Manado (Antaranews Babel) - Silahturahim dan saling memaafkan merupakan salah satu tradisi Lebaran yang tak pernah dilupakan sejak dahulu kala.
Ada beberapa kegiatan yang sudah menjadi tradisi lebaran bagi masyarakat Indonesia. Tradisi lebaran terjadi secara turun-temurun sebagai warisan budaya bangsa yang masih belum terkikis oleh modernisasi zaman.
Sama seperti perayaan "Lebaran Ketupat" yang dilakukan oleh umat Muslim di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) setelah perayaan Idul Fitri.
Ketua Forum Ukhuwah Antar Pondok Pesantren (FUAPP) Sulut K H Muyasir Arif mengatakan kalau berbicara tradisi, ada beberapa yang ramai dilakukan saat ini, diantaranya Hari Raya Ketupat yang biasa dilaksanakan setelah hari ketujuh setelah Lebaran.
Yang konon, katanya, asal muasalnya yaitu setelah melaksanakan puasa syawal enam hari, yang mana keutamaannya disabdakan oleh Rasul Muhammad SAW: "Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti enam hari di bulan syawal maka ia seperti puasa setahun penuh".
Muyasir berharap bahwa kegiatan semacam ini terlaksana sesuai dengan semangat awalnya setelah melawan hawa nafsu sebulan penuh di Ramadhan yang tidak dinodai dengan kemaksiatan dan permusuhan.
Kegiatan lain, katanya, dilaksanakan bersamaan dengan Hari Ketupat biasa pula dilaksanakan terpisah yaitu Halal bi Halal, yang diisi dengan ceramah dan saling memaafkan.
Tentu kegiatan semacam ini, katanya, tidak ditemui di zaman Rasulullah, karena Rasulullah menganjurkan kita, ketika melakukan kesalahan dan khilaf langsung meminta maaf, tanpa menunggu momen halal bi halal.
Namun hikmah kegiatan tersebut yaitu momen silaturrahim dan mendengarkan taushiyah.
Ustad Muyasir juga menjelaskan yang biasa dilakukan masyarakat pada "Lebaran Ketupat" adalah setiap rumah menyiapkan makanan untuk menerima saudara dan handai taulan yang akan bersilaturrahim ke rumahnya.
maksiat tetap ada
Namun, katanya, yang perlu menjadi perhatian di beberapa daerah, sangat disayangkan masih terdapat kemaksiatan yang menodai hikmatnya kegiatan ini yaitu minum-minuman keras dan berjudi.
Semoga suatu saat, katanya, bisa dihilangkan dan digantikan dengan kegiatan yang bermakna.
Perayaan "Lebaran Ketupat" banyak dilakukan di beberapa kabupaten dan kota yang memiliki mayoritas umat muslim seperti di Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Minahasa, Kota Manado.
Di Kabupaten Minahasa, satu perkampungan yang masyarakatnya mayoritas beragama Islam, yakni Kampung Jawa Tondano, leluhur dari masyarakat tersebut memang berasal dari Pulau Jawa.
Berawal dari ditangkapnya Kyai Modjo yang merupakan Penasehat Agama sekaligus Panglima perang dari Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa (1825-1830).
Pada 1828, Kyia Modjo kemudian dibawa ke Batavia (Jakarta Saat Ini), selanjutnya Kyai Modjo dan 63 orang pengikutnya diasingkan Belanda sebagai tahanan politik ke Sulut, yakni wilayah ini terletak di Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa.
Oleh penduduk setempat dan sekitarnya, daerah ini kemudian dikenal dengan "Kampung Jawa Tondano" yang penduduknya merupakan keturunan dari Kyai Modjo dan 63 orang pengikutnya serta mayoritas beragama Islam.
Ada begitu banyak budaya Jawa yang kemudian disadur ke dalam Islam yang justru bemula dari Kampung Jawa Tondano ini, seperti Lebaran Ketupat yang tak lain sebagai bentuk silahturahim antarsesama pemeluk agama Islam dan penduduk sekitar yang non muslim.
Provinsi Sulut, katanya, memiliki penduduk yang memeluk agama Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu, Budha, dan Konghuchu.
Karena Sulut terkenal dengan daerah toleran, maka setiap kegiatan hari besar agama, semua saling bertemu dan menyapa satu sama lain dan memberikan ucapan selamat.
Tradisi ketupat ini selain dirayakan di Kampung Jawa Tondano juga yang tidak kalah meriah perayaannya yaitu umat Islam di Kecamatan Tuminting, Kecamatan Sindulang, dan Kecamatan Singkil, Kota Manado.
Kegiatan silaturahim tersebut kebanyakan, dirangkaikan dengan berbagai kegiatan, seperti makan bersama, pentas seni dan budaya hingga rekreasi bagi kalangan generasi muda.
Ini bagian dari kebersamaan kepada sesama keluarga maupun kerabat dekat," kata Amir A, salah satu tokoh masyarakat di Kota Manado.
Tidak ketinggalan sejumlah warga dari luar Kota Manado, turut berbaur menyaksikan keramaian di beberapa kelurahan Kota Manado diwarnai berbagai kegiatan seperti lomba menyanyi hingga tarian.
"Perayaan lebaran ketupat ini perlu dilestarikan, karena menjadi budaya lokal mempersatukan sesama masyarakat dari berbagai agama dan etnis," kata Hesry K, warga Minahasa yang turut menyaksikan pentas seni itu.
Pemerintah Sulut juga sangat mendukung tradisi dari masyarakat Sulut yang beragama Islam ini, karena merupakan salah satu ajang silahturahim antar umat beragama di Manado, karena toleransi dan budaya kerukunan sangat dominan.
Tradisi Hari Raya Ketupat secara filosofi mengandung arti untuk memperkuat tali silahturahim antara sesama, baik keluarga, tetangga, kerabat, masyarakat, maupun sesama manusia yang berbeda agamanya.
Sama halnya ketupat yang terbuat dari janur kuat teranyam dengan rapih, begitu pula yang diharapkan dari kehidupan masyarakat Sulut harus saling berdampingan karena "Torang Samua Basudara (kita semua bersaudara) dan Torang Samua Ciptaan Tuhan".