Depok (Antara Babel) - Publik tampaknya tidak terkejut ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan sekaligus memperkenalkan menteri-menteri yang akan duduk dalam Kabinet Kerja dan membantu presiden menjalankan roda pemerintahan lima tahun ke depan.

Masyarakat sudah menduga nama-nama, seperti Puan Maharani, Rini Sumarno, Tjahjo Kumolo, dan Anies Baswedan yang demikian semangat dan berapi-api ketika mendukung Jokowi dalam kampanye calon presiden dan nyaris takpernah beranjak jauh mantan Gubernur DKI Jakarta itu tidak mungkin tidak menjadi menteri.

Juga tokoh-tokoh yang wari-wiri ke Istana Negara setelah Presiden Jokowi dilantik, seperti Yudi Chrisnandi, Siti Nurbaya, dan Ferry Mursyidan Baldan yang mengaku tidak pernah diajak bicara soal posisi menteri ketika dipanggil kepala negara mustahil tidak duduk dalam kabinet.

Reaksi publik seperti itu diakui oleh pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr. Ahmad Atang dengan menyebutkan postur dan figur Kebinet Kerja Jokowi-JK yang baru saja diumumkan tidak mengejutkan bagi publik karena sudah beredar luas sebelum diumumkan.

"Kabinet Kerja ini menggambarkan perpaduan antara politikus, akademisi, militer, dan profesional. Namun, yang lebih mendominasi adalah politikus dan profesional, kecuali politikus murni," katanya.

Artinya, figur menteri dari partai politik (parpol) yang selama ini besar di partai dan menjadi anggota DPR, kariernya hanya
terbatas sebagai politikus dan kebanyakan di antara mereka tidak memiliki gagasan apa-apa ketika menjadi politikus untuk mendukung posisi menteri, ujarnya.

Maka, menurut dia, tidak bisa disangkal lagi kalau posisi menteri dari parpol adalah politik balas jasa sehingga akan terbuka peluang bagi publik untuk mengoreksi kinerja menteri ke depan. "Akan banyak sorotan terhadap beberapa nama yang pernah dikenal publik," katannya.

Bahkan, bisa diduga dalam waktu tiga bulan bekerja akan ada desakan perombakan kabinet jika kinerjanya tidak mengembirakan.

Mengenai kebinet yang bersih, dia mengatakan bahwa Presiden Jokowi mengulur-ulur waktu untuk mencari menteri yang bersih. Namun, fakta menunjukkan banyak menteri pada masa Presiden SBY dan Megawati yang bersih ternyata terjerat kasus korupsi juga. "Jadi, tidak ada jaminan menteri yang bersih akan bagus ketika menjadi menteri sepanjang sistem politik, birokrasi tidak berubah maka orang baik akan menjadi jahat," katanya.

Agung Laksono yang pernah menjabat sebagai Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat Kabinet Indonesia Bersatu II mengomentari perubahan nama Menko Kesra menjadi Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sebagai hal yang tidak penting karena tujuannya tetap sama, yakni bermuara pada kesejahteraan rakyat.

"Saya pikir itu hanya nama saja yang diganti sebab misinya tidak banyak berbeda, pembangunan manusia. Manusia itu menjadi objek pembangunan yang muaranya tetap pada kesejahteraan rakyat," katanya.

Ia juga menambahkan bahwa kementerian yang berada di bawah koordinasi Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan akan
tetap sama, yaitu kementerian kesehatan, kementerian pendidikan, kementerian sosial, dan lainnya.

Pengamat politik Yunarto Wijaya mendukung nama Kabinet Kerja yang dibentuk Presiden Jokowi. "Kata kabinet kerja simpel, ini mencerminkan Jokowi. Suasana komunikasi politik yang dilakukan Jokowi saat memperkenalkan menterinya cukup santai. Padahal, pada kabinet-kabinet sebelumnya nama calon menteri diumumkan dengan formal," katanya.

Mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie juga memberi apresiasi pada jajaran menteri yang telah dipilih oleh Presiden Jokowi. "Beberapa dari mereka, saya kenal dan saya bersyukur karena kabinetnya diisi anak-anak muda," katanya.

Ke depan, Habibie akan menunggu realisasi janji Presiden Jokowi yang menginginkan masa pemerintahannya diisi dengan bekerja, bekerja, dan bekerja. "Tinggal nunggu kinerjanya saja," ucapnya.

