Seiring penularan kasus akibat infeksi SARS-CoV-2 yang masih terjadi, mutasi virus pun terjadi dan memunculkan varian baru. Tercatat sudah lebih dari dua varian dari mutasi tipe SARS-CoV-2 sepanjang tahun 2021, salah satunya Omicron atau B.1.1.529 sebagai varian terbaru.

Penelitian dari University of London College yang dilakukan Prof. Francois Balloux pernah menyebutkan ada dua jenis Omicron yaitu BA.1 dan BA.2 yang ke duanya sangat berbeda. Namun hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Omicron sebagai variant of concern pada 26 November lalu. Sejak saat itu, mutasi virus ini muncul di lebih dari 90 negara termasuk Indonesia yang kasus pertamanya ditemukan 16 Desember 2021.

Kasus varian Omicron terdeteksi pada seorang petugas kebersihan yang bekerja di RSDC, Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta. Dia yang berisial N tertular dari WNI yang melakukan karantina di Wisma Atlet usai bepergian dari Nigeria.

Dari sisi penularan, varian Omicron diketahui lebih mudah menyebar ketimbang varian lainnya selama pandemi. Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) Dr. Rochelle Walensky, mengatakan data awal menunjukkan prevalensi omicron berlipat ganda setiap dua hingga tiga hari.

Hal ini menujukkan jauh lebih cepat daripada varian Delta yang pada puncaknya memiliki waktu dua kali lipat sekitar tujuh hari.

Pakar kesehatan menyebut, masih terlalu dini untuk menyebut Omicron menyebabkan COVID-19 yang parah. Sebuah studi dari Afrika Selatan menemukan, risiko rawat inap untuk orang dewasa sekitar 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan gelombang Delta.

Tetapi studi dari ICL menemukan, Omicron tidak menunjukkan tanda-tanda lebih ringan dari Delta.

Dalam sebuah pernyataan baru-baru ini, WHO juga menyatakan masih terlalu dini untuk mengatakan Omicron menyebabkan penyakit yang lebih ringan atau parah.

Sejauh ini, baru satu kematian dari varian Omicron yang telah diidentifikasi yakni seorang pria Texas yang tidak divaksinasi berusia 50 tahunan. Namun, perlu dicatatm tidak semua kematian terkait COVID dilaporkan ke otoritas kesehata

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan, Omicron mengandung delesi dan lebih dari 30 mutasi, seperti 6970del, T95I, G142D/143145del, K417N, T478K, N501Y, N655Y, N679K, dan P681H yang serupa dengan mutasi pada varian Alpha, Beta, Gamma, atau Delta, yang mungkin menyebabkan peningkatan angka penularan, peningkatan "viral binding affinity" dan juga peningkatan luput dari antibodi.

Kendati termasuk varian yang perlu orang-orang waspadai, namun menurut dia, tak perlu diartikan sebagai varian yang menjadikan panik, walaupun nanti kasus Omicron dapat bertambah lagi di Indonesia.

Sebelum Omicron, pada April lalu ditemukan mutasi virus corona Eek atau E484K yang pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan dan Brasil, kemudian meneybar ke sejumlah wilayah termasuk Jepang dan Indonesia (pada Februari 2021).

Pakar kesehatan berpendapat, mutasi Eek ini termasuk sesuatu yang mengkhawatirkan karena ada kemugkinan berdampak pada respon sistem imun tubuh.

Mutasi ini juga memiliki kemampuan menghindari kekebalan alami dari infeksi COVID-19 sebelumnya dan mengurangi perlindungan yang diberikan vaksin. Eek mengubah protein spike virus asli sehingga lebih mudah mengikat dan membentuk koneksi yang lebih kuat ke sel inang sehingga inilah yang membuatnya lebih menular.

Sama seperti Omicron, pencegahan agar tak terkena mutasi ini yakni dengan menerapkan protokol kesehatan sembari melakukan penelurusan kontak intesif pada keadaan khusus oleh petugas kesehatan.

Di sisi lain, otoritas berwenang pun perlu mengawasi ketat kedatangan orang dan luar negeri dan meningkatkan jumlah pemeriksaan whole genome sequencing atau pengurutan keseluruhan genom untuk menentukan urutan DNA lengkap.

Selain Eek dan Omicron, sebelumnya pada Maret 2021, varian le variant breton ditemukan oleh otoritas kesehatan Prancis yang menurut mereka lebih sulit dideteksi walaupun tampaknya lebih menular dibandingkan varian lainnya.

