Pangkalpinang (ANTARA) - Memasuki tahun 2025, Indonesia dihadapkan pada tantangan ekonomi global yang semakin kompleks. Ketegangan geopolitik yang berkepanjangan serta ancaman perlambatan ekonomi dunia mengharuskan pemerintah untuk mengelola keuangan negara secara lebih bijak dan efisien.
Dalam kondisi ini, meningkatkan pendapatan negara saja tidak cukup, yang tak kalah penting adalah memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan benar-benar memberi manfaat nyata bagi masyarakat luas.
Presiden Prabowo Subianto, melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, menekankan pentingnya efisiensi anggaran nasional dengan target penghematan sebesar Rp306,69 triliun. Angka ini mencakup penghematan belanja kementerian/lembaga sebesar Rp256,1 triliun serta penyesuaian transfer ke daerah sebesar Rp50,59 triliun.
Kebijakan ini bukan semata-mata bentuk pemangkasan anggaran, melainkan strategi untuk mengalihkan belanja yang kurang produktif ke arah program-program prioritas yang berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sejumlah pos belanja yang dinilai kurang mendukung kinerja pelayanan publik menjadi sasaran utama efisiensi. Pengadaan alat tulis kantor, suvenir, percetakan, sewa gedung dan kendaraan, serta perjalanan dinas dan rapat mengalami penurunan signifikan. Bahkan pengeluaran pada pos “lain-lain” yang selama ini kurang terdefinisi secara spesifik juga dikurangi secara substansial. Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah pusat dalam menjalankan efisiensi secara sistematis dan terukur.
Namun demikian, tantangan sesungguhnya terletak pada pelaksanaan kebijakan ini di tingkat pemerintah daerah. Tanpa peran serta dan komitmen kuat dari pemerintah daerah, kebijakan efisiensi anggaran hanya akan menjadi dokumen normatif tanpa dampak nyata di lapangan.
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2023 mencatat bahwa lebih dari 60 persen belanja pemerintah daerah masih didominasi oleh belanja rutin, terutama perjalanan dinas dan rapat-rapat yang tidak efektif. Sebagai ilustrasi, di Kabupaten Sikka, alokasi anggaran untuk program pemberdayaan petani jauh lebih kecil dibandingkan biaya rapat antarlembaga yang kerap tidak menghasilkan keputusan strategis. Ketimpangan semacam ini menggambarkan perlunya penataan ulang prioritas belanja yang lebih berorientasi pada pelayanan publik.
Selain itu, data dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) menunjukkan bahwa hanya sekitar 35 persen pemerintah kabupaten/kota yang secara konsisten memublikasikan anggaran mereka secara lengkap dan tepat waktu. Minimnya transparansi ini turut memperlemah partisipasi publik dalam pengawasan anggaran dan membuka celah terhadap inefisiensi.
Karena itu, efisiensi anggaran harus berjalan seiring dengan reformasi birokrasi di daerah. Pemerintah pusat memegang peran strategis dalam memastikan bahwa arah kebijakan anggaran daerah selaras dengan prioritas pembangunan nasional.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) perlu memperkuat sistem evaluasi dan pendampingan teknis terhadap pemerintah daerah, agar penyusunan dan pelaksanaan anggaran lebih fokus pada hasil yang dapat dirasakan masyarakat. Pendampingan ini perlu dilakukan secara menyeluruh, mulai dari tahap perencanaan hingga pelaporan dan evaluasi.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) juga memegang peran penting dalam mendorong budaya kerja yang berorientasi pada hasil. Penilaian kinerja aparatur daerah perlu lebih berbasis pada capaian nyata, bukan sekadar kepatuhan administratif. Daerah yang berhasil menerapkan efisiensi dan inovasi seharusnya mendapat insentif, baik dalam bentuk penghargaan maupun dukungan anggaran tambahan.
Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) perlu mengaitkan pencairan dana transfer ke daerah, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), dengan capaian program dan bukan semata-mata pada kelengkapan dokumen administratif. Dengan pendekatan berbasis kinerja ini, pemanfaatan dana dapat menjadi lebih efektif dan akuntabel.
Salah satu kendala utama yang perlu segera ditangani adalah belum optimalnya implementasi Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD). Lebih dari 120 daerah tercatat belum memanfaatkan SIPD secara maksimal. Padahal, sistem ini penting untuk meningkatkan transparansi dan akurasi dalam pengelolaan anggaran daerah. Pemerintah pusat perlu menetapkan batas waktu yang tegas dan memberikan pendampingan teknis agar seluruh daerah dapat segera menerapkan SIPD secara menyeluruh.
Indonesia juga dapat belajar dari praktik internasional. Korea Selatan, misalnya, mampu menekan belanja konsumtif selama krisis ekonomi 1990-an dengan melibatkan masyarakat dalam proses pengawasan anggaran. Australia bahkan telah mengembangkan platform digital yang memungkinkan publik memantau anggaran pemerintah secara real-time.
Indonesia perlu menempuh langkah serupa dengan membangun sistem yang memperkuat transparansi dan mendorong partisipasi masyarakat, terutama di tingkat lokal.
Efisiensi anggaran bukan sekadar penghematan fiskal, melainkan juga refleksi integritas dan komitmen moral pemerintah dalam mengelola uang rakyat. Seperti yang pernah disampaikan oleh Bung Hatta, “Pemerintah harus berdiri di atas kaki rakyatnya, bukan membebani pundaknya.” Maka dari itu, efisiensi adalah bagian dari tanggung jawab moral dalam membangun tata kelola pemerintahan yang lebih adil, efektif, dan berpihak pada rakyat.
Sebagai mahasiswa hukum yang mempelajari prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, saya percaya bahwa keberhasilan efisiensi anggaran tahun 2025 bergantung pada sinergi semua pemangku kepentingan. Untuk itu, berikut lima langkah konkret yang saya usulkan:
1. Kemendagri memperkuat pendampingan teknis dan pengawasan terhadap penyusunan dan pelaksanaan anggaran daerah.
2. KemenPAN-RB meningkatkan pelatihan efisiensi birokrasi berbasis digital serta memperketat evaluasi kinerja berbasis hasil.
3. Kemenkeu menerapkan mekanisme insentif berbasis kinerja dalam penyaluran dana transfer ke daerah.
4. DPRD dan Inspektorat Daerah memperkuat pengawasan anggaran dengan sistem pelaporan yang terbuka dan dapat diakses masyarakat.
5. Masyarakat sipil dan media lokal lebih aktif dalam mengawal proses penganggaran dan meningkatkan literasi publik tentang anggaran daerah.
Selain itu, penguatan sistem informasi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia di daerah menjadi kunci. Jika dilakukan dengan konsisten, kebijakan efisiensi ini akan menjadi fondasi penting bagi transformasi birokrasi dan peningkatan pelayanan publik yang lebih berkualitas.
Dengan semangat kolaboratif dan komitmen yang kuat dari seluruh pihak, efisiensi anggaran tahun 2025 dapat menjadi tonggak penting dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan daerah yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung