Jakarta (Antaranews Babel) - Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) telah mengirimkan surat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mendukung membicarakan mengenai dugaan pelanggaran etik yang dilakukan pengacara Setya Novanto, Frederich Yunadi.
"Komisi Pengawasan (Komwas) Peradi sudah mengirimkan surat kepada KPK pada Rabu (17/1) untuk beraudiensi terkait pelanggaran etik Frederich Yunadi," kata anggota Komisi Pengawas Peradi Kaspudin Noor kepada Antara di Jakarta, Kamis.
Ia menjelaskan surat itu bagian dari pekerjaan Komwas Peradi untuk mencari data dan identifikasi dugaan pelanggaran etik oleh seorang advokat. "Tapi tentunya kami tidak akan membahas soal materi perkaranya, karena itu sudah kewenangan KPK. Kami membahas soal etiknya saja," katanya.
Termasuk, kata dia, pihaknya akan meminta izin kepada KPK untuk dapat meminta keterangan kepada Frederich Yunadi. "Kan kasus itu ditangani KPK, jadi kami meminta izin kepada KPK," katanya.
Ditambahkan, pihaknya akan menjalankan fungsi pengawasan itu secara independen dan tidak berpihak. "Kami akan cek soal pelanggaran etiknya," katanya.
Nantinya, kata dia, setelah bahan yang dimiliki mencukupi maka Komisi Pengawasan Peradi akan melakukan rapat untuk mengeluarkan putusan apakah ada pelanggaran etik atau tidak.
Hasil rapat itu, kemudian dilanjutkan ke dalam rekomendasi yang ditunjukkan kepada Dewan Kehormatan Peradi, ucapnya.
Frederich Yunadi ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan menghalangi dan merintangi penyidikan kasus e-KTP dengan tersangka Setya Novanto pada 10 Januari 2018 dan saat ini sudah ditahan di KPK.
Fredrich dan Bimanesh diduga bekerja sama untuk memalsukan data terakait kesehatan Setya Novanto ke rumah sakit untuk dilakukan rawat inap dengan data-data medis yang diduga dimanipulasi sedemikian rupa untuk menghindari panggilan dan pemeriksaan oleh penyidik KPK, termasuk dengan menyewa satu lantai di RS Medika Permata Hijau.
Atas perbuatannya tersebut, Fredrich dan Bimanesh disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa dalam perkara korupsi dapat dipidana maksimal 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.