Pangkalpinang, (Antaranews Babel) - Perjuangan dan doa masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berbuah manis, tokoh pejuang dari Pulau Bangka Depati Amir akhirnya ditetapkan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo sebagai pahlawan nasional.
Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Timah, Anggi Sihaan di Pangkalpinang, Kamis mengapresiasi masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memperjuangkan tokoh pejuang dari Pulau Bangka, Depati Amir sebagai pahlawan nasional.
"Secara khusus kami berterima kasih kepada seluruh tim yang telah memberikan efforts maksimal untuk disahkannya Depati Amir sebagai Pahlawan Nasional dan semoga sinergitas dalam membangun daerah ini tetap terjaga," katanya.
Ia mengatakan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menetapkan Depati Amir sebagai pahlawan nasional, sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan negara atas perjuangan beliau mengusir penjajahan di negeri ini. Pada hari ini Gubernur Kepulauan Babel, Erzaldi Rosman Djohan menghadiri penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan 2018 kepada Depati Amir di Jakarta.
"Perjuangan kita semua akhirnya jadi kenyataan dan IKT mengucapkan selamat kepada masyarakat Bangka Belitung atas ditetapkannya Depati Amir menjadi Pahlawan nasional. Dengan sinergitas tentu kita akan bergerak lebih besar," katanya.
Perjuangan Depati Amir
Depati Amir merupakan tokoh pejuang dari Pulau Bangka dan beliau sangat terkenal, karena perjuangannya memimpin rakyat Pulau Bangka dalam upayanya melawan dan mengusir penjajahan Belanda di daerah penghasil bijih timah nomor dua terbesar dunia itu.
Sepanjang hidupnya, Depati Amir tidak pernah lelah untuk mencoba mengusir kaum penjajah dari bumi serumpun sebalai. Tidak hanya itu, beliau bersama 30 orang pengikutnya pernah menumpas para perompak yang mengganas di perairan Pulau Bangka dan memulihkan keamanan serta ketentraman rakyat.
Jabatan depati yang diberikan Belanda kepada Amir atas daerah Mendara dan Mentadai kemudian ditolaknya, tetapi gelar dan sebutan depati kemudian tetap melekat pada diri Amir karena Amir keturunan seorang depati dan kecintaan rakyat Bangka kepadanya, disamping kehendak kuat rakyat Bangka yang membutuhkan pigur pemimpin.
Perjuangan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir dimulai sejak penolakan jabatan depati yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda kepadanya pada tahun 1830 Masehi. Perlawanan rakyat Bangka dipimpin Depati Amir dengan melakukan perang terbuka melawan Pemerintah Hindia Belanda, disebabkan oleh penjajah Belanda yang melakukan penindasan terhadap rakyat Bangka yang menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan yang luar biasa bagi rakyat.
Pemerintah Hindia Belanda menetapkan kebijakan menyatukan administrasi pemerintahan (bestuur) dan administrasi pertambangan. Penyatuan ini menyebabkan kepincangan karena pejabat-pejabat pemerintah kolonial Belanda lebih mementingkan urusan pertambangan yang dinilai lebih menguntungkan bagi kepentingan pribadi daripada memperhatikan pemerintahan dan kepentingan rakyat.
Selanjutnya perlawanan rakyat Bangka disebabkan karena diberlakukannya peraturan tentang monopoli perdagangan timah (Tin Reglement) pada tahun 1819 Masehi. Peraturan monopoli perdagangan timah menyebabkan terjadinya penyimpangan, kecurangan dalam tata niaga timah. Penyelundupan dan penjarahan terhadap parit-parit oleh perompak yang berkeliaran di perairan pulau Bangka menyebabkan kekacauan di berbagai pelosok pulau Bangka dan menyebabkan kesengsaraan rakyat.
Kemudian perlawanan rakyat Bangka melawan pemerintah Hindia Belanda disebabkan oleh kerja paksa (herendients atau corvee). Kerja paksa yang diwajibkan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat sangat memberatkan dan tanpa dibayar. Perlawanan rakyat Bangka melawan penjajahan Belanda juga disebabkan oleh faktor ekonomi.
Sejak penguasaan timah oleh pemerintah Belanda, salah satu mata pencaharian rakyat Bangka menjadi hilang, sebelumnya rakyat cukup sejahtera ketika Sultan Palembang Darussalam memberikan kebebasan pada rakyat Bangka untuk menambang timah dan menjual hasilnya kepada kesultanan dengan kompensasi menyerahkan Timah Tiban setiap tahunnya kepada Sultan Palembang Darussalam sebagai pajak.
