Jakarta (Antara Babel) - Setelah pemerintah Indonesia melalui Kejaksaan Agung berhasil mengeksekusi enam terpidana mati kasus narkoba di Nusakambangan dan Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (18/1) dini hari, menyisakan 64 terpidana mati untuk mengikuti antrean eksekusi tersebut.

Di antaranya dua warga negara Australia yang menyelundupkan heroin seberat 8,2 kilogram ke Indonesia atau akrab dikenal "Bali Nine", Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.

Untuk Myran Sukumaran grasinya telah ditolak, sedangkan untuk Andrew Chan permohonan grasinya belum turun. Myuran Sukumaran sendiri sampai sekarang masih berada di LP Grobokan, Bali.

Jika menilik pada peraturan yang ada, kejahatan dilakukan oleh lebih dari satu orang, eksekusinya dilakukan bersama-sama. Artinya, bilamana Presiden Joko Widodo menolak grasi Andrew Chan, berarti eksekusi bisa dilakukan seperti yang dialami enam terpidana mati lainnya.

Nah, yang menjadi pertanyaan, beranikah Indonesia eksekusi mati kedua orang itu? Hal itu tidak terlepas belajar dari pengalaman kasus "Ratu Mariyuana" asal Aussie, Schapelle Leigh Corby, yang pada akhirnya bebas bersyarat setelah divonis kurungan 20 tahun penjara.

Corby mendapatkan pembebasan bersyarat pada tanggal 7 Februari 2014 dan dibebaskan pada tanggal 10 Februari 2014 setelah menjalani sembilan tahun kurungan. Aroma campur tangannya pemerintah Australia dalam pembebasannya sangat kental di mata publik.

Hal tersebut tidak terlepas dari persidangan Ratu Mariyuana itu menarik perhatian publik negara tetangga Indonesia itu.

Kejaksaan Agung menyatakan eksekusi mati dua warga negara Australia yang tergabung dalam kelompok "Bali Nine" penyelundup heroin seberat 8,2 kilogram ke Indonesia masih menunggu putusan grasi Presiden Joko Widodo.

"Saya akan ke staf kepresidenan bahwa masih ada yang ditunggu soal Bali Nine, ketika putusan Presiden sama dengan Sukumaran, ya, kami akan lakukan bersama," kata Jaksa Agung H.M. Prasetyo.

Myuran Sukumaran, anggota Bali Nine, sekarang masih di LP Krobokan, Bali, grasinya sudah ditolak. Yang bersangkutan masih menunggu (grasi) untuk terpidana mati Andrew Chan.

Bali Nine merupakan sembilan warga negara Australia yang ditangkap pada tanggal 17 April 2005 di Bali dalam upayanya menyelundupkan heroin seberat 8,2 kilogram dari Australia.

Kesembilan orang itu, yakni Andrew Chan, Myuran Sukumaran, Si Yi Chen, Michael Czugaj, Renae Lawrence, Tach Duc Thanh Nguyen, Matthew Norman, Scott Rush, dan Martin Stephens.

Pengadilan Negeri Denpasar memvonis Lawrence, Czugaj, Stephens, dan Rush dengan hukuman penjara seumur hidup, sedangkan Sukumaran dan Chan dihukum mati.

Sementara itu, Amnesty Internasional menyatakan bahwa eksekusi pertama hukuman mati di bawah presiden baru Joko Widodo merupakan langkah mundur terhadap hak asasi manusia.

Hal itu diungkapkan Amnesty Internasional yang berkedudukan di London, Inggris, kepada Antara London, Minggu. Lembaga itu menilai eksekusi mati terhadap enam terpidana narkoba di Indonesia merupakan yang pertama sejak Presiden Joko Widodo menjabat.

Direktur Riset Amnesty International untuk Asia Tenggara dan Pasifik Rupert Abbott menyatakan hal itu merupakan langkah mundur dan merupakan hari yang begitu menyedihkan.

Pemerintahan Indonesia yang baru resmi menjabat atas dasar janji-janjinya untuk memperbaiki penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM), tetapi dengan melakukan eksekusi tersebut merupakan kebalikan dari komitmen-komitmennya.

Menurut Amnesty International, mereka yang telah dieksekusi oleh regu tembak, termasuk satu warga negara Indonesia dan lima warga negara asing yang telah dipidana karena kasus narkoba.

Selama 2014, tidak ada eksekusi mati di Indonesia, sedangkan pada tahun ini pemerintah telah mengumumkan akan ada 20 eksekusi mati.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri RI menyatakan bahwa hukuman mati atau eksekusi mati terhadap beberapa terpidana kasus narkoba, baik warga Indonesia maupun warga asing, telah dijalankan oleh pemerintah sesuai dengan standar hukum internasional.

"Dari segi penegakan hukum, eksekusi mati dilaksanakan terhadap kejahatan keji, yaitu pengedaran narkoba. Pelaksanaan hukuman mati juga harus dilihat, itu sudah sesuai dengan prinsip hukum internasional," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir.

Pernyataan Kemlu RI tersebut disampaikan untuk menanggapi bentuk protes yang dilakukan pemerintah Belanda dan Brazil atas eksekusi mati terhadap warganya. Protes itu dilakukan dengan memanggil pulang sementara duta besar kedua negara itu dari Indonesia.

    
Percaya Diri Eksekusi
    
Jaksa Agung RI H.M. Prasetyo meminta pihak-pihak yang tidak menyepakati pelaksanaan eksekusi mati untuk memahami rencana eksekusi terhadap enam terpidana mati secara serentak pada tanggal 18 Januari 2015.

"Mohon bagi pihak yang belum sepakat hukuman mati, kiranya dapat memahami," katanya di Jakarta, Kamis.

Ia menjelaskan apa yang dilakukan untuk eksekusi mati itu tidak lain untuk menyelamatkan kehidupan bangsa dari peredaran narkoba.

Dari eksekusi itu, menunjukkan sikap keras dan tegas hingga akan memberikan dampak preventif atau membuat efek jera pada pelakunya.

"Eksekusi ini juga untuk memberikan pesan kepada para pelaku bahwa Indonesia tidak main-main memerangi kejahatan narkotika," katanya.

Ia menekankan, "Indonesia tidak akan kompromi dengan jaringan sindikat narkoba, Indonesia konsisten keras dan tegas. Tidak ada ampun pada bandar narkoba."
    
Adanya komitmen dari pemerintah Indonesia itu, saat ini publik menunggu aksi berikutnya untuk eksekusi terpidana mati lainnya, khususnya anggota Bali Nine.

Pewarta: Riza Fahriza

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015