Jakarta (Antara Babel) - Ketua bidang Konsultasi dan Advokasi Dewan Hortikultura Nasional Toni Kristiantono mengingatkan ketentuan mengenai pembatasan investasi di Undang-undang No. 13 tahun 2010 tentang Hortikultura yang kini tengah dikaji kembali di Mahkamah Konstitusi sangat tidak berpihak kepada petani.

"Pembatasan investasi di hulu pada undang-undang hortikultura akan membuat industri di hilir tidak berkembang, sehingga pada akhirnya akan merugikan bahkan mematikan para petani," kata Toni di Jakarta, Minggu.

Saat ini petani hortikultura di Indonesia jumlahnya sudah mencapai lebih dari 10 juta orang.

Pembatasan investasi sangat tidak mencerminkan keadilan karena hanya akan dinikmati beberapa pengusaha benih lokal saja, sedangkan 10 juta petani akan mengalami kesulitan bahkan mati.

Perusahaan benih hortikultura lokal yang saat ini memiliki sarana breeding (pembiakan) sampai pemuliaan terintegrasi baru segelintir saja, bahkan tidak mencapai 10 perusahaan.

Industri saos tomat, misalnya, apabila pasokan dari petani di Indonesia berkurang tentunya akan beralih kepada produk impor agar produksinya tetap berjalan, akibatnya kehidupan petani tomat akan terancam.

Toni mengaku dirinya ikut terlibat dalam membidani lahirnya Undang-undang Hortikultura, tetapi adanya pasal yang membatasi investasi asing dan berlaku surut di sektor benih dirinya sama sekali tidak mengetahui karena perubahan pasal-pasal di dalamnya terjadi di DPR saat itu.

Menurut dia dengan pembatasan investasi asing apalagi diberlakukan surut di sektor benih akan membuat perusahaan benih yang sebagian besar berasal dari PMA akan merelokasi usahanya di negara lain yang lebih memberikan keleluasaan dalam pengembangan benih.

Apabila hal ini sampai terjadi petani akan kesulitan mendapatkan varietas unggul untuk tanaman hortikultura, pada akhirnya berpengaruh terhadap turunnya volume produksi.

Petani, kata Toni, pada akhirnya hanya mampu menjual produknya langsung ke pasar dan tidak lagi ditampung di industri seperti pada kasus industri saos tomat.

"Kalau panen petani terpaksa gigit jari karena harganya jatuh di pasar, sedangkan untuk masuk ke industri kuotanya tidak mencukupi. Ini menjadi dilema kalau undang-undang tersebut diteruskan," kata Toni.

Toni mengingatkan, Presiden RI Joko Widodo saat memberikan sambutan di forum APEC justru membuka peluang kepada negara-negara anggota APEC agar dapat berinvestasi di Indonesia, sehingga sungguh mengherankan apabila masih ada undang-undang yang melakukan pembatasan investasi asing.

Toni mengingatkan, keberadaan pasal yang membatasi investasi di sektor benih tersebut justru bertentangan dengan hak asasi manusia dan Undang-Undang Dasar 1945, karena akan membuat petani tidak lagi mempunyai pilihan.

"Pembatasan investasi asing sebesar 30 persen hanya bisa dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada usaha kecil dan menengah dengan penjualan di bawah Rp50 miliar," ujar dia.

Toni mengatakan, petani memiliki andil besar dalam pengembangan budi daya produk hortikultura. Mereka mempunyai pilihan untuk memproduksi tanaman sesuai keinginannya.

"Persoalannya kalau tidak ada pilihan, bagaimana nantinya produk tersebut dapat diterima atau diserap pasar," ujar dia mempertanyakan.

Seperti timun apabila di Jawa Barat yang laku di pasar justru yang buahnya kecil, sedangkan di Jawa Timur sebaliknya buah yang besar justru laku di pasaran. Sehingga kalau nanti yang tersedia hanya benih buah yang kecil atau yang besar saja apa tidak membuat petaninya mati," kata Toni.

Memang untuk sektor tertentu pembatasan investasi asing dibutuhkan seperti perkebunan sawit misalnya karena perkebunan ini membutuhkan lahan lebih dari 1.000 hektare. Namun kalau hortikultura saya rasa tidak perlu karena lahan yang dibutuhkan kurang dari 100 hektare, kata Toni.

Sebelumnya hal senada juga dikemukakan Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia Dadi Sudiana. Ia mengatakan, hampir semua petani cabai di Indonesia menggunakan benih berasal dari perusahaan-perusahaan multinasional.

Menurut dia, benih yang diproduksi perusahaan multinasional memiliki keunggulan buahnya lebih banyak dan padat serta hasilnya bagus diminati pasar termasuk industri pengolahan makanan.

Serta yang lebih penting lagi benih yang diproduksi perusahaan multinasional lebih tahan terhadap penyakit dan cocok ditanam diberbagai kondisi lahan, jelas dia.

Pewarta: Oleh: Ganet

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014