Penyebab terakhir perlawanan rakyat Bangka melawan kolonialisme Belanda adalah karena pemerintahan Hindia Belanda tidak mengakui sistem adat dan hukum adat Sindang Mardika yang berlaku di masyarakat pada masa itu.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian berusaha menangkap Depati Amir dengan berbagai tipu muslihat. Cara-cara yang licik dan keji untuk menangkap Depati Amir pada
17 Desember 1848 Masehi dilakukan oleh pasukan militer Belanda dipimpin oleh Letnan Campbell, Administratur Distrik Pangkalpinang De Bley dibantu oleh Hoofd Jaksa Abang Arifin.
Upaya penangkapan mengalami kegagalan. Depati Amir berhasil meloloskan diri dari kepungan dan penyergapan walaupun makanan dan minumannya sudah dibubuhi racun, akan tetapi beberapa hari kemudian ibunya Dakim, putera angkatnya Baudin dan saudaranya Ipah serta empat orang pengikutnya berhasil ditangkap oleh empat orang batin dari Distrik Pangkalpinang yaitu Batin Mendobarat, Batin Mendotimur, Batin Merawang dan Batin Penagan.
Peristiwa penangkapan atas dirinya yang gagal dan penangkapan atas keluarganya serta penjajahan Belanda yang menyengsarakan rakyat Bangka kemudian dijadikan Depati Amir sebagai alasan yang kuat untuk melakukan perlawanan bersenjata melawan Pemerintah Hindia Belanda. Perang Bangka dalam bentuk perlawanan besar rakyat dipimpin oleh Depati Amir dimulai dan peperangan hampir meliputi seluruh pulau Bangka.
Depati Amir dibantu adiknya Cing atau Hamzah sebagai panglima perang yang pada saat itu masih berusia 19 tahun. Hamzah membangun pasukannya bermarkas di kampung Tjengal. Depati Amir kemudian dibantu oleh beberapa panglima perang lainnya yaitu Awang, Bujang Singkip, Bujang Enggak, Dahan, Ubin, Bangul, Tata, dan Darip.
Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Depati Amir semakin meluas karena dibantu oleh para demang dan batin yang ada di pulau Bangka seperti Demang Suramenggala di Terentang, Batin Ampang, Batin Ketapik, Batin Gerunggang dari Distrik Toboali, Batin Jebus dari Distrik Jebus, batin orang-orang Sekak, Batin Nyalau, Batin Bakung, Batin Tjepurak dan Batin Penagan serta Batin Maras dari Distrik Merawang dan Sungailiat.
Bantuan terhadap pasukan Depati Amir juga datang dari kepala-kepala parit penambangan timah berupa senjata dan mesiu yang dibeli dari Singapura. Bantuan senjata dan mesiu terutama datang dari orang-orang Cina seperti Bun A Tjong kepala parit kampung Air Duren, Ho Tjing kepala parit Seruk, Tjin Sie kepala parit Singli Bawah, Kai Sam dan Ko Su Sui. Bantuan kepada pasukan Depati Amir juga berasal dari beberapa orang mualaf seperti Raman, Aim dan King Tjoan, para Lanun atau perompak laut dari Lanao Mindanao, Kerajaan Lingga dan Kesultanan Palembang Darussalam.
Sementara itu para perompak laut atau bajak laut membantu Depati Amir dalam perang Bangka dengan memasok persenjataan beserta amunisinya yang dibarter dengan timah. Untuk mengatasi kegiatan barter antara timah dan persenjataan tersebut, Pemerintah Hindia Belanda kemudian memblokade perairan laut pulau Bangka termasuk sungai-sungai sebagai sarana transportasi pada masa itu dengan menggunakan kapal-kapal perang bertenaga uap yang disewa dan didatangkan dari Batavia. Bajak laut atau perompak laut yang membantu Depati Amir kebanyakan berasal dari Lanao Mindanao dan dari Lingga.
Perlawanan Depati Amir juga dipengaruhi oleh unsur-unsur religius yang disebut dengan perang suci atau gerakan suci terutama setelah mendapat dukungan, bantuan moral dan material dari Haji Abubakar. Wujud perjuangan dan perlawanan kemudian diubah dalam skala yang luas meliputi seluruh pulau Bangka.
Timbul energi baru, bahwa perjuangan yang dilakukan adalah suatu kewajiban, mission sacre atau misi suci. Perlawanan-perlawanan rakyat dan peperangan terjadi hampir di seluruh pelosok pulau Bangka, dan bahkan orang-orang Sekak dari Lepar dan Belitung berperang sampai ke pesisir Utara pulau Jawa. Pertempuran besar terjadi sejak 19 Desember 1848 terjadi di daerah Lukok, Cepurak, Mendara, Mentadai, Ampang, Tadjaubelah, Ketiping, Titi Puwak dan Titi Medang.
Pertempuran terbesar antara Depati Amir beserta pasukannya dengan pasukan Belanda terjadi di daerah Tadjaubelah.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Bangka, Pemerintah Hindia Belanda sejak tanggal 26 April 1850 hingga 26 September 1850 sedikitnya telah mengerahkan sekitar 245 perwira dan bintara bangsa Eropa serta 339 bintara orang Indonesia beserta anak buahnya dari Palembang dan Batavia disamping polisi dan pemerintah Belanda juga menggunakan beberapa tentara bayaran serta para penjahat dalam peperangan, termasuk mendatangkan pasukan Afrikaansche flank-kompagnie dari Bataljon ke-12, kemudian mendatangkan juga kapal uap untuk perang yaitu kapal uap “Bromo” dan “Tjipanas”.
Perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir sangat mendapat perhatian serius dari Batavia karena penghasilan negara dari pertambangan timah menjadi merosot.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jan Jacob Rochussen (memerintah tahun 1845-1851 Masehi) secara khusus mengirimkan seorang komisaris bernama H.J. Severijn Haesebroek untuk menjajaki berbagai perundingan dengan Depati Amir dan menyusun langkah-langkah mendasar guna penyelesaian peperangan di pulau Bangka. Komisaris H.J. Severijn Haesebroek dalam upayanya menyelesaikan perlawanan rakyat Bangka, menawarkan janji-janji kepada Depati Amir, seperti akan membebaskan keluarganya yang ditahan, memberikan tunjangan gaji sebesar f 50 sebulan serta mendirikan kampung untuk kediamannya bila Depati Amir menyerah kepada pemerintah. Semua tawaran dan janji tersebut kemudian ditolak dengan tegas oleh Depati Amir.
Kegagalan penumpasan perlawanan yang dilakukan oleh kekuatan sipil dengan polisi, opas dan Hoofd Jaksa Abang Arifin menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan keputusan tanggal 17 September 1850 Nomor 1 memutuskan, bahwa untuk menundukkan dan menyelesaikan perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir dilakukan dengan kekuatan militer melalui operasi militer.
Karena dianggap lemah dan gagal dalam mengatasi perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Depati Amir, Residen Bangka F. van Olden kemudian diberhentikan dengan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 17 September 1850 dan jabatan residen Bangka selanjutnya dijabat oleh H.J. Severijn Haesebroek.
Kemampuan Depati Amir dalam menyusun strategi perang dan mengkoordinasi pasukannya menunjukkan keahlian dan kecerdasan yang luar biasa, dan kemampuan ini menunjukkan, bahwa Depati Amir adalah pejuang yang tangguh. Mengkoordinasi dan membentuk pasukan dari berbagai etnis berbeda yang berasal dari orang pribumi Bangka petani peladang, pekerja-pekerja tambang, orang laut, orang Cina, termasuk wanita dan anak-anak, bahkan para bajak laut dan para tahanan adalah pekerjaan yang memerlukan waktu dan kemampuan khusus.
Depati Amir beserta pasukannya membangun markas besar di daerah Tampui dan Belah di kaki gunung Maras, namun secara pasti pasukannya terus berpindah dan bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menghindari pertempuran frontal dan terbuka dengan pasukan Belanda.
Wilayah pergerakan pasukan Depati Amir umumnya hampir meliputi seluruh distrik di Pulau Bangka dan khususnya di beberapa distrik di pantai Timur dan Barat pulau Bangka seperti Distrik Merawang dan Sungailiat, Distrik Pangkalpinang, Distrik Jebus, Distrik Muntok dan Distrik Belinyu, Distrik Sungaiselan, Distrik Koba, Distrik Toboali bahkan pertempuran sampai ke pesisir Utara pulau Jawa.
