“Di saat kita disuguhkan dengan hiruk-pikuk negeri, di saat itu pula kita tahu bahwa banyak anak-anak muda yang melakukan kebaikan untuk bangsa ini,” kata wanita kelahiran Semarang, 6 Agustus 1964 itu.
Ia menambahkan, tren berkegiatan sosial saat ini berbeda-beda. Ada yang ingin bekerja untuk banyak orang namun dalam sunyi. “Terserah mau diekspose atau tidak, mereka tidak peduli. Yang penting buat mereka, kebaikan mereka dirasakan oleh orang lain,” kata perempuan yang juga menjadi dewan juri SATU Indonesia Awards 2018 ini.
Ada juga yang bekerja dengan cara instan. Mengerjakan sesuatu tapi ingin dilihat. Selain itu ada juga istilah social entrepreneur, mereka yang mencari donasi untuk kegiatan tersebut. “Menurut saya semua yang dilakukan itu tidak apa-apa. Semua beragam. Dunia itu kan menyerupai taman, diisi dengan bunga yang berwarna-warni,” lanjutnya.
Tri bercerita tentang apa yang ia lakukan puluhan tahun lalu saat mengembangkan listrik di desa-desa. Ia melihat Indonesia mempunyai potensi alam yang luar biasa. Namun sayang, potensi tersebut tidak maksimal digunakan.
Sejak itu pula ia akhirnya berinisiatif memanfaatkan arus sungai untuk pembangkit listrik, atau yang dikenal dengan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). Saat itu, ia merasa tak ada orang yang memperhatikan gerakannya.
“Tapi tak masalah, yang penting terus saya lakukan karena saya tahu ini berguna untuk orang banyak,” paparnya yang sudah membangun lebih dari 65 PLMH di daerah terpencil.
Pesan itu pula yang ingin ia sampaikan kepada peserta SATU Indonesia Awards 2018. “Lakukanlah kegiatan ini dengan sungguh-sungguh karena itu akan berguna untuk masa depanmu dan masa depan negeri ini. Lakukanlah secara berkelanjutan dan jangan pernah bosan,” kata penerima Penghargaan Ramon Magsaysay tahun 2011 itu.