Dokter spesialis kesehatan jiwa, Erickson Arthur Siahaan mengatakan perawatan diri (self care) perlu dilakukan agar terhindar dari kecemasan dan depresi, salah satunya dengan mendengarkan musik yang menenangkan.
"Meskipun kita punya referensi jenis musik yang berbeda-beda, pilihlah jenis musik yang menenangkan dan membuat anda lebih bersemangat," katanya dalam webinar dengan tema "Bagaimana Sembuh dari Trauma Pandemi COVID-19" yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Erickson menjelaskan musik sudah lama dikenal sebagai salah satu bentuk seni yang memiliki sifat menyembuhkan. Mendengarkan musik yang tenang bisa meredakan kecemasan, memperbaiki suasana hati dan memperlambat detak jantung.
"Sebuah studi di Jerman menyatakan bahwa bernyanyi bersama dengan lagu yang riang, ternyata bisa meningkatkan Immunoglobin A untuk daya tahan tubuh," ucapnya.
Ia menambahkan dengan mendengarkan musik atau sesuatu yang membuat senang bisa membuat tubuh lebih rileks dan mengurangi kecemasan.
Selain itu, menulis jurnal tentang apa yang sedang dirasakan dan melakukan relaksasi seperti mengatur pernapasan juga merupakan bentuk perawatan diri untuk menghindari kecemasan.
Aktivis PDSKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia) ini mengatakan pandemi COVID-19 tidak hanya berdampak pada kondisi fisik, tapi juga berdampak pada kondisi psikologis, seperti perasaan takut, perubahan nafsu makan, sulit tidur, dan memburuknya masalah kesehatan.
Erickson mengakui tenaga kesehatan adalah kelompok yang paling berisiko mengalami dampak psikologis akibat paparan pandemi COVID-19. Beberapa penyebabnya adalah tuntutan pekerjaan yang tinggi, stigmatisasi dan rasa takut menularkan virus.
"Stres yang tidak dapat ditoleransi atau dikontrol dengan baik pada beberapa orang bisa menimbulkan trauma atau disebut PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)," ucap Erickson.
PTSD bisa terjadi jika orang atau petugas kesehatan yang mengalami paparan ekstrem seperti sering menyaksikan kematian dan pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) yang membatasi ruang gerak dalam waktu yang lama.
Dokter lulusan psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) ini mengatakan ada beberapa cara untuk pulih dari trauma tersebut, salah satunya dengan mengakui dan menerima perasaan tidak nyaman dan meyakini hidup tidak harus baik-baik saja.
"Hal yang harus dilakukan adalah kita harus mengakui dan menerima perasaan yang tidak nyaman, bahwa kita tidak harus baik-baik saja, bisa merasa down (rendah), merasa nangis," ucap Erickson.
Ia juga menyarankan untuk meluangkan waktu beristirahat, bermain bersama keluarga atau kerabat dan belajar memahami diri sendiri, karena ada saatnya orang lain tidak bisa membantu.
"Belajar untuk bisa mengenali setiap reaksi-reaksi dan emosi yang kita rasakan, jangan disangkal, justru kita perlu berdamai pada setiap emosi kita," ucapnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2022
"Meskipun kita punya referensi jenis musik yang berbeda-beda, pilihlah jenis musik yang menenangkan dan membuat anda lebih bersemangat," katanya dalam webinar dengan tema "Bagaimana Sembuh dari Trauma Pandemi COVID-19" yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Erickson menjelaskan musik sudah lama dikenal sebagai salah satu bentuk seni yang memiliki sifat menyembuhkan. Mendengarkan musik yang tenang bisa meredakan kecemasan, memperbaiki suasana hati dan memperlambat detak jantung.
"Sebuah studi di Jerman menyatakan bahwa bernyanyi bersama dengan lagu yang riang, ternyata bisa meningkatkan Immunoglobin A untuk daya tahan tubuh," ucapnya.
Ia menambahkan dengan mendengarkan musik atau sesuatu yang membuat senang bisa membuat tubuh lebih rileks dan mengurangi kecemasan.
Selain itu, menulis jurnal tentang apa yang sedang dirasakan dan melakukan relaksasi seperti mengatur pernapasan juga merupakan bentuk perawatan diri untuk menghindari kecemasan.
Aktivis PDSKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia) ini mengatakan pandemi COVID-19 tidak hanya berdampak pada kondisi fisik, tapi juga berdampak pada kondisi psikologis, seperti perasaan takut, perubahan nafsu makan, sulit tidur, dan memburuknya masalah kesehatan.
Erickson mengakui tenaga kesehatan adalah kelompok yang paling berisiko mengalami dampak psikologis akibat paparan pandemi COVID-19. Beberapa penyebabnya adalah tuntutan pekerjaan yang tinggi, stigmatisasi dan rasa takut menularkan virus.
"Stres yang tidak dapat ditoleransi atau dikontrol dengan baik pada beberapa orang bisa menimbulkan trauma atau disebut PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)," ucap Erickson.
PTSD bisa terjadi jika orang atau petugas kesehatan yang mengalami paparan ekstrem seperti sering menyaksikan kematian dan pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) yang membatasi ruang gerak dalam waktu yang lama.
Dokter lulusan psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) ini mengatakan ada beberapa cara untuk pulih dari trauma tersebut, salah satunya dengan mengakui dan menerima perasaan tidak nyaman dan meyakini hidup tidak harus baik-baik saja.
"Hal yang harus dilakukan adalah kita harus mengakui dan menerima perasaan yang tidak nyaman, bahwa kita tidak harus baik-baik saja, bisa merasa down (rendah), merasa nangis," ucap Erickson.
Ia juga menyarankan untuk meluangkan waktu beristirahat, bermain bersama keluarga atau kerabat dan belajar memahami diri sendiri, karena ada saatnya orang lain tidak bisa membantu.
"Belajar untuk bisa mengenali setiap reaksi-reaksi dan emosi yang kita rasakan, jangan disangkal, justru kita perlu berdamai pada setiap emosi kita," ucapnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2022