Kecintaan terhadap keluarga yang ditahan Belanda menyebabkan timbulnya upaya pembebasan melalui perundingan dengan Belanda di kampung Layang pada tanggal 4 Agustus 1850. Depati Amir beserta dengan sekitar 300 orang pengikutnya turun dari markas di gunung Maras untuk berunding dengan Lettu Dekker komandan militer Belanda di kampung Layang.
Akan tetapi pertemuan dan perundingan tersebut menemui kegagalan serta tanpa hasil yang jelas karena pasukan Belanda yang dipimpin Lettu Dekker ingin menjadikan perundingan ini sebagai siasat dan beberapa upaya untuk menangkap Depati Amir.
Kharisma atau pengaruh yang besar yang dimiliki Depati Amir adalah dapat memobilisasi rakyat Bangka dan terutama mengajak orang-orang Cina bersatu ikut dalam peperangan. Persatuan antara penduduk pribumi Bangka dengan orang Cina adalah sesuatu yang luar biasa karena sangat bertentangan dengan karakter orang pribumi Bangka dan orang-orang Cina. Salah satu fenomena menarik dalam perang di pulau Bangka adalah bersatunya orang Cina dengan pribumi Bangka dalam menghadapi Kolonial Belanda.
Kekurangan akan logistik karena pasokan dari penduduk yang terputus dan blokade laut yang ketat serta kondisi pasukannya yang keletihan karena harus bergerak terus menerus dalam rimba pulau Bangka yang sangat luas disertai musim hujan yang sangat lebat melemahkan kekuatan pasukan Depati Amir.
Persediaan logistik yang menipis menjadi pemikiran Depati Amir dan ketika sebagian pasukannya kembali ke kampung-kampung dalam kelompok peladang untuk menggarap ladang ume, justru menjadi hal yang dianjurkannya, karena mengingat kepentingan yang lebih besar yaitu menghindari rakyat Bangka dari kelaparan.
Disamping kekurangan pangan dan logistik perang, menyebabkan dalam beberapa pertempuran seperti di daerah Ketiping digunakan peralatan tradisional yang disebut Pidung, racun dan Sumpitan sebagai senjata. Keletihan, kekurangan pangan, dan kondisi alam yang ganas, pertempuran demi pertempuran yang berlangsung hampir tiga tahun tanpa henti disertai penyergapan-penyergapan dan pengepungan menyebabkan pasukan semakin lemah, dalam dua kali penyergapan dipimpin oleh Lettu Dekker di Cempurak pada tanggal 27 November 1850 dan pada bulan Desember 1850 Depati Amir beserta pengikutnya berhasil meloloskan diri dari hutan Titi Puwa dan Titi Medang.
Dalam kondisi kurus, lemah, sakit dan penghianatan serta pengepungan oleh pasukan Belanda, Depati Amir berhasil ditangkap ketika berupaya meloloskan diri ke Distrik Sungaiselan pada tanggal 7 Januari 1851 Masehi karena penghianatan. Pemerintah Belanda kemudian memberikan hadiah kepada penghianat dengan jumlah uang yang cukup besar yaitu 1000 gulden.
Depati Amir lalu dibawa ke markas militer Belanda di Bakam dengan diikat tali, kemudian dibawa ke Distrik Belinyu pada tanggal 16 Januari 1851 Masehi, selanjutnya dibawa ke ibukota keresidenan Bangka di Kota Muntok. Berdasarkan Keputusan (besluit) Pemerintah Kolonial Belanda tanggal 11 Februari 1851 nomor 3, Depati Amir dihukum tanpa proses verbal dengan pembuangan atau pengasingan selamanya ke pulau Timor. Pada tanggal 28 Februari 1851 Masehi, Depati Amir diberangkatkan menuju pengasingan di pulau Timor.
Beberapa orang pengikutnya seperti Haji Abubakar dipenjarakan di Batavia dan beberapa pengikutnya dibuang menjadi pekerja paksa di Banyuwangi, orang orang Cina dibuang ke Kupang, Ambon dan Banda.
Pengaruh perlawanan rakyat Bangka begitu luas meliputi seluruh pulau Bangka, Belitung, keresidenan Palembang, Riau Lingga, pantai Utara Jawa, Batavia, Kupang Nusa Tenggara Timur bahkan sampai ke Singapura dan Eropa.
