Jakarta (ANTARA
News) - Angka kematian ibu yang meninggal dunia saat melahirkan anak di
Tanah Air masih tinggi, yakni sekira 359 ibu meninggal dari 100.000
setiap proses melahirkan.
Jumlah itu masih jauh dari target pemerintah dalam percepatan
pencapaian target Millenium Development Goal (MDG), yakni menurunkan
angka kematian ibu menjadi 102 per 100.000 proses melahirkan hidup pada
2015.
Menteri Kesehatan (Menkes) Ny. Nafsiah Mboi mengemukakan, terdapat
dua penyebab utama ibu meninggal saat melahirkan ,yakni infeksi dan
pendarahan.
Untuk kasus infeksi, dikemukakannya, sudah dapat
ditekan karena sebagian besar kelahiran dilakukan di pusat layanan
kesehatan, seperti pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), rumah sakit,
dan klinik kesehatan.
Adapun kasus pendarahan saat melahirkan, dijelaskannya, berkaitan
dengan empat hal utama, yakni melahirkan ketika usia muda, melahirkan
ketika usia tua, melahirkan terlalu sering, dan jarak waktu melahirkan
bayinya terlalu dekat atau rapat.
"Empat hal tersebut perlu diperhatikan. Terlalu muda, terlalu
cepat, terlalu sering, dan terlalu rapat," ujar Nafsiah, yang lama
berkecimpung dalam dunia kesehatan, terutama di kawasan Nusa Tenggara.
Istri
mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Ben Mboi, itu menceritakan
bahwa satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat (NTB), yakni Lombok Timur,
sejak beberapa tahun lalu berhasil menekan angka kematian ibu melahirkan
menjadi nol kasus.
Namun, ia menyatakan, pada tahun ini keberhasilan pemerintah daerah
setempat untuk mewujudkan tidak ada ibu yang meninggal akibat persalinan
gagal terwujud.
"Pada tahun ini, ada satu ibu yang meninggal," ujarnya.
Bupati Lombok Timur, menurut dia, kemudian menjelaskan mengenai
kematian ibu tersebut yang rupanya ada ibu meninggal dunia setelah
mengalami pendarahan hebat saat melahirkan.
Meski para tenaga medis berusaha menolong, dikatakannya, sang ibu gagal tertolong jiwanya.
"Ternyata, ibu tersebut berusia 38 tahun, dan melahirkan anak yang ke-16," kata Nafiah.
Mendengar hal itu, ia menyatakan, sangat geram bukan kepalang karena
sejatinya penyebab kematian ibu tersebut bisa terhindari, bila suaminya
memahami tanggung jawab kesehatan keluarganya.
Nafsiah pun berujar, "Suami macam apa itu membiarkan istrinya melahirkan sebanyak itu?"
Menurut dia, seharusnya ibu-ibu yang selesai melahirkan langsung
menggunakan alat kontrasepsi, agar dapat mengatur jarak kelahiran
anak-anaknya.
Untuk dia, ia pun mengajak masyarakat untuk mendukung program Keluarga Berencana (KB) yang sudah lama digiatkan pemerintah.
Keberhasilan peningkatan kesehatan ibu dan anak, dikatakannya, sangat
terkait dengan pelaksanaan program KB, meskipun mengalami tantangan
besar dalam pelaksanaan programnya lantaran keikutsertaan publik tidak
berlangsung sepenuhnya.
Menkes mengatakan, angka pemakaian alat kontrasepsi di masyarakat
sejauh ini masih rendah, karena angka Contraceptive Prevalence Rate
(CPR) yang masih pada angka 61,9 persen.
Kemudian, menurut Menkes, penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang juga rendah yang ditandai dengan pemakaian Intra Uterine Device (IUD) atau spiral 3,9 persen, kemudian implan 3,3 persen, Metoda Operasi Wanita (MOW) atau steril sebanyak 3 persen dan Metoda Operasi Pria (MOP) atau vasektomi 0,2 persen.
Kemudian tingginya Unmet Need atau kebutuhan KB yang tidak terpenuhi yang berada pada angka 8,5 persen.
Menkes menegaskan, "Peran rumah sakit sangat penting dalam menggalakkan pemakaian alat kontrasepsi."
Selain itu juga, Nafsiah menyatakan, dinas kesehatan setempat
diminta untuk memberi perhatian khusus pada program KB tersebut, dengan
melakukan langkah peningkatan dan perbaikan pelayanan KB, baik dalam
pelayanan konseling KB maupun pelayanan kontrasepsi KB.
"Pelayanan KB pasca-melahirkan hendaknya diberi perhatian khusus," ujarnya.
Rendahnya pemakaian alat kontrasepsi jangka panjang juga menjadi
perhatian Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012
menunjukkan bahwa alat kontrasepsi jangka panjang dari tahun ke tahun
terus menurun penggunaannya.
BKKBN mencatat pada 1991, pengguna IUD mencapai 13 persen dari total pemakai kontrasepsi.
Tetapi, dalam catatan BKKBN, angka tersebut terus menurun, yakni
hingga 1994 tercatat hanya 10 persen pemakai IUD, pada 1997 turun lagi
menjadi delapan persen, dan pada 2002 jadi enam persen, serta turun lagi
jadi lima persen pada 2007, dan pada data 2012, pemakai kontrasepsi IUD
tinggal empat persen saja.
Sementara itu, pemakai alat kontrasepsi suntik yang merupakan alat
kontrasepsi jangka pendek malah sebaliknya meningkat tajam.
Pada 1991 penggunanya sebanyak 12 persen, tahun 1994 naik menjadi 15
persen, dan pada 1997 angkanya meningkat jadi 28 persen dan pada 2002,
2007, serta 2012 berkisar pada 32 persen pengguna alat kontrasepsi KB
suntik.
"Pemakaian alat kontrasepsi jangka pendek akan beresiko gagal lebih
besar dari alat kontrasepsi jangka panjang," ujar Deputi Pelatihan,
Penelitian, dan Pengembangan BKKBN, Wendy Hartanto.
Angka kegagalan metode suntik juga cukup tinggi mencapai 6 per 100.
Artinya, enam dari 100 penggunanya hamil setelah menggunakan metode
suntik.
BKKBN mencatat, untuk metode IUD angka kegagalannya
sangat rendah hanya 0,8 per 100. Selain itu, IUD juga bisa bertahan
hingga delapan tahun.
Rendahnya minat pasangan usia subur menggunakan alat kontrasepsi
jangka panjang menjadi salah satu penyebab program KB mengalami stagnasi
dalam 10 tahun terakhir ini.
Seorang ibu rumah tangga di daerah Tangerang, Provinsi Banten, Yetti
(35), mengaku enggan menggunakan alat kontrasepsi karena terganggu
hormonnya.
"Hormon saya terganggu jika menggunakan KB suntik dan pil, sementara
IUD saya tidak berani, karena banyak cerita seram mengenai hal itu,"
katanya.
Yetti dan suaminya lebih memilih menerapkan KB kalender yang berisiko kegagalannya lebih besar.
Lain lagi cerita dengan Nurhayati (37) yang mengaku, lebih nyaman
dengan menggunakan alat kontrasepsi untuk mengatur jarak kehamilan.
"Lagi pula, saya tidak ingin melahirkan setiap tahunnya," katanya menambahkan.