Varian ini bahkan mampu menghindari pengujian PCR sama seperti strain bernama Fin-796H yang ditemukan peneliti Finlandia.

Sebelumnya, ada juga varian AY.4.2. yang menurut sebagian pakar kesehatan termasuk turunan dari varian Delta. Data di Inggris menunjukkan AY.4 pernah menjadi sekitar 63 persen dari kasus baru negara itu dalam waktu sebulan.

Setidaknya sebanyak 42 negara melaporkan varian ini. Dari sisi dampak, AY.4.2. tampaknya sekitar 10-15 persen lebih menular.

Varian lainnya yakni Delta atau B.1.617.2 dengan penyebaran sangat cepat lebih daripada varian Alpha yang pertama kali ditemukan di India pada akhir tahun 2020. Varian ini pertama kali terdeteksi di Indonesia pada awal tahun 2021.

Pakar epidemiologi dari Yale Medicine F. Perry Wilson, MD mengatakan Delta menyebar 50 persen lebih cepat daripada Alpha dengan 50 persen lebih menular daripada strain asli SARS-CoV-2.

Selain itu, varian yang digolongkan WHO sebagai variantsof concern ini dapat menyebabkan kasus yang lebih parah dibandingkan varian lainnya, ungkap CDC.

Dalam lingkungan tidak ada yang divaksinasi atau memakai masker, diperkirakan rata-rata orang terinfeksi jenis virus corona asli akan menginfeksi 2,5 orang lainnya. Dalam lingkungan yang sama, Delta akan menyebar dari satu orang ke mungkin 3,5 atau 4 orang lainnya," ujar Wilson.

Sebuah penelitian dari Inggris menunjukkan, anak-anak dan orang dewasa di bawah 50 tahun 2,5 kali lebih mungkin terinfeksi Delta, ungkap pakar penyakit menular di Yale Medicine Inci Yildirim, MD, PhD.

Dari sisi dampak untuk tubuh, ada laporan yang menyatakan gejala berbeda dari jenis virus corona asli. Yildirim mengatakan, pasien lebih mengalami sakit kepala, sakit tenggorokan, pilek, dan demam ketimbang batuk dan kehilangan penciuman yang kurang umum ditemukan akibat varian ini.

Pakar menyakit menular dari Mayo Clinic, Nipunie Rajapakse, M.D., pernah menyatakan karena penyebarannya jauh lebih mudah daripada versi COVID-19 maka semakin banyak orang yang sakit, dirawat di rumah sakit dan meninggal.

Walaupun varian Delta mengkhawatirkan karena lebih mudah menular, tetapi kabar baiknya, vaksin COVID-19 masih sangat protektif terhadap infeksi mencegah kasus berat.

Menurut Rajapakse, jika seseorang yang divaksinasi terinfeksi COVID-19, ada kemungkinan mereka menularkannya kepada orang lain. Namun, untungnya vaksin secara signifikan mengurangi risiko seseorang terinfeksi yang kemudian mengurangi risiko dia menularkannya.

Dokter spesialis patologi klinik dari Universitas Surabaya (Ubaya) dr. Diane Lukito Setiawan Sp.PK mengatakan, virus termasuk SARS-CoV-2 memiliki kemampuan untuk mempertahankan hidupnya melalui sistem mutasi, yaitu dengan meloloskan diri dari sistem imun yang ada pada tubuh manusia ataupun antibodi yang didapat melalui vaksinasi.

Hingga saat ini, upaya pencegahan yang paling optimal melalui target vaksinasi dengan dosis penuh tercapai di masyarakat diiringi pelaksanaan protokol kesehatan yang dilakukan secara berkelanjutan yakni mengenakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, mengurangi mobilitasi dan menghindari makan bersama.

Tes PCR masih merupakan standar baku dalam mendeteksi virus SARS-CoV-2 dan beberapa virus lainnya seperti HIV dan Hepatitis.

"Namun untuk mendeteksi sejumlah varian COVID-19 yang ada perlu tindakan lanjutan whole genome sequencing (WGS) yang dilakukan pada spesimen dengan hasil PCR positif, kata dokter yang berpraktik di Siloam Hospital Surabaya itu dalam keterangan tertulisnya.

Selain itu, otoritas berwenang juga perlu memperketat kemungkinan tambahan kasus lagi dari luar negeri, dengan membatasi orang yang masuk dan melakukan karantina ketat sampai 14 hari dan tak membiarkan ada yang lolos dengan berbagai alasan.
 

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2021