "bebas" dari korupsi. Namun bisa saja yang terjadi adalah jika status WTP diberikan maka kemudian muncul korupsi berskala besar.
Belum kasus Bakamla dan pembelian pesawat mewah bagi AU terbongkar maka rakyat masih pusing memikirkan hasil akhir pemeriksaan di pengadilan tipikor kasus korupsi sekitar Rp2,3 triliun pada proyek pembuatan KTP-Elektronik yang nilai totalnya hampir Rp5,9 triliun.
Dengan mengacu pengalaman buruk pada masa-masa pemerintahan terdahulu, maka sangatlah tidak berlebihan jika pemerintahan sekarang yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla perlu membuktikan bahwa tekad mereka untuk memerintah adalah demi menyejahterakan masyarakat dan sama sekali bukan untuk diri masing-masing atau kelompoknya.
Rakyat cuma ingin menyaksikan bahwa jajaran pemerintahan mulai dari yang paling atas hingga terbawah benar-benar mengabdi kepada masyarakat dan bukan sebaliknya malahan orang kecil yang wajib melayani pejabatnya.