Di pusat Kota Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, ada sebuah taman yang cukup dikenal masyarakat yakni Wilhelmina Park.
Lokasinya persis di depan Alun-alaun Taman Merdeka yang sering disebut "titik nol" Kota Pangkal Pinang dan hanya berjarak 50 meter dari rumah dinas wali kota.
Setiap sore hari atau pada akhir pekan, taman tersebut ramai dikunjungi masyarakat, mulai dari kalangan remaja hingga keluarga yang membawa anak-anak untuk bermain.
Wilhelmina Park memang cukup asyik untuk menjadi lokasi bermain anak-anak. Selain banyak ditumbuhi pepohonan, di taman itu juga ada sejumlah patung yang menarik untuk berswafoto.
Kemudian, kontur tanah yang agak bergelombang juga menyebabkan taman tersebut menjadi lokasi yang menyenangkan bagi anak-anak untuk berlari atau bermain sepeda.
Ada juga venue yang sering dipergunakan anak-anak teater atau pecinta seni untuk berlatih, baik berupa drama, tari, atau lokasi diskusi para mahasiswa.
Di bagian pinggir Wilhelmina Park, ada Rumah Kreatif yang dibangun sejumlah BUMN. Sedangkan di depan Rumah Kreatif tersebut, ada pojokan yang berisi meja dan kursi yang dilengkapi fasilitas wifi.
Wilhelmina Park semakin layak dikunjungi karena memiliki sejumlah prasasti yang menceritakan sejumlah perjuangan dan perjalan sejarah bangsa.
Di bagian tengah Wilhelmina Park, ada prasasti berwarna putih yang menjulang mengenai surat kuasa kembalinya Republik Indonesia yang diserahkan Ir Soekarno kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada Juni 1949.
Selain prasasti mengenai surat kuasa kembalinya Republik Indonesia itu, ada delapan lagi monumen yang menceritakan keberadaan Pulau Bangka dalam perjalanan bangsa, termasuk sejarah tokoh daerah dalam memperjuangkan kemerdekaan RI.
Ada monumen yang menceritakan tentang nilai strategis Pangkal Pinang di Pulau Bangka. Dengan kondisi itu, ibu kota Keresidenen Bangka dipindahkan dari Muntok di Bangka Barat ke Pangkal Pinang pada tahun 1913.
Proses pemindahan tersebut juga menjadi pemisahan administrasi pemerintahan kolonia (bestuur) dengan pengelolaan pertambangan melalui pendirian organisasi Banka Tin Winning Bedryf (BTW).
Perubahan ibu kota keresidenan tersebut juga ditandai dengan pergantian Residen Bangka dari RJ Boers kepad AJN Engelenberg.
Kemudian, monumen tentang perjuangan Depati Amir yang dinilai belanda sebagai pejuang tangguh dan berbahaya. Depati Amir yang lahir pada tahun 1805 masehi merupakan putera sulung Depati Bahrin yang pada tahun 1830 dipercaya jadi "depati" atau pejabat setingkat bupati di Bangka.
Meski menjadi anak seorang pejabat, tetapi Depati Amir tidak mau tinggal diam sehingga memimpin masyarakat Bangka untuk melawan penjajahan Belanda. Perlawanan Depati Amir dan masyarakat Bangka menyebabkan Belanda mengumumkan perang dan menyatakan bangka sebagai wilayah darurat militer (staat van beleg).
Depati Amir dinyatakan sebagai orang yang sangat berbahaya dan gerak-geriknya selalu dicurigai (Der Depatti Amir ist ein gefahrlicher mensch Von Verdactigem aeussern).
Dalam monumen lain di Wilhelmina Park tersebut, disebutkan Depati Amir dan adiknya yang bernama Depati Hamzah ditangkap Belanda pada 1851 dan diasingkan ke Kampung Airmata, Kupang yang kini berada di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pada 28 Februari 1851, Depati Amir dan Depati Hamzah diberangkatkan ke Kupang dengan kapal uap "Onrust". Selama dalam pengasingan, kedua putera Bangka tersebut menyebarkan agama Islam di Pulau Timor. Kemudian, keduanya dipindahkan ke Bonipoi dan mereka membangun mesjid diberi nama Al-Ikhlas.
Dalam monumen selanjutnya, disebutkan juga bahwa ayah Depati Amir dan Depati Hamzah, yakni Depati Bahrin memimpin perlawanan besar masyarakat Bangka. Dibawah kepemimpinan Depati Bahrin, masyarakat Bangka berhasil memenggal kepala Residen Belanda MAP Smissaert pada 1819.
Kemudian, ada monumen yang menceritakan perjuangan Bung Hatta ketika diasingkan pada 22 Desember 1948. Sebagai Wakil Presiden RI, Bung Hatta diasingkan ke Pulau Bangka bersama RS Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), Mr Assaat (Ketua KNIP), dan Mr AG Pringgodigdo (Sekretaris Negara). Seluruh pendiri bangsa yang diasingkan ke Pulau Bangka itu sering disebut "Kelompok Bangka" (Trace Bangka).
Melalui diplomasi yang gigih dan dimediasi United Nations Comission for Indonesia (UNCI), Trace Bangka, lahirlah Perjanjian Roem Royen (Roem Royen Statement? pada 7 Mei 1949. Ketika itu, Mr AG Pringgodigdo mengeluarkan kalimat "Aku merasa ada dua sumber percaturan internasional di dunia ini yaitu United Nations dan Bangka".
