Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengingatkan seluruh pihak untuk tidak alergi terhadap perubahan hukum karena hukum adalah kesepakatan masyarakat.
"Hukum adalah resultante, yakni kesepakatan yang dibuat oleh rakyat itu sendiri di dalam negara demokrasi," kata Mahfud saat webinar "Menyikapi Perubahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)", Kamis.
Karena hukum adalah kesepakatan, kata dia, bisa diubah dengan resultante terbaru, apalagi hukum selalu berubah menyesuaikan dengan perubahan masyarakatnya.
Menurut dia, itulah yang sedang dipikirkan pemerintah terkait dengan UU ITE, yakni mempertimbangkan untuk membuat resultante baru, sebagaimana disampaikan Presiden RI Joko Widodo yang meminta untuk merevisi UU ITE.
Mahfud mengakui adanya masukan dari berbagai pihak mengenai efek pasal karet yang membuat persoalan dalam penerapan UU ITE sehingga perlunya merevisi UU tersebut.
"Pasal karet itu artinya bisa ditarik tergantung kebutuhan. Dikencengin bisa, dilonggarkan bisa. Kalau dalam politik, bisa lebih berbahaya karena bisa dipakai pada si A, tetapi tidak dipakai pada si B," ujarnya.
Oleh karena itu, kata Mahfud, pemerintah melihat pentingnya merevisi UU ITE yang tentunya akan dilakukan melalui kajian oleh tim yang sudah dibentuk olehnya selaku Menko Polhukam, yakni Tim Kajian UU ITE.
Pembentukan Tim Kajian UU ITE itu melalui Keputusan Menko Polhukam Nomor 22 Tahun 2021 yang ditandatangani di Jakarta, Senin (22/2).
Tim tersebut diberi waktu kerja 3 bulan hingga 22 Mei 2021 untuk menentukan perlu atau tidaknya revisi UU ITE.
Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal S. Depari mengingatkan keberadaan pasal karet sering memunculkan penafsiran berbeda yang kemudian disalahgunakan untuk menjerat warga.
Ia mengharapkan UU ITE memberikan rasa aman dan keadilan karena seharusnya UU memberi rasa keadilan bagi masyarakat, bukan justru menakut-nakuti warga yang menyampaikan pendapat berbeda dan kritis.
"Check and balance adalah ciri kehidupan demokrasi yang baik. Check and balance terjadi jika kebebasan berbicara, berpendapat, berpikir kritis, serta kemederkaan pers tetap berjalan secara bebas dan bertanggung jawab," pungkas Atal.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2021
"Hukum adalah resultante, yakni kesepakatan yang dibuat oleh rakyat itu sendiri di dalam negara demokrasi," kata Mahfud saat webinar "Menyikapi Perubahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)", Kamis.
Karena hukum adalah kesepakatan, kata dia, bisa diubah dengan resultante terbaru, apalagi hukum selalu berubah menyesuaikan dengan perubahan masyarakatnya.
Menurut dia, itulah yang sedang dipikirkan pemerintah terkait dengan UU ITE, yakni mempertimbangkan untuk membuat resultante baru, sebagaimana disampaikan Presiden RI Joko Widodo yang meminta untuk merevisi UU ITE.
Mahfud mengakui adanya masukan dari berbagai pihak mengenai efek pasal karet yang membuat persoalan dalam penerapan UU ITE sehingga perlunya merevisi UU tersebut.
"Pasal karet itu artinya bisa ditarik tergantung kebutuhan. Dikencengin bisa, dilonggarkan bisa. Kalau dalam politik, bisa lebih berbahaya karena bisa dipakai pada si A, tetapi tidak dipakai pada si B," ujarnya.
Oleh karena itu, kata Mahfud, pemerintah melihat pentingnya merevisi UU ITE yang tentunya akan dilakukan melalui kajian oleh tim yang sudah dibentuk olehnya selaku Menko Polhukam, yakni Tim Kajian UU ITE.
Pembentukan Tim Kajian UU ITE itu melalui Keputusan Menko Polhukam Nomor 22 Tahun 2021 yang ditandatangani di Jakarta, Senin (22/2).
Tim tersebut diberi waktu kerja 3 bulan hingga 22 Mei 2021 untuk menentukan perlu atau tidaknya revisi UU ITE.
Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal S. Depari mengingatkan keberadaan pasal karet sering memunculkan penafsiran berbeda yang kemudian disalahgunakan untuk menjerat warga.
Ia mengharapkan UU ITE memberikan rasa aman dan keadilan karena seharusnya UU memberi rasa keadilan bagi masyarakat, bukan justru menakut-nakuti warga yang menyampaikan pendapat berbeda dan kritis.
"Check and balance adalah ciri kehidupan demokrasi yang baik. Check and balance terjadi jika kebebasan berbicara, berpendapat, berpikir kritis, serta kemederkaan pers tetap berjalan secara bebas dan bertanggung jawab," pungkas Atal.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2021