Khusus di pulau Bangka pengaruh perang ini membawa perubahan yang sangat besar dan mendasar terutama terhadap kondisi penduduk pribumi dan pulau Bangka. Banyak kebijakan pemerintah Kolonial Belanda yang kemudian lebih diarahkan pada perhatian dan kesejahteraan penduduk.
Pemerintah Kolonial Belanda sedikit menyadari, bahwa kondisi penduduk pribumi Bangka yang secara keseluruhan kondisinya sangat miskin dan menderita adalah salah satu penyebab utama dari perlawanan kepada pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda setelah perang Bangka menyebabkan perubahan yang mendasar pagi penduduk pulau Bangka yaitu terjadinya proses interaksi, sosialisasi, asimilasi dan akulturasi antar etnic group yang ada dan kemudian melebur dalam satu identitas (smelt port society) dengan pembentukan perkampungan perkampunagn baru, serta membentuk orang Bangka seperti yang kita kenal sekarang.
Pemerintah Kolonial Belanda merasa berhasil dalam penataan pulau Bangka setelah perang Bangka. Residen Bangka dalam laporannya pada tahun 1853 bahkan dengan bangga menyebutkan pulau Bangka sebagai salahsatu keresidenan yang paling teratur (regelmatig) di koloni Belanda.
Perjuangan Depati Amir dan adiknya Depati Hamzah tidak berhenti dan dilanjukan di Kupang, Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Peran Depati Amir dan Hamzah di Nusa Tenggara khususnya di pulau Timor yang terpenting disamping menjadi penasehat perang bagi raja-raja Timor yang sedang berjuang melawan Belanda adalah dalam penyebaran Islam. Agama Islam pada masa-masa sebelumnya telah berkembang di pulau Solor, Adonara, Lomblen, Pantar, Alor dan Flores, kemudian pada abad ke 19, Islam juga meluas ke pulau Timor dan Sumba.
Tokoh-tokoh agama Islam yang berjasa dalam mengembangkan agama Islam di pulau Timor adalah Syarif Abubakar bin Abdurrachman Alqodri, Aburrachman dari Benggala, Pangeran Suryo Mataram, Pangeran Ali Basyah Abdul Mahmud Gandakusuma, Depati Amir Bahren, Hamzah Bahren, dan K.H. Muhammad Azzad bin Alwan. Depati Amir Bahren dan Depati Hamzah Bahren berjasa menyebarkan agama Islam di Kupang dan mendirikan masjid Bonipoi di Kupang yang diberi nama Masjid Al Ikhlas. Depati Amir setelah beberapa tahun diasingkan di Kupang pada tanggal 28 September 1869. Depati Amir dimakamkan di pemakaman muslim Batukadera Kupang.
Diaspora pengasingan para pemimpin tradisional ke berbagai pelosok Nusantara mengakibatkan terjadinya ikatan emosional antar daerah yang kemudian menjadi salah satu unsur perekat pembentukan keindonesiaan saat ini. Keterlibatan Depati Amir dan Hamzah dalam kepemimpinan kampung Raja dan kampung Imam di Kampung Airmata Kupang, dengan memperkenalkan kebiasaan budaya melayu Bangka begitu kental terasa di kampung Airmata Kupang, pengaruh budaya Melayu Bangka sangat tampak pada tradisi kemasyarakatan dan budaya seperti upacara yang berhubungan dengan daur kehidupan yang menyangkut acara kelahiran, pernikahan, dan kematian.
Kemudian pengaruh budaya tersebut juga tampak pada tradisi masakan khas, pengobatan tradisional dan pengetahuan tentang beladiri. Pengasingan dan pembuangan Depati Amir dan Hamzah atau Cing menyebabkan hubungan emosional yang kuat antara masyarakat Kupang khususnya dan Nusa Tenggara Timur umumnya dengan masyarakat Bangka Belitung.
Nama Amir, gelar Depati, panggilan Depati Amir, pekerjaan Pemimpin Perjuangan Rakyat Bangka dan Calon Pahlawan Nasional, Lahir di Mendara, Pulau Bangka
Tahun 1805 Masehi, Meninggal di Kupang, Nusa Tenggara Timur tanggal 28 September 1869 Masehi, Putera dari Depati Bahrin bin Depati Karim atau dipanggil Bahren di Nusa Tenggara, Timur, Nama ibu Dakim, Nama isteri Janur.(Akhmad Elvian, disarikan dari buku Perang Bangka 1812-1851 Masehi dan dari berbagai Sumber, 16042018)