Jakarta (Antara Babel)-Akhirnya Presiden Joko Widodo membentuk lembaga baru yang bertugas membumikan nilai-nilai yang terformulasikan dalam ideologi dasar negara, Pancasila dengan mengangkat akademisi Yudi Latif sebagai Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila.
Harus diakui bahwa inilah salah satu langkah strategis Jokowi dalam menangkis problem yang paling meresahkannya dalam upaya memfokuskan diri dalam merealisasikan pembangunan, terutama sektor infrasruktur, pendidikan dan kesehatan yang menelan begitu besar dana publik.
Pada tataran atau konteks kebangsaan, eksistensi Pancasila sebagai jangkar berpolitik memang dirasakan maknanya. Maraknya sektarianisme dan intoleransi menunjukkan bukti perlunya menghadirkan kembali Pancasila sebagai benteng ideologi negara.
Namun, yang lebih riil, pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila itu adalah langkah ampuh untuk meredam dan menangkis tuduhan yang dilontarkan lawan-lawan politik Jokowi bahwa Istana adalah sarang komunis.
Tuduhan itu sesungguhnya naif bagi mereka yang terpelajar dan tercerahkan mengingat komunisme adalah ideologi yang bangkrut di mana-mana. Hanya Korea Utara yang eksis dengan ideologi komunisnya dan itu pun mata publik melihatnya sebagai negara yang jauh dari ideal sebuah tatanan politik yang memartabatkan kemanusiaan.
China memang masih berpatokan pada komunisme namun bukan ideologi komunis yang dirumuskan para ideolog macam Karl Marx, Lenin bahkan Mao Zedong sendiri. Komunisme di China sudah dirasuki oleh kapitalisme yang menjadikan negara itu punya daya saing luar biasa dalam menarik investor dari kapitalis-kapitalis dunia.
Meski naif dan irasional, tuduhan yang banyak dilontarkan lewat media sosial tentang Istana sebagai sarang komunis perlu dibantah dan ditangkis dengan tindakan yang telak. Memilih Yudi Latif, yang juga dikenal sebagai dosen di Universitas Paramadina, tempat berkumpulnya para intelektual Muslim tampaknya pilihan yang pas.
Kini lawan-lawan Jokowi tak punya amunisi lagi dalam memberikan stigma negatif itu. Bisa dimaklumi bahwa Pancasila adalah antitesa komunisme. Sedikitnya, dengan melakukan simplifikasi dengan tujuan melayani opini publik yang tak selalu sesuai kenyataan, sila pertama Pancasila adalah paradoks bagi ruh komunisme yang oleh publik disama dan sebangunkan dengan ateisme.
Tentu pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila tak boleh berhenti sebagai jawaban atas tuduhan dari lawan politik Jokowi yang mulai melakukan stimatisasi menjelang Pilpres 2019.
Pembentukan unit kerja itu perlu mewujudkan sasaran dasarnya yang lebih makro, yakni membumikan Pancasila untuk merekatkan kembali gesekan sosial ideologis di kalangan masyarakat yang bisa mengancam nilai-nilai kebangsaan yang mempersatukan berbagai elemen sosial di Nusantara.
Munculnya kampanye teokrasi yang akan menggusur kaum minoritas juga perlu diberi antidote Pancasila, yang nilai-nilainya perlu diejahwantakan oleh aparat negara dan masyarakat.
Setelah dilantik, Yudi Latif sudah wanti-wanti bahwa pembumian nilai-nilai Pancasila tidak akan dilakukan seperti yang terjadi pada era Orde Baru. Artinya tidak ada indoktrinasi model penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Alternatif yang dipilih Yudi Latif adalah mendayagunakan komunitas-komunitas dalam membumikan nilai-nilai Pancasila dan bukannya berkothbah di ruang-ruang lembaga pemerintahan seperti yang dijalankan penguasa Orde Baru. Cara-cara Orde Baru dalam mengklaim kebenaran atas tafsir Pancasila akan dihindari oleh lembaga yang baru dibentuk Jokowi itu.
Hindari menyakralkan Pancasila
Yudi Latif juga menekankan pentingnya mengajarkan nilai-nilai Pancasila di sekolah dengan menarik, dengan narasi yang menggugah, bukannya dengan memaksa siswa menghapal butir-butir kalimat yang tak berdampak pada segi afektif siswa.
Mungkin yang paling penting, cara-cara Orde Baru dalam menyakralkan Pancasila untuk mematikan lawan politik juga perlu dihindari. Tentu cara-cara itu sudah tak ampuh lagi karena pemerintahan pasca-Reformasi tak didukung oleh militerisme yang menjadi penopang pemerintahan Orde Baru.
Mengikuti penalaran Syafii Maarif, intelektual yang juga diangkat sebagai anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, sebenarnya inti persoalan bangsa yang menjadikan Pancasila belum teralisasi dalam proses berbangsa ada di sila kelima Pancasila.
Syafii Mengatakan, belum terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itulah pangkal persoalan bangsa selama ini. Meningkatnya kesenjangan sosial ekonomi dan kedaerahan menjadikan nilai-nilai Pancasila begitu berat untuk diimplementasikan.
Dengan demikian, persoalan politik dan persoalan ekonomi menjadi sengkarut problem kenegaraan yang harus diselesaikan oleh pemerintah.
Artinya, kebijakan-kebijakan ekonomi yang prokerakyatan yang tak menjadikan pertumbuhan mandek itulah yang selalu menjadi tantangan pemerintah dari waktu ke waktu.
Ketika problem kesenjangan itu menelikung pemerintah, lawan-lawan politik alias oposan punya peluang untuk melontarkan serangan mereka. Ironisnya, serangan itu tak selalu dibungkus dalam kerangka kritik terhadap kegagalan kebijakan ekonomi-politik pemerintah tapi diformulasikan sepenuhnya secara politis ideologis, yakni dengan melontarkan tuduhan tentang bercokolnya komunisme di jantung pemerintahan.
Tampaknya, berpolitik bukan semata-mata urusan penalaran dalam melayangkan kritik terhadap pemerintah tapi lebih pada persoalan penemuan kiat paling efektif dalam merebut kekuasaan yang digenggang kubu lain.
Itu sebabnya melontarkan serangan dalam bentuk tuduhan bercokolnya komunisme di lingkaran Istana dianggap pengkritik lebih efektif dalam melemahkan legitimasi pemerintah ketimbang memperlihatkan kegagalan dalam melaksanakan kebijakan yang dapat melahirkan pemerataan kesejahteraan rakyat.