Jakarta (Antara Babel) - Tiap-tiap yang berjiwa akan mati. Mengantar jenazah ke pemakanan adalah sesuatu yang biasa dilakukan banyak orang. Tapi, menyaksikan pemakaman jenazah Ibu Herawati Diah, yang wafat pada usia 99 tahun, di TMP (Taman Makam Pahlawan) Kalibata, Jakarta, pada 30 September 2016 terasa ada sesuatu yang khas.
Yang khas adalah: kehadiran sejumlah wartawan yang berusia sekitar 70 tahun ke atas, berbaur dengan para pelayat, mantan pejabat dan tokoh nasional berusia lanjut serta anggota keluarganya. Maklum, almarhumah adalah tokoh wartawan. Herawati tercatat sebagai gadis pribumi pertama lulusan universitas Amerika Serikat tahun 1939. Jurusan studi yang dipilihnya adalah sosiologi dan jurnalisme, sesuatu yang belum banyak ditekuni kala itu, apalagi oleh wanita.
Pilihannya itu ikut menentukan jalan hidupnya kemudian: menjadi reporter harian Merdeka, pemimpin pertama majalah berita mingguan Merdeka dan majalah Keluarga, serta pendiri dan pemimpin harian berbahasa Inggris pertama di Indonesia, the Indonesian Observer.
Ia beberapa kali menjadi "yang pertama" seperti ditulis dalam buku "Kembara Tiada Berakhir", Herawati Diah berkisah, yang disunting wartawati Debra H Yatim.
Herawati diilahirkan di keluarga elite pribumi di jaman penjajahan Belanda, pasangan Dokter R Latif dan Siti Alimah. Dokter Latif bertugas di perusahaaan Timah, Belitung, sedangkan Siti Alimah adalah ibu rumah tangga kreatif, yang kemudian mendirikan majalah "Doenia Kita", satu-satunya majalah wanita kala itu. Ayahnya masih keturunan Trah Kadilangu (Sunan Kalijogo, seorang wali, penyebar agama Islam di Jawa) dan dalam tubuh ibunya mengalir darah Aceh.
Almarhumah adalah saksi dan pelaku sejarah sejumlah peristiwa penting lintas jaman di Indonesia: jaman penjajahan Belanda dan Jepang, jaman kemerdekaan paska Proklamasi 17 Agustus 1945, Orde Lama di bawah Presiden Soekarno, Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, Orde Reformasi dan paska Reformasi.
Herawati yang menikah dengan wartawan dan pendiri Merdeka, BM Diah, asal Aceh, mengisi usia panjang yang dikaruniakan Allah kepadanya dengan sejumlah sumbangsih untuk mempersiapkan, mengisi dan memelihara kemerdekaan RI dengan karya jurnalistik dan berbagai kegiatan sosial-budaya sampai akhir hayatnya. Ia adalah pendiri Lingkar Budaya Indonesia, sebuah lembaga yang aktif melestarikan budaya nasional dengan pementasan seni-budaya dan diskusi intelelektual.
Koran Merdeka terbit 1 Oktober 1945 di bawah pimpinan BM Diah dengan motto "Soeara Rakyat Repoeblik Indonesia" sebagai penyambung lidah negara dan bangsa Indonesia yang baru dua bulan merdeka. Kelahiran koran ini didorong oleh tidak adanya pemberitaan tentang rapat raksasa di lapangan Ikada (sekarang Monas) yang dihadiri Presiden Soekarno, tanggal 19 September, 1945.
Peristiwa itu sangat bersejarah, sehingga seorang wartawan asing berkomentar "A nation is born" (Sebuah Bangsa Lahir) seperti dituturkan alm Jusuf Ronodipuro, salah seorang pendiri RRI, juga dari Trah Kadilangu.
The Indonesian Observer terbit 1 Oktober 1954 di bawah pimpinan Herawati Diah sebagai jawaban atas kekosongan koran berbahasa Inggris menjelang Konferensi Asia-Afrika pertama, 18-25 April, 1955 di Bandung.
Jurnalisme dan perempuan
Herawati memulai karir jurnalistiknya di Yogyakarta. Ketika itu belum banyak wartawan perempuan. Tugasnya termasuk menghadiri berbagai konferensi pers, sejumlah kongres dan pertemuan dan sesekali meliput aksi perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan RI.
