Jakarta (Antara Babel) - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly menyatakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara telah berada di luar kewenangan karena memutuskan pembatalan SK Menkumham mengenai pengesahan kepengurusan Partai Golkar di bawah kepemimpinan Agung Laksono.
"Kami akan mempelajari dahulu keputusan itu. Apalagi, ada ultrapetita (penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau mememutus melebihi dari pada yang diminta). Bahkan, PTUN membahas dan meluruskan sesuatu yang seharus di luar kewenangannya tentang pilkada dan lain-lain. Tampaknya hakimnya terlalu bersemangat," kata Yasonna melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Senin.
Pada hari ini, PTUN Jakarta yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Teguh Satya Bhakti dengan anggota Subur dan Tri Cahya Indra Permana memutuskan mengabulkan gugatan penggugat, yaitu kubu Aburizal Bakrie untuk sebagian, kemudian menyatakan batal Surat Keputusan (SK) Menkumham mengenai pengesahan Golkar versi musyawarah nasional (Munas) Ancol yang dipimpin Agung Laksono.
"Hakim tidak memberi pertimbangan yang cukup tentang hasil Mahkamah Partai Golkar dan saksi-saksi yang diajukan pemerintah," tambah Yasonna.
Namun, Yasonna belum memutuskan opsi hukum yang akan dilakukan oleh Kemenkumham.
"Kita lihat nanti saja," kata Yasonna.
Yasonna mengutarakan bahwa seharusnya PTUN hanya memutuskan mengenai Surat Keputusan Menkumham pada tanggal 23 Maret 2015.
"Tadi ada kata 'meluruskan' seharusnya kan memutuskan. Seharusnya hanya soal SK Menkumham pada tanggal 23 Maret itu, tidak merembet ke mana-mana. Apa susah sesuai dengan keputusan Mahkamah Partai atau tidak," katanya.
Yasonna menegaskan, "PTUN tidak berwenang menilai apa yang sudah diputuskan Mahkamah Partai Golkar (MPG). Itu di luar kewenangan TUN. TUN seharusnya hanya menilai apa saya sudah memutuskan sesuai dengan Keputusan MPG atau tidak."
Artinya, menurut Yasonna putusan tersebut terlalu "bersemangat".
"Kami pelajari dahulu. Kok, putusannya terlalu 'bersemangat' dan merembet ke mana-mana? Jadi, harus didalami dahulu, kok, begini?" kata Yasonna.
Hakim dalam putusannya meminta Menkumham menarik SK yang mengesahkan kepengurusan Golkar di bawah kepemimpinan Agung Laksono.
Sementara itu, tergugat intervensi, yaitu kubu Agung Laksono ditolak seluruh eksepsinya dan diwajibkan membayar biaya perkara pengadilan PTUN.
Kuasa hukum Aburizal Bakrie, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan dengan putusan PTUN ini, kepengurusan Golkar kembali pada hasil Munas Riau.
Ini adalah kali kedua Kemenkumham kalah terkait dengan sengketa partai di PTUN.
Sebelumnya, pada bulan Maret 2015, hakim PTUN yang memenangkan gugatannya kubu Suryadharma dalam sengketa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menggugat keputusan Menkumham Nomor M.HH.07.11.01 Tahun 2014 tentang Pengesahan Perubahan Kepengurusan DPP PPP pada tanggal 28 Oktober 2014.
Keputusan Menkumham itu menyatakan bahwa Ketua Umum PPP adalah M. Romahurmuziy yang merupakan hasil Muktamar VIII PPP di Surabaya, Jawa Timur. Namun, hakim PTUN memenangkan gugatan Suryadharma yang membatalkan keputusan Menkumham tentang Perubahan Pengurusan DPP PPP itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015
"Kami akan mempelajari dahulu keputusan itu. Apalagi, ada ultrapetita (penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau mememutus melebihi dari pada yang diminta). Bahkan, PTUN membahas dan meluruskan sesuatu yang seharus di luar kewenangannya tentang pilkada dan lain-lain. Tampaknya hakimnya terlalu bersemangat," kata Yasonna melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Senin.
Pada hari ini, PTUN Jakarta yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Teguh Satya Bhakti dengan anggota Subur dan Tri Cahya Indra Permana memutuskan mengabulkan gugatan penggugat, yaitu kubu Aburizal Bakrie untuk sebagian, kemudian menyatakan batal Surat Keputusan (SK) Menkumham mengenai pengesahan Golkar versi musyawarah nasional (Munas) Ancol yang dipimpin Agung Laksono.
"Hakim tidak memberi pertimbangan yang cukup tentang hasil Mahkamah Partai Golkar dan saksi-saksi yang diajukan pemerintah," tambah Yasonna.
Namun, Yasonna belum memutuskan opsi hukum yang akan dilakukan oleh Kemenkumham.
"Kita lihat nanti saja," kata Yasonna.
Yasonna mengutarakan bahwa seharusnya PTUN hanya memutuskan mengenai Surat Keputusan Menkumham pada tanggal 23 Maret 2015.
"Tadi ada kata 'meluruskan' seharusnya kan memutuskan. Seharusnya hanya soal SK Menkumham pada tanggal 23 Maret itu, tidak merembet ke mana-mana. Apa susah sesuai dengan keputusan Mahkamah Partai atau tidak," katanya.
Yasonna menegaskan, "PTUN tidak berwenang menilai apa yang sudah diputuskan Mahkamah Partai Golkar (MPG). Itu di luar kewenangan TUN. TUN seharusnya hanya menilai apa saya sudah memutuskan sesuai dengan Keputusan MPG atau tidak."
Artinya, menurut Yasonna putusan tersebut terlalu "bersemangat".
"Kami pelajari dahulu. Kok, putusannya terlalu 'bersemangat' dan merembet ke mana-mana? Jadi, harus didalami dahulu, kok, begini?" kata Yasonna.
Hakim dalam putusannya meminta Menkumham menarik SK yang mengesahkan kepengurusan Golkar di bawah kepemimpinan Agung Laksono.
Sementara itu, tergugat intervensi, yaitu kubu Agung Laksono ditolak seluruh eksepsinya dan diwajibkan membayar biaya perkara pengadilan PTUN.
Kuasa hukum Aburizal Bakrie, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan dengan putusan PTUN ini, kepengurusan Golkar kembali pada hasil Munas Riau.
Ini adalah kali kedua Kemenkumham kalah terkait dengan sengketa partai di PTUN.
Sebelumnya, pada bulan Maret 2015, hakim PTUN yang memenangkan gugatannya kubu Suryadharma dalam sengketa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menggugat keputusan Menkumham Nomor M.HH.07.11.01 Tahun 2014 tentang Pengesahan Perubahan Kepengurusan DPP PPP pada tanggal 28 Oktober 2014.
Keputusan Menkumham itu menyatakan bahwa Ketua Umum PPP adalah M. Romahurmuziy yang merupakan hasil Muktamar VIII PPP di Surabaya, Jawa Timur. Namun, hakim PTUN memenangkan gugatan Suryadharma yang membatalkan keputusan Menkumham tentang Perubahan Pengurusan DPP PPP itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015