Jakarta (Antara Babel) - Tiga anggota Polsek Pasirian yang diperiksa
dalam dugaan suap penambangan ilegal di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan
Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, mengaku menerima setoran uang
suap dari aktivitas tambang pasir ilegal selama enam bulan.
"Dari pengakuan, baru enam bulan. Tapi pertambangannya sudah setahun, sejak awal 2014," kata Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadivpropam) Polri Irjen Budi Winarso di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, Divpropam sudah memeriksa ketiganya. "Ketiganya sudah kami periksa. Kanit kan sudah tahu bahwa itu penambangan ilegal tapi kenapa tidak dihentikan," ujarnya.
Budi menyebut oknum penerima suap dari aktivitas tambang ilegal di wilayah ini bukan hanya polisi.
"Bukan polisi saja oknumnya, tapi macam-macam. Mereka mengambil jatah preman. Apa pun alasannya, tidak boleh. Makanya kita periksa," tegas Budi.
Dari hasil pemeriksaan, ketiganya diketahui menggunakan modus patroli harian untuk menerima uang setoran.
Budi menjelaskan ketiganya adalah Kapolsek, Kanit Serse dan Babinkamtibmas.
Pemeriksaan ketiganya dilakukan sebagai bagian dari pengusutan kasus pembunuhan aktivis antitambang Salim Kancil.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti membantah ketiga polisi itu teribat dalam kematian Salim Kancil.
"Ini tidak ada kaitannya (dengan pembunuhan Salim Kancil). Kita harus ada fakta hukum. Beda antara suap dan pembunuhan. Kalau ada fakta hukum mengatakan seperti itu pasti akan kita cari," ujar Badrodin.
Dua warga Desa Selok Awar-awar, Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Salim Kancil dan Tosan dianiaya sekelompok orang karena menolak kegiatan penambangan pasir ilegal di sekitar Pantai Watu Pecak, Kabupaten Lumajang.
Akibatnya, pada Sabtu, 26 September 2015, Salim Kancil meninggal dunia, sedangkan Tosan kritis.
Polda Jawa Timur telah menetapkan 37 tersangka dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan kedua aktivis antitambang ini.
24 orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Salim Kancil dan penganiayaan Tosan, sedangkan 13 tersangka lainnya tersangka kasus tambang ilegal.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015
"Dari pengakuan, baru enam bulan. Tapi pertambangannya sudah setahun, sejak awal 2014," kata Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadivpropam) Polri Irjen Budi Winarso di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, Divpropam sudah memeriksa ketiganya. "Ketiganya sudah kami periksa. Kanit kan sudah tahu bahwa itu penambangan ilegal tapi kenapa tidak dihentikan," ujarnya.
Budi menyebut oknum penerima suap dari aktivitas tambang ilegal di wilayah ini bukan hanya polisi.
"Bukan polisi saja oknumnya, tapi macam-macam. Mereka mengambil jatah preman. Apa pun alasannya, tidak boleh. Makanya kita periksa," tegas Budi.
Dari hasil pemeriksaan, ketiganya diketahui menggunakan modus patroli harian untuk menerima uang setoran.
Budi menjelaskan ketiganya adalah Kapolsek, Kanit Serse dan Babinkamtibmas.
Pemeriksaan ketiganya dilakukan sebagai bagian dari pengusutan kasus pembunuhan aktivis antitambang Salim Kancil.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti membantah ketiga polisi itu teribat dalam kematian Salim Kancil.
"Ini tidak ada kaitannya (dengan pembunuhan Salim Kancil). Kita harus ada fakta hukum. Beda antara suap dan pembunuhan. Kalau ada fakta hukum mengatakan seperti itu pasti akan kita cari," ujar Badrodin.
Dua warga Desa Selok Awar-awar, Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Salim Kancil dan Tosan dianiaya sekelompok orang karena menolak kegiatan penambangan pasir ilegal di sekitar Pantai Watu Pecak, Kabupaten Lumajang.
Akibatnya, pada Sabtu, 26 September 2015, Salim Kancil meninggal dunia, sedangkan Tosan kritis.
Polda Jawa Timur telah menetapkan 37 tersangka dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan kedua aktivis antitambang ini.
24 orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Salim Kancil dan penganiayaan Tosan, sedangkan 13 tersangka lainnya tersangka kasus tambang ilegal.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015