Jakarta (Antara Babel) - Setelah hampir 20 tahun sejak reformasi 1998, Pancasila kembali menjadi perbincangan hangat publik melalui sejumlah kebijakan Presiden Joko Widodo.
Presiden Joko Widodo menetapkan 1 Juni sebagai peringatan hari lahir Pancasila dan menjadikannya hari libur nasional. Dalam peringatan hari lahir Pancasila juga diikuti dengan upacara yang dilaksanakan oleh aparat sipil negara di berbagai kementerian dan lembaga.
Tak hanya itu, Presiden juga membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) melalui Peraturan Presiden No 54/2017. Sebuah lembaga non struktural yang langsung bertanggung jawab dan berada di bawah Presiden.
"Lembaga baru ini adalah kepanjangan tangan saya yang bersama seluruh komponen bangsa memperkuat pengamalan Pancasila yang menjadi bagian integral dari pembangunan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan," kata Presiden Jokowi dalam sambutan upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila Jakarta, Kamis (1/6).
Meski hal itu mengingatkan pada zaman keberadaan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) era Orde Baru, namun UKP PIP tersebut berbeda.
Berdasarkan Perpres 54/2017 UKP PIP mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila dan melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan.
UKP PIP mempunyai fungsi perumusan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila, penyusunan garis-garis besar haluan ideologi Pancasila dan 'road map' pembinaan ideologi Pancasila. Koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila, pelaksanaan advokasi pembinaan ideologi Pancasila.
Pemantauan, evaluasi, dan pengusulan langkah dan strategi untuk memperlancar pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila dan pelaksanaan kerja sama dan hubungan antar-lembaga dalam pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila.
Organisasi UKP dipimpin oleh seorang kepala pelaksana yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kepala UKP PIP akan dibantu oleh tiga deputi, Deputi Bidang Pengkajian dan Materi; Deputi Bidang Advokasi, serta Deputi Bidang Pengendalian dan Evaluasi. Deputi tersebut diangkat oleh Presiden atas usulan kepala UKP PIP.
UKP PIP juga memiliki tiga orang Pengarah yang terdiri dari unsur tokoh kenegaraan, tokoh agama dan masyarakat serta purnawirawan TNI/Polri. Pengarah mempunyai tugas memberikan arahan kepada Pelaksana terkait arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila.
UKP PIP tentu berbeda dengan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) pada masa Orde baru. Struktur UKP PIP tidak seperti BP7 yang begitu besar hingga sampai kabupaten.
Cendekiawan Yudi Latif mengatakan, menanamkan pemahaman Pancasila sebagai dasar negara merupakan proyek tanpa akhir. Setiap negara di dunia memiliki upaya untuk terus menerus menanamkan rasa nasionalisme dan kebangsaan membentuk kohesi sosial agar tidak tersapu oleh zaman.
Apalagi Indonesia, yang merupakan negara paling majemuk dalam berbagai ukuran. Indonesia lebih memerlukan dari negara manapun dalam mencari nilai-nilai bersama kehidupan masyarakat.
"Bangsa yang paling majemuk itu paling sulit sekali mencari titik temu kalau tidak sejak kecil dibudayakan dengan satu pemberian yang namanya kecerdasan kewargaan," katanya.
Karena itu, merupakan hal penting bagi negara untuk terus memupuk dan menanamkan Pancasila dalam masyarakat Indonesia. Meski demikian, pengalaman pahit Orde Baru yang menanamkan Pancasila dengan cara represif dan paksaan harus dihindari.
Tiga Lapis
Untuk dapat menanamkan nilai-nilai Pancasila secara mumpuni ke dalam masyarakat, menurut Yudi Latif terdapat tiga lapis penting yang dibutuhkan. Pertama membangun mitos, keyakinan. Menjadikan masyarakat menyakini nilai-nilai tersebut.
"Dia merembes masuk ke dalam pori-pori kita, ke sanubari yang dirasakan bukan sebagai ancaman yang menakutkan, tetapi justru menyenangkan," katanya.
Salah satu mitos terbaik adalah yang dilakukan melalui kesenian. Jalur kesenian juga merupakan medium yang dipakai para leluhur dalam mengembangkan agama di Nusantara, termasuk Islam.
Pada zaman modern ini, ia mencontohkan Amerika Serikat. "Amerika merupakan negara yang secara sadar menanamkan nasionalismenya lewat kesenian terutama film, meskipun faktanya perang Vietnam, Amerika keok, tapi di seluruh film-film Amerika tentang Vietnam, selalu memperlihatkan pemenangnya adalah mereka, dan itu membuat mereka merasa sebagi bangsa terpilih, itu kekuatan dalam estetik," katanya.
Lapis kedua adalah logos, ilmu pengetahuan. Logika dan nalar yang mendasari Pancasila. Pada lapis ini, upaya untuk menuliskan berbagai keilmuan terkait dengan Pancasila.
"Pancasila bisa diucapkan dari keragaman kearifan lokal, jadi misalnya kearifan lokal yang mendukung pancasila ditulis buku-bukunya, Pancasila ditilik dari Islam, Pancasila ditilik dari Kristen, Pancasila ditilik dari Budha, jadikan makin kaya. Pancasila ditilik dari Ilmu Kimia bahkan Pancasila ditilik dari ilmu Boilogi inikan semakin kaya, jadi itu kan masuk ke Logos. Jadi Pancasila bukan hanya bisa didekati oleh ilmu politik dan hukum gitu, tapi semua disiplin Ilmu bisa mengayakan nilai-nilai itu," katanya.
Lapis ketiga menurut dia etos, perbuatan. Dalam lapis ini, pengalaman yang dirasakan menjadi sangat penting. "Karena mengalami lebih `powerful' dari sekadar hafalan," katanya.
Perayaan Festival 17 Agustus misalnya, menjadi cara memupuk nasionalisme dan kecintaan kepada bangsa Indonesia. Melalui perayaan dan peringatan tersebut, masyarakat kembali diingatkan, di sisi lain, mereka juga mengalami sendiri solidaritas antar warga karena saling bertemu dan menjadikan sebuah acara bersama.
"Masyarakat ini mengenang, jangan dipikir lomba panjat pinang, lomba makan kerupuk, seolah-olah tidak ada dampak, itu membentuk ingatan kita pada masa kecil, masa anak-anak. Ingatan itu membentuk dasar solidaritas, antarwarga, waktu bertemunya 17-an, semua kelas sosial bertemu dalam susana yang egaliter... itu yang melahirkan solidaritas yang sangat egaliter," katanya.
Etos, menurut Yudi, dapat diasah sejak muda. Melalui berbagai rekayasa yang dilakukan sehingga merasakan sebuah pengalaman yang sesungguhnya. Yudi mencontohkan, dengan membuat program kerja bersama dengan orang yang berbeda baik ras maupun agama yang dilakukan di tempat pendidikan.
"Jadi kita harus kasih 'asignment-asignment' di mana orang kerja bersama, setelah itu terjunkan mereka kepada program-program yang riil yang mereka susun sendiri sesuai dengan sila-sila itu. Jadi bekerja berdasarkan pengalaman konkret itu harus menjadi bahan salah satu pendidikan di sekolah," katanya.