    
Waspadai Menkumham
Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (CW) Emerson Yuntho meminta agar penunjukan politikus sebagai Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) harus diwaspadai.

"Jika Menkumham diisi oleh politikus, potensi Kementerian akan dibajak oleh kepentingan politikus  sangat mungkin terjadi," katanya.

Presiden Jokowi menunjuk politikus PDI Perjuangan Yasonna Hamonangan Laoly sebagai Menkumham. Penunjukan ini makin mengukuhkan tradisi pemilihan Menteri Hukum dan HAM yang didominasi dari parpol sejak reformasi 1998.

Sebelumnya, Muladi dari Partai Golkar menjabat sebagai Menkumham pada tahun 1998--1999, dilanjutkan Yusril Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang (23 Oktober 1999--7 Februari 2001 dan 9 Agustus 2001--20 Oktober 2004), Mohammad Mahfud Md. dari Partai Kebangkitan Bangsa (20 Juli--9 Agustus 2001).

Kemudian, Hamid Awaluddin dari Partai Golkar (2004--2007), Andi Mattalatta juga dari Partai Golkar (2007--2009), Patrialis Akbar dari Partai Amanat Nasional (2009--2011), serta Amir Syamsuddin dari Partai Demokrat (2011--2014). Pengecualian orang nonpartai hanya diberikan kepada Baharuddin Loppa yang hanya menjabat sekitar empat bulan, yaitu 9 Februari--2 Juni 2001 dan Marsilam Simanjuntak yang menjabat hanya sekitar satu bulan.

Yasonna Hamonangan Laoly adalah politikus asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dia pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara (1999--2004), dilanjutkan sebagai anggota DPR periode 2004--2009, dan diangkat menjadi Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR pada tahun 2013, serta Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR.

Puan Maharani yang ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Kemanusiaan membantah anggapan bahwa penunjukannya sebagai menteri adalah titipan dari Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Ia yang juga mantan Ketua Bappilu PDI Perjuangan ini meminta publik untuk melihat kinerjanya di partai politik yang dinilainya berhasil. "Harus dilihat apa yang sudah saya lakukan selama ini, dalam memerjuangkan dan bekerja bukan hanya untuk partai kami. Akan tetapi, memberikan semua nama calon menteri kepada PPATK," katanya.

Puan menegaskan KPK dan PPATK sudah menelusuri rekam jejaknya. "Semua proses seleksi saya ikuti dan alhamdulillah lancar," ucapnya.

Mantan Ketua DPR RI Marzuki Alie menilai susunan kabinet pemerintahan Jokowi-JK cukup memberi harapan meski tidak 100 persen bagus. Dia berharap masyarakat optimistis melihat susunan kabinet ini.

Kendati demikian, dia menilai ada nama-nama yang salah tempat, seperti Siti Nurbaya yang seharusnya menjadi Mendagri, tetapi justru Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup. "Jokowi tampaknya hanya melihat ijazahnya yang dari IPB dan tidak melihat kariernya selama ini di birokrasi (kementerian dalam negeri)," katanya.

Marzuki juga senang melihat banyak sahabatnya yang baik bisa mendapatkan posisi menteri di kabinet. "Saleh Husen itu orang baik. Indroyono yang mengenalkan 'blue economy'. Ignatius Jonan terbukti bagus memimpin KAI," katanya.

Khusus mengenai pemisahan kementerian pendidikan yang dibagi menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan yang dipimpin oleh Anies Baswedan, Marzuki mengingatakan bahwa hal itu tidak akan mudah.

"Anies akan diuji dengan memimpin Kementerian Dikdasmenbud. Tidak mudah apalagi di dalam Kemendikbud birokrasi yang sudah susah diubah karena berpikir proyek," katanya.

Ia menambahkan bahwa yang bersangkutan juga akan kesulitan menghitung biaya pendidikan 20 persen dari APBN dengan pendidikan yang dipecah dua.

"Pemecahan pendidikan dalam dua kementerian itu akan membuat blunder karena proses pendidikan itu mulai usia dari dini hingga perguruan tinggi, kok, PT gabung ke ristek?" katanya.

Presiden Jokowi tentunya punya alasan tentang pemecahan atau penggabungan kementerian dan masih terlalu dini untuk menilai kinerja para menteri. Ada program 100 hari yang bisa saja dijadikan acuan awal bagi penilaian awal para menteri.

Pewarta: Oleh Illa Kartila

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014