Selanjutnya, ada monumen "Pangkal Pinang Pangkal Kemenangan" dengan keluarnya persetujuan Belanda tentang kembalinya Pemerintahan RI ke Yogyakarta melalui Perjanjian Roem Royen.
Sebelum berangkat ke Yogyakarta, Bung Karno yang juga ikut diungsikan ke Pulau bangka mengadakan pertemuan untuk berpamitan dengan masyarakat di salah satu tempat yang berada di depan Masjid Almuhajirin, Kota Pangkal Pinang pada 6 Juli 1949.
Di hadapan masyarakat Bangka, Bung Karno menyampaikan pidato dan kalimat yang mengesankan yakni "Dari Pangkal Pinang, pangkal kemenangan bagi perjuangan".
Sedangkan monumen terakhir berisi tentang Konferensi Pangkal Pinang di Panti Wangka yang dulu sering disebut "Societet Concordia" atau "de Harmonie" pada 1-12 Oktober 1946. Konferensi tersebut merupakan kelanjutan dari Konferensi Federal di Malino, Sulawesi Selatan yang digelar pada 15-25 Juli 1946.
Belanda memilih Pangkal Pinang sebagai lokasi konferensi tersebut karena ingin menjadikan daerah-daerah yang ada di luar Pulau Jawa dan Pulau Sumatera sebagai basis kekuatannya.
Konferensi yang diikuti 80 delegasi tersebut dimaksudkan untuk menyatukan pendapat dari berbagai golongan minoritas seperti Eropa, Arab, China, dan India. Namun, pecinta kemerdekaan menolak dan menentang konferensi itu karena dinilai sebagai strategi Van Mook, Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Pemimpin NICA untuk membentuk negara federal Bangka Belitung dan Riau dalam Republik Indonesia Serikat sebagai Uni Indonesia-Belanda.
Seluruh rangkaian sejarah dalam monumen di Wilhelmina park tersebut ditulis oleh ahli sejarah Babel Akhmad Elvian.
Ajang pembelajaran sejarah
Menurut Akhmad Elvian, monumen tentang berbagai sejarah di Pulau bangka tersebut disiapkan Balai Tata Lahan dan Bangunan Kementerian PU dan Perumahan Rakyat RI pada tahun 2017.
Penyiapan monumen tersebut dimaksudkan sebagai ajang pembelajaran dan pengenalan bagi masyarakat dan generasi muda mengenai sejarah bangsa yang beralngsung di Pulau Bangka.
Kegiatan tersebut merupakan bagian program Revolusi Mental agar sejarah perjuangan bangsa yang berlangsung di Pulau bangka dikenal masyarakat.
"Supaya mereka tahu, ada juga tokoh-tokoh nasional yang pernah diasingkan di Bangka," katanya.
Sejak monumen tersebut dibangun di lokasi yang dulunya dikenal dengan nama "Taman Sari", Wilhelmina Park semakin banyak dikunjungi masyarakat.
Wilhelmina Park juga menjadi salah satu lokasi kunjungan tim penilai syarat pahlawan nasional untuk mengetahui peranan Depati Amir sebelum ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada tahun 2018.
Pihaknya merasa bangga dengan keberadaan monumen itu yang sering dilihat masyarakat, termasuk kepedulian masyarakat untuk menjaga monumen tersebut.
"Banyak yang datang, berfoto, tapi tidak ada yang dirusak, dicoret pun tak ada," ujar Akhmad Elvian.
Suasana yang asri dengan banyaknya pepohonan dan monumen sejarah itu menimbulkan ketertarikan warga untuk bermain atau bersantai di Wilhelmina Park.
Rustam Effendi, warga Kelurahan Gabek 2, Kecamatan Gabek, Kota Pangkal Pinang mengaku beberapa kali membawa keluarganya untuk bermain di lokasi yang lebih dikenal dengan Taman Sari itu.
Tanpa harus mengeluarkan biaya besar, masyarakat dapat menikmati keindahan taman sambil menyaksikan monumen sejarah, termasuk Rumah Kreatif BUMN yang dibangun di kawasan tersebut.
Kawasan Pusaka Bersejarah
Selain Wilhelmina Park, Pemprov Kepulauan Bangka Belitung dan Pemkot Pangkal Pinang juga berencana menyiapkan "Kawasan Pusaka Bersejarah" di tempat lain.
Menurut Akhmad Elvian, penyiapanan Kawasan Pusaka Bersejarah itu dilakukan di berbagai tempat yang memiliki nilai sejarah di Pulau Bangka.
Ia mencontohkan pembangunan monumen "Kampung Opas" dengan membuat monumen mengenai peristiwa yang pernah berlangsung di Kampung Opas, bangunan bersejarah, atau saksi sejarah yang masih ada.
"Monumen itu juga akan dibangun di kampung yang lain, supaya generasi muda Bangka Belitung mengetahui apa saja yang ada dan pernah terjadi disana," kata Akhmad Elvian.
Dengan penyiapan berbagai monumen tersebut, diharapkan peristiwa dan peninggalan sejarah akan selalu diketahui dan dikenang masyarakat Bangka Belitung.