Ia sekeluarga pindah ke Yogyakarta tanggal 22 Desember 1945 bersama para pejuang "Repoeblikien" (pro RI), melawan Belanda karena Jakarta dianggap tidak aman. Pemerintah Indonesia hijrah ke Yogyakarta, yang resmi menjadi ibu kota negara RI tanggal 4 Januari 1946.
Sebagai wartawan perempuan, ia merasa prestasinya tidak kalah dengan wartawan pria. Sebagai ibu muda yang masih harus mengasuh dua anak kecil, tentu Herawati tidak sebebas mencari berita seperti wartawan pria.
Bagi dia, keluarga sama pentingnya dengan karir, mungkin berbeda dengan pria. Jarang wartawan pria yang bingung dalam membagi waktu untuk keluarga dan "deadline". Ia merasa aneh, jika ada wartawan wanita tidak bingung dalam situasi yang sama. Ia mengaku beruntung, karena suaminya seorang wartawan, jadi memahami profesinya.
Jurnalisme menuntut kecintaan kepada pekerjaan, sebuah tugas yang membutuhkan pengindahan kepada hati nurani, yang lebih sering menjadi dorongan bagi perempuan untuk bertindak. Karena itu, Herawati begitu yakin, profesi wartawan paling cocok bagi perempuan. Hati nurani, menurut dia, adalah penyuluh dari pekerjaan dan sukses wartawan.
Ia punya alasan lain mengapa profesi wartawan paling cocok untuk perempuan, yakni persoalan wanita adalah persoalan lebih dari setengah penduduk dunia. Dalam tehnik menyajikan berita, profesi kewartawanan menuntut kejujuran bertutur dan kesederhanaan dalam menyatakan pikiran, sesuai harapan pembaca. "Lagi-lagi, siapa yang paling terlatih bertutur sederhana dan jujur, kalau bukan perempuan?," katanya.
Ia sangat tidak setuju dengan penugasan wartawan perempuan khusus untuk berita "lembut" seperti bidang sosial, budaya dan "human interest", sebaliknya berita keras, seperti politik, perang dan ekonomi khusus untuk wartawan pria.
Herawati pernah menjadi sekretaris pribadi Menteri Luar Negeri pertama RI, Ahmad Soebardjo, pamannya sendiri, karena adik ibunya. Berkat menguasai bahasa Inggris dengan baik, ia juga pernah menjadi penyiar radio militer Jepang, Hosokyoku, khusus untuk siaran bagi tawanan perang Tentara Sekutu (POWs), anggota PMI (Palang Merah Indonesia), dan delegasi wanita Indonesia dalam pertemuan internasional.
Karena belajar di Amerika Serikat, bukan ke Negeri Belanda seperti pemuda/i pribumi umumnya, ia sempat dicurigai polisi rahasia Belanda (PID). Tapi, berkat lulusan AS pula ia diinterogasi oleh Markas Besar Tentara Sekutu karena dituduh menuliskan corat-coret slogan "For the People by the People", yang diucapkan Presiden AS, Abraham Lincoln.
Tentara Sekutu heran slogan yang diambil dari pidato yang terkenal sebagai "The Gettysburg Address", itu bisa muncul di Indonesia. Herawati ditahan, demikian pula suaminya.
Herawati pantas bersyukur telah menjalani "a full and colourful life", hidup yang penuh makna dan warna: seorang wartawati dan pengusaha sukses, istri tokoh pers yang tiga kali menjabat duta besar RI dan menteri penerangan, dan seorang aktivis sosial-budaya serta kemanusiaan.
Ia tetap tampak cantik dan tampil anggun di usia lanjut. Pikirannya masih jernih, bicaranya jelas, walau pelan. Konon, di samping masih rajin membaca, menulis dan diskusi, eyang yang sudah bercicit ini suka main "bridge" agar tidak pikun. Dengan dibantu tongkat, ia rajin menghadiri pertemuan Keluarga Wartawan Senior dan undangan acara keluarga dan koleganya yang mempunyai hajat.
Setelah liang lahat ditutup, penghormatan secara militer diberikan di bawah pimpinan inspektur upacara Jendral TNI (Purn) Agum Gumelar. Berakhir pula kiprah "Kembara Tanpa Berakhir". Sebagai penerima Bintang Mahaputera, Ibu Herawati Diah berhak dimakamkan di TMP, di samping suaminya. Selamat beristirahat dalam kedamaian Ibu, semoga ampunan dan rakhmat Allah selalu menyelimutimu. Generasi penerus wajib belajar darimu.
*) Penulis adalah wartawan senior, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000 dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010