Pangkalpinang (ANTARA) - Belum genap enam bulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, kebijakan efisiensi anggaran menjadi sorotan tajam di tengah gonjang-ganjing politik dan ekonomi Indonesia. Salah satu kebijakan yang diterapkan adalah efisiensi terkait belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD yang tertuang pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025.
Dalam Inpres tersebut, Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan pemerintah pusat dan daerah menargetkan efisiensi sebesar Rp306,7 triliun, dengan Rp256,1 triliun untuk belanja kementerian dan Rp50,59 triliun untuk transfer ke daerah.
Efisiensi anggaran ini dilakukan dengan mengurangi anggaran beberapa instansi dan biaya program tertentu yang menjadi prioritas pemerintah, salah satunya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Meski bertujuan untuk meningkatkan efektivitas keuangan negara, kebijakan ini menuai pro dan kontra di masyarakat karena dianggap tidak selaras dengan kebutuhan publik.
Dilansir dari Bangkapos.com, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Bangka Belitung (UBB), Devi Valeriani juga menyebut, tentunya tujuan pemerintah menerapkan kebijakan tersebut adalah penggunaan sumber daya finansial yang terbatas dengan harapan memperoleh
hasil yang optimal.
“Artinya setiap pengelolaan anggaran daerah harus memiliki strategi yang luwes dalam pemanfaatan kondisi efisiensi tersebut,” tulis Devi, Senin (3/3/2025).
Cukup berbeda cara pemerintah menjalankan program pembangunan di tahun 2025 ini. Beberapa pemangkasan terjadi pada sektor infrastruktur, sosial, kesehatan dan pendidikan, membuat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi menjadi terhambat.
“Belum lagi dengan fiskal yang sangat terbatas tersebut akan memberikan pengaruh terhadap program-program yang telah direncanakan tahun sebelumnya. Beberapa infrastruktur sebagai sarana penunjang pembangunan daerah bahkan tidak bisa dianggarkan pembangunannya pada tahun ini,” lanjutnya.
Bangka Belitung termasuk wilayah yang berdampak dari adanya pemangkasan anggaran tersebut.
Dilansir pula dari Posbelitung.com, Gubernur Bangka Belitung terpilih Hidayat Arsani akan menerapkan efisiensi anggaran di lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Hidayat memastikan nantinya akan mengurangi anggaran yang tidak berdampak secara langsung terhadap Masyarakat.
“Ada anggaran yang tidak efektif maka akan kita kurangi, ini berlaku tidak hanya di Bangka Belitung, tapi seluruh Indonesia. Suka tidak suka, ada proyek yang tidak efektif, tidak menguntungkan rakyat, dengan memohon maaf sebesar-besarnya akan kita potong, pangkas,” tegas Hidayat Arsani, Selasa (15/4/2025).
Langkah efisiensi yang nantinya akan diterapkan di lingkungan Pemprov Babel, lanjut Hidayat Arsani, juga berlaku untuk dirinya sendiri.
“Termasuk anggaran saya yang begitu besar, akan kita pangkas. Beri kesempatan kepada saya satu tahun ini, mudah-mudahan semua akan lancar,” tuturnya.
Perekonomian Bangka Belitung yang selama ini bergantung pada pertambangan dan pariwisata, memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, dengan dipotongnya anggaran pemerintah, dapat menghambat proyek pembangunan pada sektor-sektor tersebut.
Misalnya saja pada sektor pariwisata. Jika efisiensi anggaran menghambat pembangunan dan pemeliharaan tempat wisata, maka dapat menurunkan kualitasnya sehingga mengurangi minat wisatawan untuk berkunjung. Buruh bangunan, seperti pekerja jalan, juga turut terdampak jika pemerintah hanya menyediakan anggaran yang minim untuk pembangunan infrastruktur. Hal ini tentu menyebabkan terbatasnya lapangan pekerjaan, sehingga mengurangi kesempatan kerja bagi buruh di sektor tersebut. Bahkan nelayan kecil juga terdampak karena penjual kerupuk tidak lagi membeli ikan seperti biasa. Hal ini disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat akibat berkurangnya pendapatan, seperti pemotongan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP).
Hal tersebut membuat banyak masyarakat Bangka Belitung berpenghasilan kecil bahkan kehilangan pekerjaan. Sehingga, beralih mencari timah yang pada akhirnya juga berdampak pada kerusakan alam.
Jika efisiensi anggaran justru menyebabkan banyak masyarakat Bangka Belitung kehilangan pekerjaan, sektor wisata merosot, dan alam rusak karena masyarakat terpaksa kembali menambang timah, masihkah kita menyebut kebijakan ini sebagai langkah yang tepat?
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung